Dominic, sang maestro kejahatan, telah menawarinya surga dunia untuk menutup mata atas bukti-bukti yang akan menghancurkan kerajaannya.
Yumi, jaksa muda bercadar itu, telah menolak. Keputusan yang kini berbuah petaka. Rumahnya, hancur lebur. Keluarga kecilnya—ibu, Kenzi, dan Kenzo, anak kembarnya—telah menjadi korban dalam kebakaran yang disengaja, sebuah rencana jahat Dominic.
Yumi menatap foto keluarga kecilnya yang hangus terbakar, air mata membasahi cadarnya. Keadilan? Apakah keadilan masih ada artinya ketika nyawa ibu dan anak-anaknya telah direnggut paksa? Dominic telah meremehkan Yumi. Dia mengira uang dapat membeli segalanya. Dia salah.
Yumi bukan sekadar jaksa; dia seorang ibu, seorang putri, seorang pejuang keadilan yang tak kenal takut, yang kini didorong oleh api dendam yang membara.
Apakah Yumi akan memenjarakan Dominic hingga membusuk di penjara? Atau, nyawa dibayar nyawa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senjata makan tuan.
Klik…
Sebelum Yumi sempat melihat isi liontin itu terdengar pintu terbuka.
Cklek…
Suara pintu kamar terbuka, menyela konsentrasi Yumi. Axel, masuk sambil membawa pakaian.
"Nona, ini pakaian untuk Anda. Semoga pas. Ini pakaian baru, kebetulan ada yang tertinggal di kapal," ujarnya menawarkan pakaian tersebut.
Ia menambahkan. "Maaf, saya tidak punya jilbab atau cadar. Tapi kalau Nona mau, saya bisa bantu mencuci dan mengeringkan jilbab dan cadarnya."
Yumi menolak. "Tidak perlu, terima kasih," seraya menyembunyikan kalung Dominic kembali di balik baju. Ia memutuskan untuk menunda membuka liontin itu. Axel mengangguk mengerti dan pamit meninggalkan Yumi sendirian di kamar.
Yumi, yang sudah mengenakan pakaian yang sama selama tiga hari, merasa gerah. Ia segera mengambil pakaian baru itu dan berniat mandi serta berganti pakaian. Ia juga mencuci cadar dan jilbabnya, kemudian menjemurnya di dekat jendela.
Setelah berganti pakaian, Yumi memperhatikan pakaian barunya yang sedikit kebesaran. Sepertinya pakaian itu milik wanita yang lebih besar tubuhnya. Ia menatap wajahnya di cermin; wajah cantik dengan alis yang indah, mata yang memesona, hidung mancung, dan bibir merah alami, disertakan rambut gelombang menambah kecantikan wajahnya luar biasa. Wajah yang biasanya tertutup jilbab dan cadar, kini terlihat jelas.
Namun dibalik wajah indahnya, tersimpan tekad yang membara ingin menghancurkan Dominic.
Yumi terus bekerja, merencanakan bagaimana menjebak Dominic. Ia kembali teringat kalung itu. Saat pandangannya jatuh pada pantulan kalung di cermin, niatnya untuk membuka liontin itu kembali muncul. Ia dengan tangan cepat mengambil liontin untuk di buka.
Namun…....
Ckleek!
Pintu lagi-lagi menghalanginya untuk membuka liontin itu.
Yumi yang mendengar ada yang masuk, panik karena ia tak mengenakan jilbab maupun cadar.
Tanpa berpikir panjang ia segera meraih handuk dan menutupi wajahnya, hanya menyisakan kedua matanya yang terlihat. Ia menahan handuk agar tidak lepas dari wajahnya, menciptakan kesan seperti ia masih mengenakan cadar.
Jantungnya berdebar kencang, menanti siapa yang datang kali ini. Ketegangan memenuhi ruangan kecil itu, mengingat ia tak memakai apa pun untuk menutupi kepala mau pun wajahnya, yang hanya tertahan oleh handuk.
Tap… tap… tap…
Suara langkah kaki terdengar mendekat. Yumi menegang, waspada. Pintu terbuka, menyingkapkan Dominic yang kini mengenakan pakaian formal.
Kemeja putih yang rapi dan jas hitam yang elegan membuat penampilannya semakin berwibawa. Meskipun pakaiannya berbeda, ketampanan Dominic tak berkurang sedikit pun. Bahkan, saat pria itu berpenampilan acakan di pulau mereka terjebak, ia justru semakin meningkatkan daya tariknya.
Yumi mengakui dalam hati, pria itu memang tampan, namun juga mematikan. Tatapan matanya yang tajam dan dingin membuat bulu kuduk Yumi merinding.
Ia menyadari betapa berbahayanya pria di depannya itu.
Dengan langkah pelan dan tenang, Dominic mulai mendekati Yumi. Gerakannya terkontrol, namun setiap langkahnya membuat Yumi semakin waspada. Detak jantungnya berpacu kencang.
"Anda mau apa? Bukankah seharusnya Anda beristirahat?" tanya Yumi, suaranya sedikit gemetar. Ia mencoba bersikap tenang, namun tatapan tajam Dominic membuatnya merasa terancam. Ia ingin mencari cara untuk menghindari konfrontasi.
Langkah demi langkah, Dominic memutari tubuh Yumi, membuatnya semakin gelisah dan berdebar hebat. Gerakan Dominic yang terkesan santai justru semakin meningkatkan rasa takut Yumi. Ia merasa seperti mangsa yang sedang diincar oleh predator yang haus akan darah.
"Kau terlihat tegang," bisik Dominic, suaranya seperti bisikan maut yang menusuk kalbu. Nada suaranya yang lembut justru semakin menambah rasa ngeri Yumi. Ia tahu, di balik kelembutan itu tersimpan bahaya yang mengancam.
"A-anda… mau apa?" tanya Yumi, suaranya masih gemetar, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang.
"Calm down," kata Dominic, suaranya terdengar lembut namun dingin, "Jangan memperlihatkan ketakutanmu. Aku tidak akan memakan mu."
"Kalau Anda tidak punya kebutuhan apa pun, lebih baik Anda keluar," ucap Yumi tegas berusaha menunjukkan keberanian meskipun jantungnya berdebar kencang.
Dominic terkekeh pelan, "Ssttt… aku bebas di mana pun aku mau, terserah aku. Nona Yumi mungkin lupa, kalau semua yang ada disini milikku, juga kau," Kata-katanya terdengar santai, namun sorot matanya tajam dan mengancam.
Dada Yumi bergemuruh, rasa takutnya semakin tak terbendung. Ia takut Dominic akan melakukan sesuatu yang buruk padanya.
"Jangan bicara sembarangan Anda! Sejak kapan saya menjadi milik Anda!" Yumi ok ingin bergerak sedikit menjauh.
Wajah Yumi panik dan ketakutan luar biasa. Ia kesulitan bergerak karena harus menahan handuk yang menutupi wajah dan rambutnya. Untungnya, handuk itu tetap terpasang saat ia terjatuh di kasur tadi.
"Anda mau apa?!" pekik Yumi, berusaha berdiri sambil menahan tubuhnya dengan satu tangan. Namun, sebelum ia berhasil berdiri, Dominic sudah naik ke atas tubuhnya, mengungkung tubuh kecil Yumi dengan tubuhnya yang lebih besar dan kuat. Yumi merasa terjebak dan tak berdaya. Ketakutan yang luar biasa memenuhi seluruh tubuhnya dadanya naik turun, tanda ketakutannya.
Namun gerakan cepat Dominic yang mendorongnya sehingga membuatnya kembali terlentang di kasur.
"Kau seharusnya sudah mati… tapi aku menyelamatkanmu, sehingga kau masih berkesempatan untuk hidup…" Tatapan Dominic menusuk, membuat Yumi semakin ketakutan. Kata-katanya terdengar seperti ancaman terselubung.
"Bukankah itu sama saja kau berhutang padaku?" Dominic melanjutkan, mendekatkan wajahnya ke wajah Yumi yang tertutup handuk.
Hanya mata Yumi yang terlihat, dan dari sudut matanya, bulir-bulir air mata mulai menetes. Yumi merasa terpojok dan terancam. Kata-kata Dominic bagaikan pisau yang menusuk hatinya. Ia merasa terjebak dalam situasi yang mengerikan.
"Kau ingat kekalahanmu di tengah laut?" Dominic tersenyum miring, senyum yang membuat bulu kuduk Yumi merinding. Namun Dominic justru menikmati ketakutan Yumi.
"K-kekalahan apa? saya tidak mengerti," jawab Yumi, suaranya hampir tak terdengar.
"Bukankah kau berjanji akan melayani aku di ranjang, saat aku yang menang?" Dominic menekankan kata-katanya, mencoba untuk menguasai Yumi secara psikologis.
"Saya tidak menyetujuinya! Saya tidak pernah mengatakan iya!" bantah Yumi, suaranya bergetar menahan isak tangis. Air matanya mengalir deras.
Tangan Dominic mulai merayap naik, menyentuh perut Yumi. Sentuhannya ringan, namun bagi Yumi, itu terasa seperti sentuhan maut.
"Jangan…" lirih Yumi, suaranya hampir tak terdengar. Matanya menatap Dominic dengan tatapan memohon, dipenuhi dengan air mata dan keputusasaan. Ia berharap Dominic akan menghentikan perbuatannya.
Melihat air mata Yumi yang semakin deras, sebuah perasaan tak tega muncul dalam diri Dominic. Awalnya ia menikmati ketakutan dan keputusasaan Yumi, namun perlahan-lahan, ia merasa telah bertindak keterlaluan. Perasaan bersalah mulai menggerogoti hatinya. Meskipun ia masih diliputi oleh amarah dan dendam, tetapi melihat kesedihan Yumi, sebuah keraguan mulai muncul dalam dirinya.
Entah mengapa, ibu tunggal yang lemah dan terpojok di bawahnya itu mulai mengusik perasaan Dominic. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak terduga. Hatinya yang membeku selama bertahun-tahun akhirnya mulai mencair melihat tatapan Yumi akhir-akhir ini.
Tak!
Bunyi kalung putus saat Dominic menariknya dari leher Yumi.
Ternyata, Dominic hanya menginginkan kalungnya. Semua tindakannya—pendekatan nya yang mengancam, kata-katanya yang menusuk, bahkan sentuhan tangannya—hanya sebuah sandiwara, dan tak pernah berniat ingin melecehkan Yumi.
Semua hanya permainannya untuk menakut-nakuti Yumi yang tak terduga berujung pada perasaan yang tak terkendali. Ia justru seperti senjata makan Tuan. Dimana perasaannya mulai berdebar-debar setiap kali berada di dekat sosok Yumi.
Dan salam kenal para reader ☺️☺️😘😘