Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Revan
“Ka, kamu yakin kita bisa ke supermarket ini sebentar aja?”
Arka melirik ke arah Nayra yang membawa tas selempang berisi botol susu, popok, tissue basah, mainan gigit, dan satu gulung kantong plastik yang Nayra sebut sebagai “alat pertahanan umum para ibu”.
“Cuma beli sabun bayi dan tisu, Na. Lima menit.”
Nayra mendengus.
“Lima menit buat laki-laki itu sama aja kayak ‘aku cuma scroll IG sebentar’ buat perempuan. Lima menit bisa berubah jadi tiga jam, tahu nggak?”
Arka tertawa kecil, menuntun Nayra yang menggendong Alma sambil sesekali mencium pipinya. “Oke, kita taruhan. Kalau aku selesai kurang dari lima menit, kamu yang gendong Alma pulang. Kalau lebih, aku yang cuci semua botol susu selama seminggu.”
“Deal!” Nayra nyengir. “Siap-siap tangan keriput ya, Pak Suami.”
Mereka masuk ke supermarket langganan, yang hari itu ramai karena ada diskon besar. Nayra langsung sibuk di rak susu bayi, sementara Arka mengambil trolley dan berbelok ke bagian sabun dan perlengkapan mandi.
Arka sudah mengambil sabun, tisu, dan bedak bayi saat ia berbalik dan tanpa sengaja menabrak seseorang.
“Ah, maaf—”
“Arka?”
Arka berhenti. Wajahnya menegang beberapa detik sebelum perlahan-lahan berubah menjadi ekspresi terkejut.
“Revan?”
Laki-laki di depannya tersenyum, sedikit canggung. Ia mengenakan kaus polos dan jaket denim, dengan wajah bersih dan mata teduh.
“Wah... sudah lama banget ya.”
Arka masih bingung. Dunia serasa berhenti sesaat. Sosok ini… adalah orang yang mendadak muncul di hari kritis Nayra dulu. Orang yang menawarkan ginjalnya tanpa banyak tanya. Revan.
“Ya Tuhan… ini benar-benar kamu.”
“Masih hidup, kok,” Revan tersenyum lebar.
Sementara itu...
Nayra tengah berjuang memasukkan kaleng susu ke keranjang saat Alma mulai rewel.
“Almaaa... ini susu favorit kamu. Jangan rewel dulu, pleasee…”
Nayra menoleh ke kiri dan kanan, mencari Arka, tapi tak ada. Ia mengernyit, lalu mengendap-endap ke lorong belakang.
Dan di situlah ia melihat Arka sedang berpelukan dengan seorang pria tinggi, tampan, dan... asing!
“Arka?”
Arka menoleh, langsung refleks melepas pelukan. “Nay, sini deh.”
Revan tersenyum ke arah Nayra. “Kamu pasti Nayra ya?”
Nayra memicingkan mata, masih waspada. “Iya. Dan kamu pasti... bukan selingkuhannya Arka, kan?”
“NAY!” Arka membelalak.
Revan tertawa keras. “Tenang, tenang. Aku bukan saingan. Aku Revan. Orang yang... bantu Nayra waktu itu.”
Nayra menatap Revan lekat-lekat. Ingatannya kembali ke saat krisis ginjal itu. Dokter berkata tak ada donor yang cocok. Semua panik. Dan tiba-tiba, muncul nama asing yang mengajukan diri. Revan. Tapi ia tak pernah muncul langsung, hanya lewat tangan medis.
“Jadi kamu yang... nyelametin aku?”
Revan tersenyum. “Kamu yang nyelametin dirimu sendiri. Aku cuma bagian kecil dari takdir kamu.”
Nayra tercekat. Lalu, tanpa sadar... ia memeluk Revan erat.
Mereka duduk di cafe kecil di pojok supermarket. Arka memesan teh lemon. Nayra sibuk menggoyang stroller Alma, sementara Revan memesan kopi hitam.
“Aku sempat nggak yakin kamu bakal menerima donor dari orang yang nggak kamu kenal,” ujar Revan pelan.
“Waktu itu... aku cuma tahu aku mau hidup. Bukan buat diri sendiri, tapi buat anakku. Aku percaya Tuhan kirim siapa pun buat bantu aku. Dan ternyata... itu kamu.”
Revan mengangguk. “Aku punya adik yang meninggal karena gagal ginjal waktu kecil. Jadi waktu aku dengar tentang kamu dari salah satu temen relawan medis, aku langsung cek kecocokan. Ternyata... match.”
Nayra menatapnya dengan mata berkaca. “Kamu... luar biasa.”
“Ah, aku biasa aja. Yang luar biasa itu kamu. Ibu muda, survive penyakit, tetap kocak, dan... punya suami yang rela jadi tukang cuci botol susu,” katanya sambil melirik Arka.
Arka tersenyum tipis. “Aku harus ngaku... aku bahkan belum sempat benar-benar bilang terima kasih.”
Revan tersenyum. “Kalian udah cukup bilang ‘terima kasih’ dengan tetap hidup dan bahagia kayak gini.”
Beberapa menit kemudian, Nayra pergi sebentar ke toilet sambil membawa Alma. Arka dan Revan akhirnya duduk berdua.
“Waktu kamu donor... kenapa kamu nggak mau dikenalkan langsung waktu itu?” tanya Arka pelan.
Revan menatap ke luar jendela. “Karena aku nggak mau dianggap pahlawan. Aku cuma ingin bantu. Nggak lebih. Tapi... aku senang bisa lihat Nayra sehat. Dan kamu, Arka, jagain dia baik-baik ya.”
Arka menatapnya. Lalu berdiri, dan menjabat tangan Revan dengan tulus. “Kamu orang yang langka. Dan kamu selalu punya tempat di hidup kami.”
Nayra kembali, kali ini membawa Alma yang sudah tidur lagi.
“Hei, kalian kayaknya habis diskusi politik. Serius amat.”
“Enggak,” jawab Revan sambil berdiri. “Aku cuma... pamit.”
“Udah?” tanya Nayra. “Kamu harus main ke rumah. Alma juga perlu tahu siapa ‘pahlawan ginjal’ mamanya.”
Revan tertawa. “Nanti ya. Tapi kalau kamu ketemu orang yang butuh bantuan, teruskan kebaikan itu, Nayra.”
Nayra mengangguk. Matanya menghangat lagi.
“Revan,” ucap Nayra pelan. “Kamu mungkin bukan siapa-siapa di hidupku sebelumnya. Tapi hari ini, kamu bagian dari kenapa aku masih ada. Terima kasih... dari lubuk hati yang terdalam.”
Revan hanya tersenyum, melambai pelan, lalu berjalan pergi sambil menyisipkan tangannya ke saku jaket.
Arka melingkarkan tangannya ke pundak Nayra.
“Nay…”
“Hm?”
“Reuni itu bukan cuma soal teman lama. Tapi juga pengingat kalau kita pernah diselamatkan oleh orang-orang yang diam-diam mencintai kehidupan.”
Nayra memandang Arka.
“Aku bersyukur aku masih di sini. Bersama kamu sama Alma dan bisa ketemu orang seperti Revan.” Ucap Nayra.
Arka mencium keningnya.
“Kamu tahu? Hari itu waktu dokter bilang kamu butuh donor, aku hampir kehilangan akal. Aku siap nyumbang ginjalku, walau katanya nggak cocok.” Kenang Arka saat mengingat masa kritis sang istri.
“Dan sekarang kita cocok di ginjal yang lain,” ucap Nayra geli.
“Cinta ginjal banget sih.” Lanjutnya.
Mereka tertawa. Alma menggeliat sebentar, lalu kembali tidur pulas.
***
Dalam perjalanan pulang, mobil melaju pelan menembus langit senja. Nayra menyandarkan kepala di bahu Arka, sementara Alma tertidur dengan damai di kursi bayinya.
“Ka, kamu percaya ya, kalau semesta itu selalu punya caranya sendiri buat mempertemukan kita sama orang-orang penting dalam hidup kita?” tanya Nayra pelan.
Arka menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalan. “Percaya banget, jadang lewat tawa, kadang lewat air mata dan kadang lewat ginjal.”
Nayra terkekeh pelan, lalu terdiam sebentar sebelum berucap lagi.
“Aku pernah ngerasa dunia itu nggak adil. Kenapa aku harus sakit, kenapa harus di titik terendah. Tapi hari ini, aku tahu bahkan penderitaan pun bisa jadi jembatan menuju keajaiban.”
Arka menggenggam tangan Nayra. “Kamu kuat, Nay dan sekarang, kamu bukan cuma sembuh. Kamu hidup, kamu dicintai.”
Nayra menoleh, menatap suaminya lama. “Terima kasih sudah bertahan. Terima kasih sudah nggak pergi waktu semuanya terasa berat.”
Arka tersenyum. “Dan terima kasih karena kamu nggak pergi meski kamu sempat punya alasan untuk menyerah.”
Hening sejenak. Lalu, dari kursi belakang, terdengar suara pelan “Eeeehh...grrr...uuhh…”
Nayra dan Arka saling pandang.
“Alma kentut ya?” bisik Nayra.
Arka mengangguk penuh hormat. “Dan sepertinya besar.”
Mereka tertawa bersamaan. Udara di dalam mobil kembali hangat. Tidak ada beban, tidak ada luka. Hanya tawa, cinta, dan rasa syukur yang diam-diam menyembuhkan.
Hari itu, mereka sadar bahwa tidak semua pahlawan memakai jubah. Sebagian hadir tanpa suara, tapi menyelamatkan jiwa.
Dan dalam diam Revan, ada hidup baru yang tetap berjalan bersama mereka.