Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Tiga hari setelah konferensi pers Dewi, kantor Kala Kita kembali bergairah. Telepon berdering tanpa henti, email penuh undangan, dan salah satunya—datang dari luar negeri.
Subject: Women of The Future Asia — Official Invitation
To: Dewi Ayu Ningrat
We are honored to invite you as a keynote speaker at the Women of the Future Conference in Singapore. Your voice inspires resilience. Your journey empowers women across generations.
Dewi menatap layar laptopnya lama. Tangannya tak bergerak, tapi hatinya gemetar.
Naya, yang sedari tadi berdiri di belakangnya, akhirnya bersuara, “Kenapa bengong? Ini undangan dari dunia.”
“Aku deg-degan,” bisik Dewi. “Biasanya aku cuma ngelawan netizen. Sekarang aku harus bicara di hadapan ratusan tokoh dunia?”
“Dan mereka justru ingin dengar kamu. Karena kamu bukan dibuat-buat, Dew. Kamu nyata.”
---
[Ruang Meeting Kala Kita — Sore Hari]
Dewa memimpin rapat bersama tim utama. Rencana ekspansi, kolaborasi dengan desainer lokal dari Sulawesi hingga Papua, dan persiapan fashion week internasional dibahas serius.
Namun, sebelum rapat usai, pintu diketuk.
Asisten Dewa masuk membawa sebuah map coklat.
“Mas… ini dikirim langsung oleh pengacara keluarga Wicaksono.”
Dewa menegang.
Ia membuka map itu dan membacanya dalam diam. Lalu mendesah berat.
“Mereka mengajukan gugatan.”
Naya berseru, “Apa? Gugatan apa?”
“Pemalsuan merek dan penyalahgunaan dana modal awal.” Dewa meletakkan dokumen itu di meja. “Mereka menuntut agar Kala Kita dibekukan sebelum pengadilan berlangsung.”
Ruangan sunyi.
Dewi menatap Dewa. “Tapi kita sudah lepas dari mereka sejak awal, kan?”
“Secara hukum, iya. Tapi mereka bisa manipulasi laporan keuangan lama. Mereka punya celah untuk mengganggu kita.” Mata Dewa tajam, “Ini bukan soal benar atau salah. Ini tentang siapa yang punya kuasa menyerang lebih dulu.”
---
[Malam Hari — Rumah Naya]
Dewi duduk termenung di dapur, secangkir susu hangat di tangan. Naya mengintip dari balik pintu, lalu ikut duduk.
“Gugatan itu… bisa membuat kita kehilangan semua yang udah kita bangun.”
Dewi diam sejenak. Lalu pelan berkata, “Mereka boleh rebut nama Kala Kita. Tapi mereka nggak bisa rebut maknanya.”
“Kalau Dewa? Kamu nggak takut dia jadi hancur gara-gara keluarganya sendiri?”
“Aku takut,” jawab Dewi jujur. “Tapi yang lebih aku takuti… adalah diam.”
“Diam?”
“Kalau aku diam, aku jadi Dewi yang dulu. Yang tunduk. Yang dijodohkan. Yang dibungkam. Aku nggak mau jadi dia lagi.”
---
[Esok Hari — Rumah Dewa]
Dewa duduk sendiri di ruang tamu, map-map hukum berserakan. Wajahnya letih, tapi matanya tajam. Ia sudah berubah. Bukan lagi pria yang berdiri di bawah bayang-bayang nama besar Wicaksono.
Dewi datang tanpa suara.
“Aku mau tetap berangkat ke Singapura,” katanya langsung.
Dewa menoleh.
“Dan aku mau kamu ikut,” lanjut Dewi.
Dewa berdiri. “Tapi bagaimana dengan gugatan ini? Kalau kita pergi, mereka bisa gunakan ketidakhadiran kita sebagai alasan ‘menghindar’.”
Dewi melangkah mendekat. “Kalau kita tinggal, mereka tetap serang kita. Kalau kita pergi, paling tidak… kita bawa cerita kita ke dunia. Kita tidak kabur, Dewa. Kita maju—tapi bukan ke arah yang mereka tentukan.”
Dewa tersenyum kecil. “Kamu luar biasa.”
Dewi menatapnya lekat. “Jadi… kamu mau ikut?”
Dewa menggenggam tangannya.
“Selama kamu melangkah, aku ikut.”
---
[Bandara Soekarno-Hatta — Dua Hari Kemudian]
Dewi dan Dewa berdiri di ruang tunggu keberangkatan internasional. Wartawan membanjiri pintu masuk, kamera menyorot, tapi Dewi berjalan tanpa ragu.
Sambil tersenyum, ia sempat berbisik ke Dewa, “Kamu tahu apa yang paling aku suka dari kita?”
“Apa?”
“Kita bukan pasangan sempurna. Tapi kita tahu cara saling bertahan.”
Pesawat lepas landas.
Sementara itu, di balik layar, kuasa keluarga Wicaksono mulai menyusun langkah baru. Mereka tidak tinggal diam. Mereka ingin Dewi gagal di panggung internasional. Mereka ingin menghancurkan nama Dewa di negeri orang.
Mereka tidak tahu…
Dewi dan Dewa, bukan hanya bertahan. Mereka sedang bersiap untuk menyerang balik.
bersambung