Menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang menjadi korban kekejaman dunia beladiri yang kejam. Desa kecil miliknya di serang oleh sekelompok orang dari sekte aliran sesat dan membuatnya kehilangan segalanya.
Di saat dia mencoba menyelamatkan dirinya, dia bertemu dengan seorang kultivator misterius dan menjadi murid kultivator tersebut.
Dari sinilah semuanya berubah, dan dia bersumpah akan menjadi orang yang kuat dan menapaki jalan kultivasi yang terjal dan penuh bahaya untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya.
Ikuti terus kisah selengkapnya di PENDEKAR KEGELAPAN!
Tingkatan kultivasi :
Foundation Dao 1-7 Tahapan bintang
Elemental Dao 1-7 Tahapan bintang
Celestial Dao 1-7 Tahapan bintang
Purification Dao 1-7 Tahapan bintang
Venerable Dao 1-7 Tahapan bintang
Ancestor Dao 1-7 tahapan bintang
Sovereign Dao 1-7 tahapan bintang
Eternal Dao Awal - Menengah - Akhir
Origin Dao Awal - menengah - akhir
Heavenly Dao
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch. 24
Sore itu ketika Acheng melangkah keluar dari gerbang besar kota Liyang. Langkah kakinya tenang dan mantap. Di belakangnya, sekelompok penjaga kota mengawasinya dengan waspada, memastikan pria itu benar-benar meninggalkan wilayah mereka.
Komandan penjaga, seorang pria setengah baya yang mengenakan jubah hijau, menghela napas lega. “Akhirnya, pria pembawa masalah itu pergi juga,” gumamnya sambil menatap punggung Acheng yang semakin menjauh. “Aku harus segera melaporkan ini kepada Patriark Hun. Kalian, lanjutkan patroli seperti biasa.”
Para penjaga mengangguk dan kembali ke tugas mereka, sementara Acheng terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun.
Acheng berjalan sepanjang malam, menembus hutan dan jalan setapak yang jarang dilalui. Saat matahari terbit, dia melihat sebuah kota kecil di kejauhan. Kota itu berjarak sekitar 100 mil dari kota Liyang, meskipun tampak damai dari kejauhan, sisi suramnya langsung tampak ketika Acheng mendekat.
Tanpa penjaga di pintu masuk, Acheng melangkah masuk. Bau busuk sampah dan bangkai segera menyapa hidungnya. Rumah-rumah reyot dan jalan yang penuh lumpur mencerminkan keadaan kota yang terabaikan. Orang-orang dengan wajah kurus dan tatapan putus asa terlihat di setiap sudut.
Tiba-tiba, seorang anak kecil dengan pakaian compang-camping mencoba merogoh saku Acheng. Namun, anak itu segera menyadari bahwa saku tersebut kosong karena seluruh harta Acheng tersimpan di dalam cincin penyimpanannya.
Acheng menatap anak itu dengan dingin. Sebelum si anak bisa kabur, Acheng sudah muncul di hadapannya, bergerak secepat kilat hingga anak itu terkejut dan jatuh terduduk.
“Ikut aku,” kata Acheng dengan nada rendah namun penuh otoritas.
Anak laki-laki itu gemetar, tapi dia mengikuti Acheng tanpa berani berkata apa-apa. Mereka berhenti di sebuah sudut kota yang sepi, jauh dari keramaian. Acheng mengeluarkan sepuluh koin perak dari cincin penyimpanannya dan menyerahkannya kepada anak itu.
“Ini untukmu. Gunakan dengan baik,” ucapnya sambil menatap tajam.
Anak itu memandang koin-koin perak di tangannya dengan mata lebar. “T-tuan… Terima kasih. Terima kasih banyak!” katanya, suaranya bergetar antara rasa syukur dan ketakutan.
Acheng kemudian bertanya, “Kota apa ini? Kenapa kondisinya seperti ini?”
Anak itu menghela napas panjang, tatapannya berubah suram. “Ini kota Shuiyuan, Tuan. Kota ini adalah yang sangat makmur dulu, tapi lima tahun lalu semuanya berubah. Ayahku bilang kota ini sekarang dikuasai oleh organisasi Serigala Hitam organisasi kejam yang membuat semua orang menderita. Tidak ada hukum di sini. Mereka melegalkan pembunuhan, pencurian, bahkan perbudakan. Banyak yang mati kelaparan atau dibunuh, dan tidak ada yang berani melawan mereka.”
Acheng mendengar penjelasan anak itu dengan tenang. Ekspresinya tetap dingin, tetapi ada kilatan tajam di matanya. Dia melihat sekilas ke arah kota, kemudian kembali menatap anak itu.
“Pergilah. Gunakan uang itu untuk bertahan hidup,” perintah Acheng.
Anak itu mengangguk cepat dan berlari, meninggalkan Acheng sendiri.
Acheng mulai berjalan menyusuri jalan-jalan sempit di kota Shuiyuan. Setiap sudut memperlihatkan kenyataan yang suram—anak-anak kelaparan duduk di pojok, orang tua terbaring lemah tanpa tenaga, sementara beberapa pria bertubuh kekar berjalan dengan tatapan angkuh, membawa senjata tajam di pinggang mereka.
Di sebuah pasar kecil, Acheng melihat seorang wanita tua dipukuli oleh dua pria karena tidak mampu membayar pajak yang ditetapkan. Di sudut lain, seorang wanita muda dipaksa masuk ke dalam kereta oleh sekelompok orang, kemungkinan besar untuk dijadikan budak.
Keadaan ini benar-benar kontras dengan kota Liyang yang makmur. Acheng berdiri di tengah keramaian, mengamati situasi dengan tatapan tajam. Aura dinginnya perlahan terpancar, membuat beberapa orang di sekitarnya secara refleks mundur karena merasa terancam.
“Serigala Hitam…” gumamnya pelan. “Organisasi benar-benar kelewat batas.”
Awalnya, Acheng hanya berniat untuk mencari sumber daya yang di butuhkan untuk peningkatan kultivasinya, akan tetapi dia tidak tega melihat kondisi kota yang seperti ini dan jika dia bisa sedikit membantu dan mendapatkan keuntungan dari organisasi Serigala Hitam, maka dia akan melakukannya.
...
Acheng melangkah tenang ke pusat kota Shuiyuan, tempat yang sedikit lebih hidup dibandingkan bagian lain kota yang penuh kemiskinan dan keputusasaan.
Di sana, beberapa pedagang menjajakan barang dagangan mereka sebagian besar adalah barang-barang berkualitas rendah dengan harga tinggi. Pembeli tampak bertransaksi dengan cepat, menghindari terlalu banyak perhatian dari orang-orang yang berjaga di sekitar.
Acheng memperhatikan mereka para anggota organisasi Serigala Hitam yang berdiri dengan sikap arogan. Pakaian mereka dihiasi logo serigala hitam besar di punggung, sebuah simbol dominasi yang memancarkan ancaman terselubung. Setiap orang yang berjalan melewati mereka berusaha menunduk atau menghindari tatapan langsung.
Meskipun Acheng hanya melihat-lihat seperti pengunjung biasa, aura dinginnya menarik perhatian. Dua anggota organisasi yang berbadan kekar saling bertukar pandang, kemudian mengikuti langkahnya.
Acheng dengan sengaja mengarahkan langkahnya ke sebuah gang sepi di belakang pasar. Dinding bata yang retak dan aroma lembab dari sampah yang membusuk menyelimuti tempat itu. Dia berhenti di ujung gang, membiarkan kedua pria itu mendekat.
“Hei kau, Berhenti di situ!” salah satu pria bertubuh kekar berseru. Dia menatap Acheng dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menghina. “Kau terlihat seperti orang baru di sini. Kalau kau ingin menetap beberapa waktu, kau harus membayar upeti kepada kami, Serigala Hitam.”
Suaranya menggema di gang, kasar dan penuh keangkuhan. Namun, Acheng hanya berdiri dengan ekspresi datar, tidak menghiraukan omongan pria itu.
“Oi, kau dengar tidak? Jangan berpura-pura tuli!” serunya lagi, kali ini dengan nada marah.
SWOOSH!
Tanpa peringatan, sebuah energi berbentuk bilah pedang berwarna hitam meluncur dari arah Acheng dengan kecepatan kilat. Energi itu menusuk kepala pria pertama sebelum dia sempat bereaksi. Tubuhnya langsung jatuh ke tanah. Matanya melotot tak bernyawa, darah mengalir perlahan membasahi gang.
Pria kedua terpaku di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat. “A-apa yang terjadi?!” suaranya bergetar saat dia melihat kawannya mati begitu saja. Matanya lalu menatap Acheng, yang kini mengeluarkan auranya perlahan.
BOOM!
Aura Acheng yang berada di ranah Dao Ancestor Bintang 2 membuncah, membuat udara di sekitar menjadi berat. Pria itu langsung merasakan tekanan luar biasa yang menindih tubuhnya. Lututnya gemetar, dan tanpa bisa melawan, dia jatuh berlutut di hadapan Acheng.
“D-dao Ancestor…” bisiknya panik. “Bagaimana mungkin seorang master Dao Ancestor datang ke kota ini?!”
Acheng melangkah perlahan ke arahnya, setiap langkah terdengar seperti dentuman yang menghantam ketenangan pria itu.
“Jangan membuang waktuku. Aku tidak suka orang yang membuang-buang waktu,” ujar Acheng dengan suara rendah, penuh ancaman. “Katakan semua yang kau tahu tentang organisasi Serigala Hitam, atau kau akan berakhir seperti dia.”
Pria itu mengangguk cepat, wajahnya penuh keringat. Dia tidak berani menatap mata Acheng yang dingin seperti jurang tak berdasar. “A-aku akan memberitahu semuanya! T-tolong, jangan bunuh aku!” ujarnya dengan suara bergetar.
Acheng menunggu, menatap pria itu dengan ekspresi yang tetap datar namun penuh intimidasi. “Bicara.”
Ma arti nya mamak/ibu perempuan ,, Pa PPA)ayah laki.