NovelToon NovelToon
Dosenku Ternyata Menyukaiku

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Dosen / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Romansa / Slice of Life
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.

Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.

Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kejujuran.

Malam itu, gedung galeri seni utama di pusat kota dipenuhi cahaya temaram yang menyapu setiap sudut dengan hangat dan elegan. Undangan terbatas, hanya untuk para kolektor, seniman, akademisi seni, dan mahasiswa terpilih dari beberapa universitas seni.

Langit malam tampak bersih, seolah turut memberi penghormatan atas terselenggaranya malam pameran istimewa bertajuk ‘The Future Is Fabric’, dikurasi langsung oleh Laurent Sévigné, kurator dan seniman kontemporer asal Paris yang karya dan pemikirannya begitu dikagumi Camelia selama ini.

Galeri itu sendiri disulap menjadi labirin artistik. Cahaya-cahaya sorot lembut menari di atas kain-kain instalatif dan karya mode eksperimental yang tergantung di tengah ruangan.

Suara musik klasik modern bergema lembut dari speaker tersembunyi, menciptakan suasana yang mewah namun tetap intim. Di antara kerumunan tamu, berdirilah Camelia Sasongko.

Dengan balutan gaun berpotongan simpel berwarna hitam legam yang jatuh sempurna di tubuhnya, serta pita merah yang mengikat setengah rambutnya ke belakang, malam itu Camelia terlihat begitu memesona. Tidak mencolok, tetapi cukup untuk membuat waktu terasa melambat saat ia melangkah masuk ke dalam ruangan.

Sena, yang sejak tadi berjalan di sampingnya, menatap diam-diam dari sisi samping. Indahnya ciptaan-Mu, Tuhan, batinnya.

Tatapannya tak pernah benar-benar lepas dari gadis di sebelahnya itu sejak ia menjemputnya malam tadi. Ia bahkan sempat terpaku beberapa detik saat Camelia pertama kali membuka pintu rumahnya, terlihat dewasa, tenang, namun tetap menyimpan aura polos yang hanya dimiliki oleh gadis sepertinya.

Namun meski dadanya bergemuruh, Sena tetap menjaga jarak. Ia tahu batas, dan bertekad untuk tidak menodainya. Maka sepanjang acara, ia tetap menjadi sosok profesional yang tenang tak lebih dari seorang dosen pendamping, sekalipun hatinya tak berhenti bergetar.

Sesekali, tatapan mereka bersirobok. Canggung, lalu buru-buru dialihkan. Camelia tidak banyak bicara, meskipun sesekali bertanya tentang karya-karya yang terpajang dan Sena, dengan sabar menjawab, menahan perasaan yang hampir tak terbendung.

“Dosen tamu yang kamu kagumi itu, sudah datang,” bisik Sena perlahan sambil menunjuk ke arah pria tinggi dengan jas abu dan syal hitam, Laurent Sévigné.

Camelia refleks menoleh. Matanya bersinar, penuh kekaguman. Sena memperhatikan diam-diam, senyumnya tipis, dan meski sedikit nyeri, ia membiarkan gadis itu menatap pria lain dengan antusias.

Sebab ia tahu, kekaguman Camelia pada Laurent bukan karena cinta, tetapi karena ilmu dan dedikasi dan Sena tidak keberatan menjadi bagian dari proses itu, selama ia bisa ada disampingnya malam ini, walau hanya sebagai bayangan yang menjaga dari jauh.

"Dia... keren," ucap Camelia lirih, pandangannya masih terpaku pada sosok Laurent Sévigné yang tengah berbicara dengan para kurator dan beberapa tamu penting.

Sena, yang berjalan di sampingnya, cukup mendengar kalimat itu. Ia menoleh, lalu sedikit membungkukkan badan, mencoba menatap Camelia dari samping. "Apa yang membuatmu kagum pada Laurent, Mel?" tanyanya.

Camelia menoleh, tersenyum samar namun sinis. Matanya menatap pria itu tajam. "Jelas pada karyanya, Pak!" jawabnya, menekankan panggilan itu dengan nada sengaja.

Sena menyilangkan tangan di dada, bibirnya mengerucut kecil. “Mas, Camelia. Apa susahnya sih, panggil aku ‘Mas’?”

Camelia menghentikan langkahnya. Ia memutar tubuh, lalu berdiri tegak menghadap Sena. Malam ini ia memutuskan untuk tidak menghindar dan mereka tidak sedang berada di ruang kelas. Ia bebas menjadi dirinya sendiri.

"Apa sih spesialnya panggilan itu? Sampai-sampai kamu terus memaksa ku menyebutmu dengan sebutan yang, jujur saja, terdengar sangat personal?" Tatapannya tajam. Sebab, ia ingin tahu.

Sena sedikit merunduk, matanya menatap lurus mata Camelia. Tatapan itu, tak pernah lepas sedari tadi. Lembut, tapi dalam dan berani. "Karena kalau kamu yang mengucapkannya... rasanya beda, Mel."

Camelia tak langsung menjawab. Tubuhnya tetap diam, tapi dadanya terasa bergemuruh. Ia tidak membalas ucapannya, hanya diam mematung, dan menatap lelaki itu yang kini tersenyum tipis dengan tenang.

Kemudian tanpa peringatan, Sena meraih jemari Camelia. Lembut, tanpa paksaan, tapi cukup untuk membuatnya sedikit tersentak.

“Ayo, aku kenalkan kamu ke Laurent,” kata Sena, tetap menatap ke depan namun menggenggam tangan Camelia seperti itu adalah hal yang paling alami di dunia.

“Pak—eh, Mas—aku bisa sendiri,” elak Camelia, berusaha menarik tangannya. Tapi Sena menggeleng erat, tidak melepaskannya.

“Mel, kamu mengagumi karyanya, kan? Sekarang waktunya kamu mengenal sosok di balik karya itu.”

Beberapa langkah kemudian, mereka tiba di hadapan Laurent. Pria tinggi berambut abu-abu itu menoleh dan tersenyum hangat melihat Sena menghampiri.

“Laurent,” sapa Sena dalam bahasa Inggris yang fasih, menjulurkan tangan. “I’m Sena, lecturer of visual design at Avanya Institute. Thank you for tonight’s exhibition.”

Laurent membalas jabatan tangannya dengan ramah. “Pleasure to meet you, Sena. You brought a brilliant student, I assume?”

Sena menoleh ke Camelia, yang kini tampak gugup namun tetap menyembunyikannya dengan sikap anggun.

“Yes. This is Camelia. She’s one of our most talented students—and, if I may say, a big admirer of your work.”

Camelia terperangah. Ia sempat melirik Sena dengan tatapan ‘apa-apaan ini’, tapi Laurent lebih dulu menyambutnya dengan senyuman dan jabatan tangan.

“Ah, a fan,” kata Laurent ramah. “I love meeting young minds. What do you like most from my collection tonight?”

Camelia, setelah menarik napas dalam-dalam, akhirnya menjawab dengan tenang, “The layered organza installation. It speaks like a quiet rebellion. Soft, but powerful.”

Laurent menaikkan alis. “That’s... an elegant interpretation.”

Sena hanya tersenyum dari samping, melihat bagaimana gadis itu, yang selalu terlihat tenang dan menutup diri, kini mulai terbuka dan bersinar. Momen itu begitu singkat, tapi cukup untuk mengukuhkan keyakinannya.

Ya, Camelia memang pantas diperjuangkan dan ia akan terus berdiri di sisinya. Meskipun mungkin, untuk sekarang, hanya sebagai seseorang yang berjalan dua langkah di belakang.

......................

Lampu-lampu pameran mulai diredupkan satu per satu, tanda acara telah usai. Para tamu mulai bergerak ke arah pintu keluar, masih dengan pembicaraan antusias soal koleksi malam itu. Sementara Camelia masih berdiri di dekat panel instalasi terakhir, ketika suara bariton yang sudah tak asing lagi terdengar di belakangnya.

"Sudah puas lihat karya-karya yang indah, Mel?"

Camelia menoleh. Sena berdiri di sana, satu tangan di saku celana, jas hitamnya masih rapi walau dasinya kini sedikit longgar. Ia tampak jauh lebih santai dari sebelumnya.

“Hm, rasanya kayak dapat vitamin buat otak dan mata,” jawab Camelia, jujur.

Sena terkekeh kecil. "Kalau begitu, mau lihat mahakarya yang lain?"

Camelia menaikkan satu alis. “Di mana?”

Sena mendekat, tidak terlalu dekat, tapi cukup membuat jarak mereka hanya tinggal setengah langkah. "Di apartemenku," jawabnya sambil menyunggingkan senyum tenang. “Tenang aja, ini bukan undangan aneh. Aku cuma mau nunjukin sesuatu yang selama ini nggak banyak orang tahu.”

Camelia diam.

Biasanya ia akan langsung menolak. Tapi kali ini, ia justru penasaran. Sena bukan tipe yang bicara sembarangan, dan pasti ada sesuatu yang penting di balik ucapannya.

"Baiklah." jawabnya akhirnya, singkat dan datar seperti biasa, tapi Sena bisa menangkap sedikit nada penasaran di sana.

Begitu Camelia mengangguk pelan menerima ajakan ke apartemen, meski dengan nada dingin dan wajah tanpa ekspresi, Sena seolah menarik napas lega yang sudah lama ia tahan.

Bahkan sebelum mereka benar-benar melangkah keluar dari venue pameran, diam-diam batinnya bersorak riang.

Ini kemenangan.

Bukan kemenangan ego. Tapi lebih seperti sebuah keberhasilan kecil yang terasa besar, sebab Sena tahu betul betapa tingginya dinding yang dibangun Camelia di sekeliling hatinya dan malam ini, celah itu terbuka sedikit saja. Tapi cukup untuk membuat dirinya merasa dimenangkan.

Di balik raut datarnya, Camelia sebenarnya penasaran dan bagi Sena, rasa penasaran itu lebih baik daripada penolakan tanpa tanya. Ia tak ingin buru-buru menaklukkan gadis itu, ia hanya ingin berada lebih dekat, satu langkah demi satu langkah.

Malam ini, aku menang. Bukan karena kamu mau datang ke apartemenku, tapi karena kamu memilih untuk tidak menjauh lagi.

......................

Apartemen itu sunyi, nyaris terlalu sunyi. Pintu otomatis terbuka dan mereka masuk. Interiornya mewah, tetapi tidak norak—perpaduan kayu, jendela tinggi yang menampilkan pemandangan kota, dan furniture minimalis dengan sentuhan maskulin. Semua begitu rapi.

Camelia menatap sekeliling, diam. Tak ada komentar seperti biasanya.

“Silahkan duduk dulu,” ucap Sena sambil berjalan mendahului, meletakkan kunci mobil di meja marmer kecil dekat pintu masuk.

Camelia mengangguk dan duduk di ujung sofa, tubuhnya tegak seperti tengah menghadapi sidang. Sementara Sena terkekeh dalam hati. Ia tahu Camelia tidak sedang merasa nyaman. Tapi setidaknya, ia tidak kabur.

Satu kemenangan lagi.

“Apartemen mu sunyi banget,” komentar Camelia akhirnya, nada suaranya datar seperti biasa.

Sena tersenyum tipis, membuka jasnya dan menggantung di dekat pintu. “Aku memang suka sunyi,”

“Kenapa?”

Sena menoleh sekilas ke arah gadis itu. “Karena di tengah dunia yang terlalu berisik, aku bisa dengar isi kepalaku sendiri,”

Camelia hanya mendengus ringan. “Ck, puitis banget.”

Sena tak menanggapi sindiran itu. Ia justru berjalan ke arah salah satu ruangan. “Mel, aku tunjukkan sekarang ya, mahakarya yang aku maksud.”

Camelia menoleh, agak heran. Ketika Sena masuk dan membawa sesuatu keluar, pandangannya justru tertarik pada ruangan tersebut, sebuah studio pribadi. Cahaya hangat menyinari dinding yang dipenuhi sketsa, potongan kain, arsip foto fashion vintage, dan di tengah ruangan, sebuah manekin yang mengenakan dress unfinished dengan detail bordir tangan yang luar biasa rumit.

Camelia berdiri perlahan, mendekat dengan hati-hati.

“Ini… buatan kamu?” tanyanya nyaris berbisik.

Sena mengangguk. “Aku kerjakan ini tiga tahun. Dari awal aku mulai ngajar sampai hari ini. Tiap malam, sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya jadi seperti ini.”

Camelia mendekat, menyentuh pelan bordir halus di bagian lengan dress itu. “Ini mahakarya yang kamu maksud?”

“Ya,” jawab Sena sambil menyandarkan tubuhnya di ambang pintu studio. “Tapi aku berharap, suatu hari nanti... kamu yang mengenakannya.”

Camelia menoleh cepat, menatap Sena. Ekspresinya campur aduk, antara kaget, kesal, dan entah apa.

“Pak Sena…”

“Mas,” potong Sena, tapi dengan tatapan sungguh-sungguh.

Camelia mendengus, lalu memalingkan wajah. “Jangan terlalu berharap,” katanya lirih.

Sena tersenyum. “Aku nggak berharap, tapi sedang berusaha.” lantas, ia berjalan mendekati Camelia. Untuk kedua kalinya, ia meraih tangan itu dan mengajaknya untuk masuk ke dalam studionya. Agak lancang memang, tapi gadis itu tidak menolak ajakannya.

Kini, Sena memperlihatkan sebuah kanvas besar yang diselubungi kain beludru kelabu.

Sementara Camelia menyipitkan mata, bingung. “Apa lagi ini?”

Dengan jemari yang masih berpegang erat, Sena menghela napas panjang seolah sedang bersiap melompat ke tebing yang tak punya dasar.

"Aku sebenarnya ragu, Mel. Tapi kalau aku nunggu lebih lama, aku takut semuanya jadi terlambat." Ia menarik kain penutup itu perlahan.

Camelia membeku.

Di baliknya, terpampang sebuah lukisan cat minyak besar, seorang gadis muda duduk di bangku taman dengan rambut setengah terikat pita, mengenakan kemeja putih sederhana dan rok lipit. Dahan pohon di belakangnya menjuntai seperti tirai alami, dan cahaya matahari sore menerobos lembut, memantul dari wajah gadis itu yang sedang tersenyum.

Itu dirinya.

Camelia tahu benar itu taman kecil di sisi utara kampus, tempat favoritnya membaca atau sekadar diam.

“Ini...” Suaranya tercekat.

Sena melepas tangannya, dan berdiri di samping lukisan itu, tak mendekat, tak mencoba mengintimidasi.

"Aku mulai melukis ini sekitar dua tahun lalu. Pertama kali aku lihat kamu duduk sendirian di taman itu. Bukan karena kamu mencolok. Justru karena kamu, tenang. Ada sesuatu yang nggak bisa dijelaskan dari cara kamu duduk, memegang buku, atau sekadar mengikat rambut. Semuanya, terlihat tepat. Seolah kamu bagian dari pemandangan itu sendiri.”

Camelia hanya diam, matanya tetap terpaku pada lukisan.

“Aku tahu ini terdengar gila. Tapi setiap kali aku coba berhenti melukis, wajah mu tetap muncul di kepala. Entah kenapa, aku merasa harus menyelesaikannya. Seolah kalau lukisan ini belum selesai, aku juga belum selesai.” lanjut Sena dan ia menatap Camelia lekat-lekat.

“Maaf kalau ini terdengar lancang. Tapi aku pikir kamu harus tahu. Biarpun setelah ini kamu marah, atau bahkan menjauh, itu konsekuensi yang harus aku tanggung. Tapi aku lebih memilih jujur, daripada berpura-pura.”

Camelia memalingkan wajah dari lukisan, kini menatap Sena. Tapi ia tak bicara, bibirnya gemetar kecil, seolah mencari kata yang tak kunjung datang.

“Setiap kamu tersenyum, aku bisa lihat cahaya di situ. Aku tahu kamu menyimpan banyak hal dalam dirimu, Mel. Tapi justru karena itulah kamu terlihat, sempurna di mataku.”

Camelia mengedip cepat, seperti ingin menghapus bayangan perasaan yang tiba-tiba menyeruak dari dadanya.

“Mas…” akhirnya ia berkata, sangat pelan. “Aku nggak tahu harus bilang apa. Aku nggak siap untuk tahu semuanya sedalam ini. Aku kira, kamu cuma mengagumi karya atau semangatku. Tapi ini…”

“Obsesif?” tanya Sena, setengah tersenyum.

Camelia mengangguk, nyaris tak terlihat. “Iya.”

Sena menatap lukisan itu, bukan lagi Camelia. “Mungkin memang iya. Tapi, bukan obsesi yang ingin memilikimu. Aku hanya ingin cukup dekat, agar kamu tahu bahwa kamu berharga. Bahkan disaat kamu sendiri merasa tidak.”

Camelia kembali diam. Ia tahu perasaannya sedang kacau. Tapi di balik itu semua, ada satu hal yang ia sadari, ia tidak ingin menjauh dari pria itu. Tapi ia juga belum siap untuk mendekat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!