Ini adalah perjalanan cinta kedua putri kembar Ezar dan Zara.
Arsila Marwah Ezara, si tomboy itu akhirnya berhasil bekerja di sebuah perusahan raksasa yang bermarkas di London, Inggris, HG Corp.
Hari pertama nya bekerja adalah hari tersial sepanjang sejarah hidupnya, namun hari yang menurutnya sial itu, ternyata hari di mana Allah mempertemukan nya dengan takdir cintanya.
Aluna Safa Ezara , si gadis kalem nan menawan akhirnya berhasil menyelesaikan sekolah kedokteran dan sekarang mengabdikan diri untuk masyarakat seperti kedua orang tuanya dan keluarga besar Brawijaya yang memang 90% berprofesi sebagai seorang dokter.
Bagaimana kisah Safa sampai akhirnya berhasil menemukan cinta sejatinya?
Karya kali ini masih berputar di kehidupan kedokteran, walau tidak banyak, karena pada dasarnya, keluarga Brawijaya memang bergelut dengan profesi mulia itu.
Untuk reader yang mulai bosan dengan dunia medis, boleh di skip.🥰🥰
love you all
farala
💗💗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22 : Bahagia ku sesederhana itu
Untuk beberapa saat, Barra maupun Marwah tidak sadar jika mereka sedang bersentuhan.
Dari keduanya, satu tidak bisa di sentuh karena penyakit, dan yang satunya tidak boleh di sentuh karena bukan mahram.
Barra terus mengusap tangan Marwah di bawah aliran air, memastikan jika Marwah tidak lagi merasakan nyeri.
" Bagaimana?" Tanya Barra khawatir.
" Sudah agak mendingan , pak."
" Alhamdulillah, syukurlah. Aku minta maaf."
" Tidak apa apa, pak." Ucap Marwah menatap Barra.
Netra mereka bertemu , mata indah Marwah mampu menghipnotis Barra hingga beberapa detik , dan akhirnya tersadar dengan adanya perasaan aneh di dalam hati di sertai sentuhan yang tidak seharusnya berlangsung lama.
Marwah pun menyadari jika tangannya tidak sendirian, ada tangan lain yang tidak boleh menyentuhnya, secepat kilat , Marwah pun melakukan hal yang sama, menarik tangan nya menjauh dari Barra.
Kecanggungan pun tercipta.
Ketika Barra teringat akan penyakitnya, tanpa berkata sepatah kata, ia berlalu meninggalkan Marwah kemudian masuk ke dalam sebuah kamar.
Barra mengunci pintu.
Dia mulai gelisah, jika seperti biasanya, tidak lama lagi dia akan merasakan sensasi gatal dan panas di sekujur tubuhnya, setelah itu mual dan muntah akan membuatnya tersiksa.
Namun, lima menit, sepuluh menit hingga setengah jam berlalu, tidak ada yang terjadi dengan dirinya.
" Aneh..." Gumamnya sembari menatap tangannya yang bersentuhan dengan Marwah.
Barra meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
" Ke ruangan ku sekarang juga!!" Perintahnya.
Liam setengah berlari begitu Barra mengakhiri panggilannya.
Liam membuka pintu, terlihat kekacauan di mana pecahan cangkir dan tumpahan kopi berhamburan di atas lantai. Ada Marwah juga di sana yang sedang membersihkan pecahan pecahan cangkir tersebut.
" Apa yang terjadi?"
" Ooo, pak Barra tidak sengaja menjatuhkan nya."
" Biarkan saja seperti itu, nanti tangan nona terluka. Biar office boy yang membersihkannya."
" Tidak apa apa Liam, ini juga tidak banyak."
" Tapi kalau anda terluka, Brawijaya akan membunuhku." Gumam Liam .
" Sini, biar saya saja."
Liam berjongkok di samping Marwah dan mengambil alih pekerjaan gadis cantik itu.
Sementara merapikan semuanya, ponsel Liam kembali berdering. Panggilan dari Barra, tentu saja.
" Mati aku,, aku lupa kalau tuan Barra memanggilku."
Di balik telpon, suara Barra melengking hampir memecah gendang telinganya .
Liam mencari ke sana dan kemari, tapi tidak menemukan sang bos. Di telpon, pria temperamental itu tidak mengatakan sedang berada di mana.
Liam menggaruk kepalanya.
" Apa nona, melihat tuan Barra?" Terpaksa, dia menanyakan keberadaan bosnya itu pada Marwah.
Kening Marwah mengernyit.
" Kenapa panggilan mu kaku begitu?"
" Hhm..Oh..tidak apa apa, hanya saya nyaman saja memanggil mu, nona."
" Di sana." Tunjuk Marwah pada sebuah pintu lebar.
" Oke..thanks."
Liam mengetuk pintu.
" Kenapa kau lama sekali!!"
" Saya membantu nona Marwah membersikan sisa kerusuhan yang tuan buat...."
Netra Barra begitu tajam menatap Liam hingga pria itu jadi salah tingkah.
" Saya minta maaf , tuan...." Tambahnya.
Pokoknya apapun itu, mau benar atau salah, kuncinya hanya satu, meminta maaf.
Barra menghela nafas meredam emosi nya.
" Liam..."
" Iya tuan."
" Tadi, aku menyentuhnya."
" Menyentuh siapa?" Liam bingung.
Barra memutar bola matanya malas.
" Menurut mu, siapa lagi yang saya sentuh selain wanita di luar itu, Liam..!" Tunjuk Barra ke arah luar.
Liam terkejut bukan main.
" Astaga, apa anda mengalami gatal dan sesak nafas, tuan?"
Barra menggeleng.
" Atau mual dan muntah?"
Barra kembali menggeleng.
Liam tersenyum lebar.
" Jadi, tuan tidak mengalami gejala gejala itu lagi? "
Barra mengangguk.
" Wah.....saya senang sekali." Liam terlihat lebih bahagia ketimbang Barra.
Barra terlihat ragu dan menatap keluar, menatap pintu tertutup yang di luar sana ada seorang wanita yang baru saja membuatnya terkejut dan heran.
" Apa aku perlu mencobanya lagi?"
" Apa yang mau di coba lagi, tuan."
" Aku tidak yakin. Itu mungkin hanyalah suatu kebetulan."
Liam mengangguk mengiyakan.
" Tuan benar. Lalu, dengan cara apa tuan akan membuat nona Marwah menyentuh anda lagi?"
Barra menatap Liam.
" Apa perlu aku menciumnya?"
*
*
Singapura.
Arga menatap langit pagi Singapura yang mendung. Awan menyelimuti sebagian wilayah negeri singa itu, termasuk apartemen tempat tinggalnya.
Di atas meja, secangkir kopi Americano yang tadinya mengepulkan asap, akhirnya dingin sedingin pemiliknya.
Sebungkus rokok di samping secangkir kopi , kini tinggal beberapa batang saja, padahal ini masih tergolong sangat pagi, dan Arga sudah hampir menghabiskan nya.
Helaan nafasnya sesekali terdengar berat di sertai dengan isapan cerutu yang sudah menjadi teman abadinya.
Rowan menatap sedih ke arah Arga.
" Sampai kapan anda akan terus merusak kesehatan anda sendiri , tuan?" Batinnya iba.
" Tuan..."
Arga menoleh.
" Kau sudah siap?"
" Sudah , tuan."
" Ayo."
" Tapi ini masih jam tujuh pagi, tuan."
" Tidak apa. Aku akan menunggunya."
" Baiklah."
Mobil melaju menuju rumah sakit mount Elizabeth.
Tak ada pembicaraan khusus yang mewarnai perjalanan singkat itu. Arga lebih banyak diam dan menatap keluar jendela. Petir bergemuruh di sertai kilat pertanda hujan akan turun.
Benar saja, sepersekian detik kemudian, tanah Singapura sudah basah di terpa hujan deras.
Hujan di luar memicu perasaannya yang sudah carut marut jadi semakin kacau balau.
Sesekali Rowan menatap wajah Arga dari spion.
Tampak olehnya, kesedihan menggelayut di wajah tampan sang atasan.
Rowan menghela nafas.
Mobil masuk ke area parkir rumah sakit. Tak langsung turun, Arga masih betah di dalam kendaraannya mewah sembari menatap sekeliling.
Tak sengaja netranya menangkap sosok yang selama ini hampir membuatnya gila.
Tidak lagi peduli dengan hujan, bahkan payung yang sudah di siapkan Rowan tidak di liriknya sama sekali, Arga membuka pintu dan setengah berlari mengejar wanita cantik yang ikut berlari di tengah hujan yang semakin deras.
Di koridor, Safa membersihkan sisa sisa air di gamis dan jilbab panjangnya. Berjarak sekitar dua meter, Arga memperhatikan setiap gerakan yang di lakukan Safa.
Mengambil ponsel di saku jasnya, Arga memotret pemandangan langka yang mungkin tidak akan pernah lagi dia liat seumur hidupnya.
Seorang teman datang dan menyapa Safa.
Sesuai yang di impikan Arga, Safa tersenyum manis tatkala teman wanita nya itu mengajak Safa berbicara.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Arga kembali mengabadikan momen yang dia tunggu tunggu itu. Sembari memotret, tak sadar, Arga ikut tersenyum.
" Bahagia ku ternyata sesederhana itu, Safa."
Memandang wajah cantik itu meski tidak lama, namun mampu merubah suasana hati Arga. Senyum menghiasi bibirnya mengiringi langkah Safa yang semakin menjauh darinya.
Namun, senyum itu hanya bertahan sebentar.
Karena, pria yang sangat dia kenal terlihat setengah berlari berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Safa.
Dari kejauhan , Arga memantau itu. Dan detik itu juga, hatinya kembali hancur lebur.
Sementara itu, Arhan terengah engah, dia sudah berhasil berjalan berdampingan dengan Safa.
" Pakaian mu basah." Ucapnya memperhatikan penampilan Safa.
" Iya. Prof. "
" Kamu tidak bawa payung?"
" Saya lupa."
Arhan tersenyum." Kenapa tidak menghubungi ku? Aku bisa membawakan payung untukmu."
" Saya lupa, prof. Maaf."
Hanya kata ' lupa' yang bisa di rekam Arhan.
Padahal dia mengharapkan sesuatu yang lebih. Arhan menginginkan Safa lebih ekspresif saat bersama dengannya, berbicara apa saja atau mengeluhkan apa saja yang tidak sesuai dengan harapannya. Tapi tidak. Safa terlalu monoton, tidak banyak bicara dan kaku.
" Lain kali, kamu harus ingat, kalau ada aku yang akan selalu memenuhi kebutuhan mu, Safa."
...****************...
ada sesuatu,bom yg akan meledak nantinya
hati2 Arhannnnn😈
padahal sudah di tawari 😌
egois kamu hannnn
Jan gitu dongggg
cewek di dekati ambil hatinya dulu
(grudak gruduk kaya giniiiiii😏)
sama2 bukan orang sembarangan
yg 1 sudah dapat dukungan dr keluarga besar dan Abi Ezar
yg satu pergerakan masih ketinggalan siapa diantara kalian yg akan jadi jodoh safa😃💪🏻💪🏻💪🏻
astagfirullah knpa jadi mendoakan yg engga2 /Facepalm/
mohon 2x up thor