Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26.
Malam itu terasa waktu berjalan begitu lambatnya. Setelah Mira mengantar makan malam untuk Fandy dan berkata esok hari dia hanya ingin dilukis hanya dengannya, menyisakan perasaan khawatir dan tak nyaman dalam diri Fandy.
“Mungkinkah feeling Cyra dan bang Glen benar adanya, Mira ada perasaan lebih padaku?” batin Fandy berpikir.
“Jujur, aku mulai merasa gelisah. Perasaan ini sedikit membuat fokus melukisku sedikit terganggu. Tapi aku harus tetap fokus menyelesaikan lukisan keluarga Mira malam ini juga,” batinnya lagi.
Fandy menghela napas panjang. “Harus tuntas malam ini juga,“ tekadnya seraya meraih kuas dan cat minyaknya.
Perlahan-lahan tangannya aktif bergerak lagi. Proses mewarnai lagi sketsa dengan goresan tipis dan latar belakangnya dengan fokus tinggi. Fandy tak ingin lukisan keluarga ini tertunda hingga esok.
Satu jam lebih berlalu, Fandy tak perduli berapa lama lagi dia menyelesaikan semua ini. Fokusnya sekarang menyempurnakan lukisan itu. Terutama dari segi konturnya, dia menekankan detail pada fitur wajah dan lipatan kain objek yang dilukisnya.
“Fandy. Baiknya kamu jeda sementara. Makan dan minum dulu, oke?” pinta Glen.
Tangan Fandy spontan berhenti bergerak. “Saya belum begitu lapar Bang. Hanya ingin lukisan ini cepat selesai.”
“Jangan begitu. Itu makananmu sudah dingin dari tadi. Sudah berhenti dulu, lalu makan itu semua yang telah disediakan sekarang!” kata Glen tegas.
Fandy bersikeras tetap lanjut tapi Glen terus melarang. Akhirnya dia pun mengalah dan berhenti melukis. Fandy langsung meraih nampan berisi makanan dan menyantapnya tanpa selera.
Sementara Fandy makan, Glen meneruskan pekerjaannya. “Tidak rugi rasanya Bang Glen mau ikut ke sini dan tolongin aku. Jadi enak akunya dan enggak capek poin plusnya… hehehe,” canda Fandy.
Glen terkekeh. “Dasar kamunya saja yang enggak mau rugi.”
“Ibarat sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampui kaya aku ini sekarang. Dapat pesanan melukis terus nanti lanjut kita lihat pameran, bonusnya istri cantik sebentar lagi ikut menemani. Untung banget, kan?”
“Kamu ini pelukis atau pengusaha sih? Otakmu seperti punya strategi dagang saja,” sindir Glen.
Fandy langsung tertawa tapi tersedak makanan habis itu. Akibat makan sambil tertawa, bergegas dia minum untuk meredakannya.
Giliran Glen yang tertawa sekarang. “Kayanya kamu kualat tertawakan aku tadi… hehehe,” gurau Glen.
Selesai makan, Fandy dan Glen bekerjasama menyelesaikan lukisan agar mempersingkat waktu. Keduanya sama-sama terlihat fokus.
Satu jam kemudian lukisan keluarga Ifan akhirnya selesai juga. Fandy dan Glen sudah bisa bernapas lega. Usaha mereka cukup maksimal hari ini.
Papa dan mama Mira tak lama datang menghampiri mereka. “Sepertinya lukisan kami sudah selesai, ya?” tegur Papa Ifan.
Fandy mengangguk sopan. “Iya Om. Maaf jika kami menyelesaikan cukup lama hingga malam hari.”
Papa Ifan menggeleng. “Saya tidak masalah Nak Fandy. Saya percaya dan yakin hasil lukisanmu selalu bagus dan sangat memuaskan kami,” pujinya tulus.
“Benar kata Papanya Mira. Lukisanmu selalu bagus dan tidak mengecewakan kami,” tambah Mama Ira.
“Terima kasih Om dan Tante atas apresiasinya. Berhubung hari sudah malam dan lukisan pertama sudah selesai, saya mohon pamit kembali ke hotel.”
“Oh begitu ya. Apa tidak ingin menginap di sini saja? Ada kamar kosong khusus buat tamu,” tawar Papa Ifan.
“Tidak usah Om, takut merepotkan. Saya pulang ke hotel saja… permisi,” pamit Fandy sopan.
Papa Ifan mengangguk dan senyum tipis. Lalu menemani Fandy dan Glen menuju depan rumahnya. Ternyata tak jauh dari teras sudah disediakan mobil Avanza beserta sopir untuk mengantarkan Fandy dan Glen ke hotel.
“Terima kasih Om. Maaf… kami jadi merepotkan,” ucap Fandy saat berada di dalam mobil itu.
“Sama-sama. Tidak merepotkan kok, anggap saja bonus karena kamu jauh dari Jakarta sampai mau melukis kami di sini. Jangan lupa besok melukis putri sulung saya ini,” kata Papa Ifan seraya menunjuk Mira di sebelahnya.
Sejak ikut menemani orang tuanya tadi melihat lukisan yang sudah selesai, hingga ke teras rumah, mata Mira tak berhenti menatap dan memperhatikan setiap gerak-gerik Fandy.
Fandy yang merasa diperhatikan intens oleh Mira sebenarnya merasa risi. Tapi karena imbalan melukis yang cukup besar ia dapatkan nanti, dirinya berusaha menahan dan bersikap wajar pada gadis itu.
“Jangan lupa ya Bang. Mulai jam 8 pagi mulainya melukis aku,” pinta Mira yang sedang memeluk lengan papanya.
“Iya Mira. Saya usahakan,” jawab Fandy cepat.
Mobil Avanza hitam lalu melaju keluar rumah keluarga Ifan. Mengantarkan Fandy dan Glen hingga ke Favehotel.
Setengah jam kemudian mereka tiba di hotel. Fandy dan Glen mengucapkan terima kasih ke Pak Yudi sopirnya Mira.
Saat sudah di kamar hotel lagi, Fandy dan Glen bergantian mandi dan berpakaian. Lima belas menit setelahnya, hanya deru napas dan dengkuran dari keduanya yang menandakan tubuh kelelahan dan tertidur dengan nyenyaknya.
***
Pagi pun tiba. Matahari bersinar cerah seolah menyambut pagi itu dengan senyuman dan harapan baru bagi semua penghuni bumi.
Cyra telah menyelesaikan sarapannya dan bergegas menuju mobilnya yang pak Mansur parkirkan dekat gerbang.
“Selamat pagi dan terima kasih Pak Mansur,” kata Cyra dengan ramah sambil menaiki mobilnya.
“Pagi juga Non. Iya sama-sama dan selamat bekerja,” balas Pak Mansur.
Cyra mengangguk tersenyum, lalu melajukan mobilnya keluar rumah menuju kantor. Tanpa Cyra sadari, di belakangnya ada mobil Pajero hitam membuntutinya sejak ia keluar dari rumahnya.
Si penguntit menjaga jarak aman dengan mobil Cyra agar tidak ketahuan. Sedangkan Cyra terus mengendarai mobilnya dengan kecepatan 50 km/jam menyusuri jalan raya yang ramai lancar.
Tiba-tiba lampu indikator bensinnya menyala. Cyra segera mencari SPBU terdekat dari dirinya berada saat ini. Ketika sudah menemukannya, ia bergegas membelokkan mobilnya ke tempat tersebut.
Saat dia melakukan transaksi pengisian bensin dan pembayaran, mobil penguntit berhenti dan menunggu Cyra dekat minimarket SPBU.
Selesai mengisi bensin, Cyra memutuskan ke minimarket dulu membeli air mineral dan permen mentos. Saat dia masuk ke mobilnya, sempat melihat orang di dalam mobil Pajero yang parkir di sebelah mobilnya itu terus mengamati dirinya.
Kaca mobil tersebut dilapisi kaca film riben, tapi Cyra masih bisa melihatnya meskipun samar.
Setelah itu, mobil Cyra kembali melaju ke jalan raya. Mobil penguntit terus mengikutinya. Dia akhirnya sadar, Pajero hitam itu terus mengikutinya
“Aku yakin, orang dalam Pajero hitam itu selalu mengikutiku. Kucoba berhenti dan menepi sebentar, apakah dia ikut berhenti atau tidak?” batin Cyra berspekulasi.
Mobil Cyra lalu menepi mendadak, Pajero hitam itu juga ikut berhenti dengan jarak yang tak terlalu jauh. Cyra berhenti sepuluh menit, Pajero itu tidak juga bergerak seolah ikut menepi di belakangnya dan menunggu.
“Kini kucoba melaju lagi, apakah orang itu tetap mengikutiku atau tidak?” batinnya terus menduga.
Mobil Cyra terus melaju. Kali ini dia coba menambah kecepatannya menjadi 80 km/jam dan menggeser posisi mobilnya di sebelah kanan. Ternyata Pajero hitam itu juga menambah kecepatannya dan terus mengikuti Cyra.
Setengah jam Cyra mengendarai mobilnya kadang cepat, kadang lambat karena ingin melihat pajero itu terus mengikutinya atau tidak. Kenyataannya si penguntit terus mengikutinya.
Tak lama kemudian, Cyra sampai di gedung kantornya. Pajero hitam tadi berhenti sebentar dan terus mengawasi Cyra.
“Akhirnya sampai juga di kantor.” Cyra sempat merasa lega tapi matanya melirik kaca spion tengah, mengamati Pajero hitam itu berhenti dekat kantornya.
“Siapa dia? Apa dia mengenaliku? Motifnya apa sampai terus membuntutiku ?”