NovelToon NovelToon
Life After Marriage: My Annoying Husband

Life After Marriage: My Annoying Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers / Cintapertama
Popularitas:46
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.

"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"

"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"

Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21

Wajah Arkan Zayden pagi ini terlihat lebih pucat daripada kertas HVS. Dia berjalan gontai menuruni tangga sambil memegangi perutnya. Efek sambal terasi buatan Keira kemarin ternyata memiliki dampak jangka panjang yang menghancurkan sistem pencernaan sang CEO muda itu.

Di meja makan, Keira sudah siap dengan setelan kerja yang rapi. Dia mengenakan blus biru muda dan rok pensil hitam yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang proporsional. Wajahnya berseri-seri, kontras sekali dengan wajah suaminya yang seperti zombie kekurangan kalsium.

"Pagi, Mas Suami. Masih mules?" sapa Keira ramah sambil menuangkan teh hangat.

Arkan duduk dengan hati-hati di kursinya, takut guncangan sedikit saja akan memicu bencana alam di perutnya.

"Jangan tanya lagi Ra. Gue rasa usus gue udah lurus saking seringnya ke kamar mandi. Lo jahat banget sih kasih sambal sebanyak itu," keluh Arkan lemas.

"Itu kan demi menyelamatkan lo dari godaan Sasha. Harusnya lo berterima kasih. Berkat sambal itu, Sasha jadi ilfeel dan enggak mau deket-deket lo lagi," bela Keira santai.

Arkan hendak membalas, tetapi ponsel Keira di atas meja bergetar panjang. Sebuah nama muncul di layar dengan emotikon senyum.

Mas Rio Senior

Mata Keira berbinar. Dia segera menyambar ponselnya dan mengangkat panggilan itu dengan nada suara yang menurut Arkan terlalu lembut. Jauh lebih lembut daripada saat Keira bicara padanya.

"Halo Mas Rio. Pagi. Iya Mas. Jadi dong. Nanti siang ya? Di restoran tempat biasa? Oke siap. Aku bawa desain revisinya. Sampai ketemu Mas."

Keira menutup telepon dengan senyum lebar yang masih tertempel di wajahnya. Dia kembali menyendok nasi gorengnya dengan semangat.

Arkan menatap istrinya dengan tatapan menyelidik. Rasa mules di perutnya mendadak hilang, digantikan oleh rasa panas di dada. Cemburu.

"Siapa tuh? Rio? Rio yang waktu itu masuk ruangan lo pas kita makan siang?" tanya Arkan ketus.

"Iya. Mas Rio rekan kerja gue. Kenapa emangnya?" tanya Keira tanpa dosa.

"Ngapain dia nelpon pagi-pagi? Mau ngajak senam pagi? Atau mau nawarin kredit panci?" sindir Arkan.

Keira meletakkan sendoknya. "Arkan, jangan mulai deh. Dia nelpon mau bahas proyek hotel di Bali. Nanti siang kami ada meeting sambil makan siang. Penting banget."

"Makan siang? Berdua doang?" kejar Arkan.

"Iya berdua. Kan dia ketua timnya. Udah ah gue berangkat dulu. Keburu macet. Lo kalau masih sakit perut mending istirahat aja di rumah. Jangan dipaksain kerja," kata Keira sambil berdiri.

Dia mencium pipi Arkan sekilas, lalu melenggang pergi meninggalkan aroma parfum stroberi yang manis.

Arkan terpaku di kursinya. Berdua. Makan siang. Di restoran tempat biasa. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya seperti sirene bahaya.

"Enggak bisa dibiarin. Ini namanya ancaman integritas rumah tangga. Gue harus bertindak," gumam Arkan.

Arkan melupakan sakit perutnya. Dia segera mengambil ponselnya dan menekan nomor asisten pribadinya.

"Halo Bimo. Kosongkan jadwal gue siang ini. Kita punya misi rahasia. Siapin mobil operasional kantor yang paling butut. Jangan pake mobil gue. Dan siapin kacamata item sama topi," perintah Arkan tegas.

"Siap Bos. Kita mau ngintai siapa Bos? Saingan bisnis? Atau mau nagih utang?" tanya Bimo di seberang sana.

"Kita mau ngintai saingan cinta. Cepetan. Gue tunggu di lobi setengah jam lagi," Arkan mematikan telepon lalu lari ke kamar untuk ganti baju. Dia memilih kaos oblong hitam dan jaket denim belel agar terlihat seperti orang biasa. Penyamaran dimulai.

Pukul dua belas siang, sebuah mobil MPV tua berwarna silver berhenti di parkiran sebuah restoran Italia mewah di kawasan Senopati. Kaca film mobil itu sangat gelap, cocok untuk mengintai.

Di dalam mobil, Arkan dan Bimo sedang berebut teropong binokular.

"Sini Bim, gue mau liat!" seru Arkan merebut teropong itu.

"Sabar Bos. Saya lagi setel fokusnya. Itu Bu Keira duduk di dekat jendela kan?" tanya Bimo sambil menunjuk ke arah restoran.

Arkan mengarahkan teropongnya. Benar saja. Keira duduk berhadapan dengan Rio. Pria berkacamata itu terlihat rapi dan, Arkan benci mengakuinya, cukup tampan dengan gaya intelektualnya.

Mereka terlihat tertawa. Rio mengatakan sesuatu yang membuat Keira tertawa lepas sampai memegangi perutnya. Arkan tidak pernah melihat Keira tertawa sebahagia itu bersamanya. Paling banter Keira cuma tersenyum sinis atau tertawa mengejek kalau Arkan sial.

"Sialan. Apa yang lucu sih? Pasti si Rio itu lagi cerita tebak-tebakan garing," gerutu Arkan panas.

"Mungkin dia lagi cerita soal saham Bos. Cewek-cewek pinter kayak Bu Keira kan suka cowok berwawasan luas," komentar Bimo polos.

Arkan menoyor kepala Bimo. "Maksud lo wawasan gue sempit? Gue juga tau saham. Saham gorengan."

Tiba-tiba Arkan melihat Rio mengulurkan tangannya. Rio menyentuh tangan Keira yang ada di atas meja. Arkan menahan napas.

"Woy! Pegang-pegang! Pelanggaran! Kartu merah!" teriak Arkan heboh di dalam mobil.

"Sabar Bos. Itu kayaknya lagi liat bahan kain deh. Ada potongan kain di meja," Bimo mencoba menenangkan bosnya yang sudah siap meledak.

Tapi Arkan tidak peduli. Emosinya sudah di ubun-ubun.

"Ayo turun Bim. Kita masuk. Gue enggak bisa diem aja liat istri gue dipegang-pegang cowok lain. Gue mau labrak," Arkan membuka pintu mobil.

"Bos, jangan gegabah. Nanti ketahuan kalau kita nguntit. Gengsi dong Bos," cegah Bimo.

"Bodo amat. Harga diri gue lagi dipertaruhkan. Lo ikut gue. Pura-pura jadi temen gue yang lagi laper. Jangan panggil gue Bos. Panggil gue Bro atau Bray," instruksi Arkan.

Mereka berdua turun dan berjalan masuk ke restoran itu. Arkan menaikkan kerah jaketnya dan memakai topi rendah. Bimo berjalan di belakangnya dengan canggung.

Arkan memilih meja yang berjarak dua meja dari tempat Keira duduk. Posisinya membelakangi Keira, tetapi cukup dekat untuk menguping.

Arkan mengambil buku menu dan menutupi wajahnya.

"Pesen apa Bro?" tanya pelayan yang datang.

"Air putih aja dua gelas. Sama tisu yang banyak," jawab Arkan ketus tanpa menurunkan buku menu. Pelayan itu bingung tapi menurut saja.

Arkan menajamkan pendengarannya.

"Jadi gimana Mas? Desain lobi utamanya udah oke?" suara Keira terdengar jelas.

"Udah oke banget Ra. Kamu emang jenius. Saya suka pemilihan warnanya. Lembut tapi tegas. Kayak kamu," suara Rio terdengar memuji. Ada nada flirting di sana. Arkan yakin itu.

"Ah Mas Rio bisa aja. Ini kan kerja tim," jawab Keira merendah.

"Ra, ada kotoran dikit di pipi kamu. Bekas saus kayaknya," kata Rio tiba-tiba.

Arkan mengintip dari balik buku menu. Dia melihat tangan Rio terulur memegang tisu, hendak mengusap pipi Keira.

Cukup.

Kesabaran Arkan habis. Batas toleransinya sudah jebol.

Arkan membanting buku menu ke meja dengan keras.

Bimo kaget sampai tersedak air liurnya sendiri. Pengunjung lain menoleh kaget.

Arkan berdiri dan berjalan cepat menghampiri meja Keira. Dia menepis tangan Rio yang baru mau menyentuh pipi Keira.

Tisu di tangan Rio terjatuh. Rio dan Keira menoleh kaget.

"Jangan sentuh istri saya! Tangan lo penuh bakteri!" bentak Arkan dengan suara menggelegar.

Keira melongo. Dia menatap sosok di depannya. Jaket denim belel, topi hitam, wajah merah padam.

"Arkan? Lo ngapain di sini?" tanya Keira tak percaya.

Arkan membuka topinya dan melemparnya ke meja.

"Gue lagi makan siang. Kebetulan lewat. Terus gue liat ada cowok modus mau pegang-pegang pipi istri gue. Lo pikir gue bakal diem aja?" Arkan menatap Rio tajam.

Rio berdiri, terlihat bingung namun tetap tenang. "Maaf Pak Arkan. Saya tidak bermaksud modus. Ada noda saus di pipi Keira. Saya cuma mau bantu bersihkan."

"Dia punya tangan sendiri! Dia bisa bersihin sendiri! Atau kalau dia enggak bisa, ada gue suaminya yang bersihin! Lo enggak usah sok jadi pahlawan kesiangan!" semprot Arkan.

Keira berdiri dan menarik lengan Arkan. Wajahnya merah karena malu. Semua orang di restoran itu menonton drama mereka.

"Arkan! Cukup! Lo bikin malu! Mas Rio itu sopan. Lo yang berlebihan," bisik Keira tajam.

"Gue berlebihan? Ra, dia muji-muji lo. Dia bilang lo jenius. Dia bilang lo lembut. Itu taktik buaya darat, Ra. Gue tau karena gue rajanya buaya!" Arkan keceplosan membuka aib sendiri saking emosinya.

Beberapa pengunjung menahan tawa mendengar pengakuan Arkan sebagai Raja Buaya.

Rio tersenyum tipis. "Pak Arkan, saya rasa Bapak salah paham. Saya memuji Keira karena kinerjanya memang bagus. Dan saya tahu batasan saya. Saya menghormati pernikahan kalian."

"Halah, basi. Cowok mana ada yang murni temenan sama cewek secantik Keira tanpa ada rasa. Ngaku lo! Lo naksir kan sama bini gue?" desak Arkan sambil menunjuk hidung Rio.

Rio diam sejenak, lalu menghela napas. "Jujur, saya memang kagum sama Keira. Dulu. Sebelum dia menikah. Tapi sekarang dia sudah jadi milik Bapak. Jadi Bapak tidak perlu khawatir. Saya mundur."

Pengakuan jantan Rio membuat Arkan terdiam. Dia kehilangan kata-kata. Ternyata musuhnya mengaku kalah sebelum berperang.

Keira memijat pelipisnya yang pening. "Mas Rio, maafin suami saya ya. Dia emang agak gangguan jiwa kalau lagi laper. Mas Rio lanjutin aja makannya. Saya pamit dulu."

Keira mengambil tasnya, lalu menyeret Arkan keluar dari restoran itu. Bimo yang sedari tadi bersembunyi di balik pot bunga buru-buru menyusul di belakang.

"Ra, tunggu Ra! Lepasin kuping gue!" Arkan mengaduh saat Keira menjewer telinganya sampai ke parkiran.

Keira melepaskan jewerannya di depan mobil butut yang dibawa Bimo. Dia melipat tangan di dada, menatap Arkan dengan tatapan membunuh.

"Puas lo? Puas bikin gue malu di depan atasan gue?" tanya Keira dingin.

Arkan menunduk, memainkan ujung jaketnya seperti anak kecil yang ketahuan mencuri mangga.

"Gue ... gue kan cemburu Ra. Gue takut lo diambil orang. Lo kelihatan bahagia banget tadi ketawa-ketiwa sama dia. Sama gue lo jarang ketawa," cicit Arkan pelan.

Keira tertegun. Kemarahan di dadanya perlahan surut melihat wajah memelas suaminya. Arkan cemburu karena takut kehilangan dirinya? Itu terdengar konyol tapi juga manis.

Keira menghela napas panjang. Dia mendekati Arkan, lalu mengambil tisu dari saku Arkan. Dia mengusap keringat di dahi suaminya.

"Dasar bodoh. Gue ketawa karena Mas Rio cerita anaknya yang baru belajar jalan kejebur kolam ikan. Lucu tau. Bukan karena gue naksir dia," jelas Keira.

Arkan mengangkat wajahnya. Matanya berbinar penuh harap. "Beneran? Bukan karena rayuan maut dia?"

"Bukan, Arkan. Lagian gue udah bilang kan. Tipe gue emang yang pinter dan sopan kayak Mas Rio. Tapi ...." Keira menggantung kalimatnya.

"Tapi apa?" kejar Arkan tidak sabar.

"Tapi takdir gue dapetnya yang modelan kayak lo. Yang tengil, cemburuan, dan hobi bikin malu. Dan anehnya, gue mulai nyaman sama takdir ini," aku Keira jujur.

Arkan tersenyum lebar. Lebar sekali sampai matanya menyipit. Rasa cemburunya menguap seketika digantikan rasa berbunga-bunga.

"Jadi lo nyaman sama gue? Fix lo cinta sama gue," Arkan langsung memeluk Keira erat-erat di tengah parkiran panas itu.

"Arkan! Lepas! Panas tau! Diliatin tukang parkir!" Keira memberontak tapi tidak terlalu keras.

Arkan melepaskan pelukannya. Dia menatap Bimo yang berdiri canggung di samping mobil.

"Bim, lo pulang naik taksi ya. Gue mau bawa istri gue jalan-jalan pakai mobil butut ini. Biar romantis ala-ala FTV," kata Arkan seenaknya.

"Siap Bos. Asal ongkos taksinya diganti," jawab Bimo pasrah.

Arkan membukakan pintu mobil untuk Keira.

"Silakan masuk Tuan Putri. Maaf keretanya agak rongsok. Tapi sopirnya ganteng dan setia," kata Arkan.

Keira menggelengkan kepala sambil tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil.

"Jalan ke mana nih Pak Sopir?" tanya Keira saat Arkan sudah duduk di balik kemudi.

"Ke mana aja asal sama kamu. Ke ujung dunia juga ayo," gombal Arkan.

"Ke apotek dulu. Beli obat sakit perut. Muka lo pucet lagi tuh nahan mules," kata Keira realistis.

Arkan memegangi perutnya. Benar juga. Adrenalinnya sudah habis, rasa mulesnya kembali menyerang.

"Oke. Apotek dulu. Baru ke ujung dunia," kata Arkan sambil menyalakan mesin mobil yang batuk-batuk.

Siang itu mereka menghabiskan waktu berdua di dalam mobil tua, tertawa menertawakan kebodohan Arkan, dan berbagi cerita yang selama ini belum tersampaikan. Arkan belajar satu hal penting hari ini: cemburu itu wajar, tapi percaya pada pasangan itu jauh lebih menenangkan. Dan bagi Keira, dia belajar bahwa di balik sikap posesif Arkan yang menyebalkan, ada hati yang tulus yang sangat takut kehilangannya.

Rumah tangga mereka memang penuh drama, tapi setidaknya drama itu bergenre komedi romantis yang berakhir bahagia. Untuk saat ini. Karena di rumah, Mama Rina dan Papa Wijaya pasti sudah menunggu dengan ide gila lainnya. Dan Arkan belum siap mental jika harus minum jus tauge lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!