Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 — Segel Penstabil Jiwa
Langit di atas Sekte Langit Tenang berwarna kelabu pucat. Tidak ada matahari, tapi sinar lembut menembus kabut seperti cahaya yang enggan menyentuh bumi. Di puncak tertinggi, di sebuah ruangan yang dibangun dari batu giok putih, Shen Wuyan berlutut dalam diam. Tubuhnya tegak, tapi mata itu kosong, seolah semua gairah hidup telah dikeruk dan dibuang.
Elder Ming Zhao berdiri di hadapannya, jubah abu-abu bergoyang pelan tertiup angin dari celah jendela tinggi. Di belakangnya, tiga tetua sekte berdiam diri, mengawasi dalam bayangan. Aura mereka berat, tapi tak satu pun berani memecah keheningan.
“Shen Wuyan,” suara Ming Zhao rendah, nyaris seperti doa. “Kau tahu alasan kami memanggilmu ke sini?”
Wuyan mengangkat kepalanya perlahan. Di matanya, tidak ada rasa takut, hanya ketenangan yang dingin. “Karena aku bukan lagi murid yang bisa dipercaya,” katanya tenang.
Salah satu tetua di belakang Ming Zhao bergumam tidak sabar. “Bocah ini bahkan tidak menyangkal. Kau lihat sendiri, Ming Zhao. Jiwa seperti ini tak bisa dipulihkan tanpa segel.”
Ming Zhao menatap muridnya lama. “Ini bukan hukuman, Wuyan. Segel ini dibuat untuk menstabilkan jiwamu. Tanpanya, kau akan hancur dari dalam.”
Suara di dalam diri Wuyan menyela — lembut, namun tajam seperti duri yang tumbuh dari jantungnya sendiri. “Tidak, mereka ingin menjinakkanmu. Mereka takut laut dalam matamu menelan mereka juga.”
Wuyan tidak merespons. Ia hanya menunduk. Dalam hatinya, ia tahu sebagian dari suara itu benar. Tapi sebagian lagi... mungkin hanya bayangan yang tak ingin hilang.
“Jika kau setuju,” lanjut Ming Zhao, “kau harus menanggung akibatnya. Segel ini akan menenangkan jiwa, tapi menumpulkan rasa. Emosi, intuisi, dan sebagian kesadaranmu akan tertidur.”
“Tidur?” gumam Wuyan pelan. “Atau mati?”
Ming Zhao tidak menjawab. Ia hanya menatap lebih dalam, seolah mencari sisa kemanusiaan di balik tatapan itu.
Beberapa saat kemudian, Wuyan mengangguk. “Lakukan, Guru.”
Tatapan para tetua saling bertukar diam-diam. Mereka mulai melafalkan mantra kuno dalam nada rendah dan berat. Udara di ruangan berubah dingin; lilin-lilin kuning pucat bergetar, nyalanya berputar dalam pusaran kecil tak terlihat.
Formasi giok di bawah Wuyan menyala perlahan. Cahaya hijau muda naik dari bawah tanah, membentuk lingkaran simbolik yang berlapis tiga. Mantra mengalun seperti bisikan roh, dan udara di sekeliling berubah menjadi berat seperti air.
“Mulailah,” ucap salah satu tetua.
Elder Ming Zhao maju. Ia menekuk lutut, mengangkat tangan, dan menatap Wuyan untuk terakhir kali. “Kau masih bisa menolak,” katanya lembut.
“Terlambat untuk itu.”
Jari Ming Zhao menyentuh dada Wuyan.
Suara retakan kecil terdengar — bukan dari batu, melainkan dari dalam tubuh. Cahaya merah lembut memancar dari kulit Wuyan, membentuk lambang lotus terbalik yang berdenyut pelan. Cahaya itu berputar, seperti sedang mencari tempat menancap di dalam jiwanya.
Dari punggungnya, bayangan hitam muncul samar, menjerit tanpa suara. Aura spiritual di ruangan itu melonjak drastis. Para tetua menambah mantra mereka, mencoba menstabilkan pusaran energi yang mulai menyimpang.
Wuyan menggigil, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi. Setiap denyut segel terasa seperti jarum dingin menusuk batin. Sakitnya tidak seperti rasa fisik; lebih seperti ada bagian dari dirinya yang dikupas perlahan — emosi, ingatan, warna — semuanya ditarik keluar dan dibiarkan memudar.
“Segel Hun–Po: tahap penyatuan pertama,” kata Ming Zhao lirih. “Biarkan cahaya lotus menenangkan lautmu.”
“Laut tidak bisa ditenangkan,” bisik suara di dalam dirinya, bergetar di tepian pikirannya. “Kau tahu itu.”
Cahaya merah mulai menyelimuti tubuhnya. Wajahnya pucat, tapi tidak berkeringat. Mata yang tadinya gelap kini memantulkan cahaya samar — bukan dari segel, melainkan dari sesuatu yang bergerak di dalamnya.
Para tetua saling pandang. Salah satu dari mereka berkata pelan, “Segel itu menolak. Jiwa anak ini tidak pasif.”
Ming Zhao menggertakkan gigi, menekan telunjuknya lebih dalam ke simbol lotus. “Kau harus diam, Wuyan. Kau harus menahan laut itu.”
Dalam hitungan detik, ruangan bergetar. Batu giok di dinding retak halus, dan udara seperti terbelah dua. Dari tubuh Wuyan, keluar semburan kabut hitam tipis, berputar seperti napas makhluk yang lapar.
Tapi saat simbol lotus di dada Wuyan menyala penuh, kabut itu tertelan. Suara jeritan itu padam, dan seluruh ruangan jatuh dalam kesunyian mendalam.
Wuyan terkulai. Napasnya tenang. Cahaya segel di dadanya kini menetap, berdenyut lembut seperti jantung yang baru lahir.
Ming Zhao menarik tangannya perlahan, matanya lelah. “Selesai.”
Salah satu tetua mendekat. “Kau yakin itu cukup kuat menahan retakannya?”
“Tidak ada segel yang bisa menahan laut,” jawab Ming Zhao lirih, “tapi setidaknya kita bisa menidurkannya sementara.”
Para tetua meninggalkan ruangan satu per satu, langkah mereka bergema pelan di lantai batu. Hanya Ming Zhao dan Wuyan yang tersisa.
Beberapa menit berlalu tanpa suara. Akhirnya Wuyan membuka mata. Dunia di sekelilingnya tampak aneh. Suara detak jantung sendiri terdengar seperti gema jauh di dalam air. Warna-warna pudar, udara tidak lagi dingin atau hangat. Semuanya netral.
Ia mencoba berbicara, tapi suaranya sendiri terdengar asing. “Guru… sudah selesai?”
Ming Zhao mengangguk. “Sudah. Kau akan tenang mulai sekarang.”
“Tenang…” Wuyan mengulang kata itu seperti menimbang maknanya. “Apakah itu berarti aku masih hidup?”
Ming Zhao terdiam. Tak ada jawaban yang pantas. Ia hanya menepuk bahu muridnya perlahan dan melangkah pergi.
Wuyan duduk diam lama setelah itu. Cahaya segel di dadanya masih berdenyut pelan, tapi di matanya tidak ada pantulan api lilin. Semua hal tampak datar — seolah ia menatap dunia dari balik lapisan kaca tebal.
Dalam diam itu, suara samar muncul dari tempat terdalam di benaknya. “Kau menutup pintu, tapi aku masih di sini.”
Wuyan menutup mata. Ia tahu siapa yang berbicara. Tapi kali ini, ia tidak menjawab.
Cahaya segel berdenyut lebih pelan. Dari balik pantulan batu giok di lantai, terlihat bayangan samar dirinya — hanya saja bayangan itu tersenyum.
Udara di ruang batu giok terasa mati. Lilin-lilin telah padam, menyisakan bau abu dan wewangian mantra yang belum sepenuhnya hilang. Shen Wuyan tetap duduk di posisi yang sama. Tubuhnya tidak bergerak, tapi di balik kulit yang pucat, denyut spiritual berputar pelan seperti pusaran kecil di tengah laut luas.
Waktu berlalu entah berapa lama. Dalam ketenangan itu, sesuatu bergerak dari dalam dirinya — bukan rasa, bukan pikiran, tapi sesuatu yang menyerupai napas gelap yang mengalir melalui nadi spiritualnya.
Cahaya lotus di dadanya berdenyut sekali. Bayangan di belakangnya muncul perlahan. Kali ini tidak lagi berbentuk kabut, tapi wujud samar menyerupai dirinya sendiri, hanya dengan mata lebih merah, senyum lebih tajam.
“Jadi ini yang mereka sebut ketenangan,” gumam bayangan itu. “Dingin, kosong, dan tanpa arah.”
Wuyan menatapnya tanpa ekspresi. “Kau tidak seharusnya bisa bicara. Segel itu menahanmu.”
Bayangan tertawa kecil, suaranya bergema seperti kaca yang pecah. “Menahan? Kau pikir segel bisa memisahkan aku darimu? Aku bukan penyakit, aku bagian dari napasmu.”
Ia bangkit perlahan, menatap bayangan itu. “Jika kau bagian dariku, mengapa kau terus berusaha keluar?”
“Karena aku satu-satunya bagian yang masih merasa hidup.”
Kalimat itu menggantung lama di udara. Wuyan terdiam, menatap segel di dadanya yang terus berdenyut pelan. Setiap denyut menenangkan pikirannya, tapi juga menumpulkan sesuatu yang dulu pernah ada — ketakutan, keberanian, keraguan. Semua memudar seperti tinta dalam air.
Bayangan melangkah mendekat. Kakinya tak menyentuh tanah, tapi setiap langkah meninggalkan riak samar di udara. “Kau tahu apa yang mereka lakukan padamu, kan?” suaranya lebih lembut sekarang. “Mereka tidak menolongmu. Mereka menidurkanmu.”
“Tidur lebih baik daripada hancur.”
“Benarkah? Atau kau hanya terlalu takut pada apa yang bisa muncul jika kau tetap sadar?”
Wuyan menutup mata, tapi bayangan itu tetap terasa — hangat di belakang kelopak mata, seperti bara kecil yang menolak padam.
“Aku tidak takut.”
“Tidak. Kau hanya tidak lagi bisa merasa takut,” kata bayangan itu dengan senyum getir. “Itulah yang dilakukan segel. Ia menukar hidupmu dengan kestabilan.”
Keheningan memanjang. Wuyan membuka mata lagi. “Kalau begitu, mengapa kau masih ada?”
Bayangan menunduk sedikit. “Karena aku bukan bagian yang bisa dimeteraikan. Aku bukan emosi, bukan ingatan. Aku adalah sisa dari wajah pertama — bagian yang tak ingin tunduk.”
Kata-kata itu membuat udara di sekitar mereka bergetar. Lotus merah di dada Wuyan berdenyut lebih cepat. Retakan kecil muncul di cahaya itu, tipis, nyaris tak terlihat, tapi nyata.
Bayangan mendekat lebih jauh hingga jarak mereka hanya sehelai nafas. “Kau tahu, Wuyan… laut tidak butuh segel untuk diam. Ia hanya butuh alasan untuk tenang.”
“Apa maksudmu?”
“Cari alasan itu sendiri. Jangan biarkan mereka memilihkan untukmu.”
Seketika bayangan itu lenyap, terserap kembali ke dalam tubuhnya. Denyut segel berhenti sesaat, kemudian kembali stabil. Namun sesuatu telah berubah.
Wuyan perlahan berdiri. Matanya menatap ke langit-langit batu. Ia merasakan sesuatu yang aneh — bukan kebencian, bukan amarah, tapi kehampaan yang terlalu sunyi untuk disebut damai.
Langkahnya keluar dari ruangan terasa berat. Di koridor panjang, para murid yang lewat berhenti menatap. Ada sesuatu yang berbeda pada Wuyan sekarang. Sorot matanya bukan lagi milik manusia biasa; terlalu jernih, terlalu kosong.
Di halaman tengah, ia berhenti. Angin membawa debu kering dari taman latihan, membuat ujung jubahnya bergoyang pelan.
“Shen Wuyan.”
Suara itu datang dari sisi kanan. Seorang gadis berdiri di sana — Lin Yue, salah satu murid inti dari Divisi Roh. Wajahnya tegang, tapi matanya dipenuhi kecemasan.
“Guru bilang kau baru saja disegel,” katanya pelan. “Kau... baik-baik saja?”
Wuyan memandangnya lama sebelum menjawab. “Aku tidak tahu apa arti ‘baik-baik saja’ sekarang.”
Lin Yue menggigit bibir. “Aku tahu segel itu menyakitkan. Tapi mereka melakukannya karena khawatir padamu. Energi jiwamu terlalu tidak stabil.”
“Tidak stabil,” ulang Wuyan. “Itu kata yang mereka gunakan untuk menyebut sesuatu yang tidak mereka pahami.”
Nada suaranya datar, tapi ada kilatan kecil di matanya — seperti petir di balik kabut.
Lin Yue menatapnya lama, lalu menunduk. “Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Kata-kata itu mengguncang sesuatu di dalam diri Wuyan. Ada gema samar, seperti riak di permukaan laut. Tapi sebelum perasaan itu bisa tumbuh, segel di dadanya berdenyut keras, menekannya kembali ke dalam diam.
“Aku tidak bisa menjanjikan apa pun,” katanya akhirnya. “Aku bukan orang yang sama seperti sebelumnya.”
Lin Yue hanya mengangguk, lalu pergi dengan langkah cepat.
Wuyan menatap punggungnya menghilang di balik dinding giok, lalu menatap langit kelabu di atas. Di dalam tubuhnya, bayangan tadi tertawa pelan. “Kau lihat? Mereka takut padamu. Tapi sebagian dari mereka juga masih berharap kau tetap sama.”
“Dan itu masalahnya,” jawab Wuyan dalam hati. “Mereka berharap pada sesuatu yang sudah tidak ada.”
Ia berbalik, berjalan ke arah aula meditasi. Setiap langkahnya meninggalkan gema lembut, seolah dunia mengingat kehadirannya.
Saat ia duduk di tengah aula, segel di dadanya kembali bersinar. Tapi kali ini, di bawah cahaya merah lembut itu, ada sesuatu yang berbeda — garis kecil hitam yang berdenyut di dalam simbol lotus.
Retakan yang nyaris tak terlihat.
Dan dari dalam retakan itu, suara samar kembali terdengar. “Kau tidak bisa menahan laut selamanya, Shen Wuyan.”
Ia membuka mata perlahan. Di pupilnya, pantulan segel terlihat jelas — lotus merah dengan bayangan hitam di tengahnya, berputar pelan seperti mata iblis yang menatap balik.
Namun Wuyan hanya tersenyum tipis. “Aku tahu.”
Cahaya di aula meredup. Dari luar, lonceng sekte berbunyi tiga kali — tanda malam telah turun. Tapi bagi Wuyan, malam dan siang kini sama saja. Dunia terasa datar, tapi di dalam ketenangan itu, ada sesuatu yang tumbuh perlahan, seperti benih yang menunggu badai.
Dalam diam itu, ia berbisik ke dirinya sendiri, “Jika lautku harus tertidur, maka biarlah aku yang menjadi mimpinya.”
Bayangan di balik dinding jiwanya tersenyum puas. “Akhirnya kau mulai mengerti.”
Dan di bawah langit kelabu Sekte Langit Tenang, segel di dada Shen Wuyan berdenyut pelan — stabil di permukaan, tapi di kedalaman, sesuatu mulai bergerak.