Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 — Tenggelam Tanpa Dasar
Rendra jatuh. Ia tidak merasakan benturan air, melainkan hisapan dingin yang mematikan. Air Sumur Tua terasa seperti jutaan bilah es yang menusuk kulitnya, membuatnya kehilangan kesadaran secara instan. Di detik terakhir kesadaran, ia mencengkeram erat roll film yang telah ia cuci di air sumur.
Ketika Rendra terbangun, ia tidak merasakan dirinya basah, namun ia juga tidak merasa kering. Perasaan itu aneh, seperti ia adalah spons yang telah sepenuhnya jenuh oleh cairan yang sangat dingin.
Ia membuka mata. Ia tidak berada di dalam sumur yang gelap.
Ia berada di dunia yang lain.
Itu adalah dunia yang menyerupai Desa Waringin, tetapi seperti gambaran surealistik yang ditarik oleh pelukis yang sedang demam. Rendra berdiri di atas tanah yang licin, tetapi di sekelilingnya, air hitam setinggi pinggang menyelimuti segalanya.
Semua yang ia lihat di desa—pohon-pohon, rumah-rumah, Balai Desa—semuanya tenggelam di dalam air gelap yang kental.
Ia melihat ke atas. Langit di dunia ini berwarna hitam pekat, tebal, dan sangat rendah.
Dan yang paling aneh: hujan tidak jatuh ke bawah.
Rendra menyaksikan pemandangan yang mustahil. Dari air yang menyelimuti kakinya, gelembung-gelembung air kecil naik, menembus permukaan air, dan kemudian, bukannya menghilang, air itu jatuh ke atas, ditarik oleh langit hitam, seolah-olah gravitasi telah terbalik.
Hujan jatuh dari tanah ke langit. Ini adalah dunia yang terbalik, dunia di mana air adalah satu-satunya hukum.
Rendra menghela napas. Udara di sini terasa berat, dingin, dan berbau seperti lumpur yang telah membusuk selama ribuan tahun.
Ia mencoba berjalan. Setiap langkahnya menimbulkan riak di air yang gelap itu. Air itu terasa lebih kental dari air biasa.
Rendra melihat ke air di sekelilingnya. Air itu tidak jernih. Di dalamnya, wajah-wajah samar bergerak. Bukan ikan, bukan bayangan. Mereka adalah refleksi distorsi dari wajah manusia.
Wajah-wajah yang tampak memohon, sedih, dan terperangkap di dalam air itu. Wajah-wajah yang telah mati. Wajah Dimas, wajah penjaga Balai Desa, dan wajah-wajah lain yang tidak ia kenali—ratusan korban yang dikubur di Kuburan Rahasia.
Wajah-wajah itu bergerak seolah berenang, tetapi mereka tidak bisa keluar dari air.
“Kau akhirnya datang,” bisik suara dari balik kabut.
Suara itu terdengar di benak Rendra, bukan melalui telinga. Suara yang dingin, lembut, dan dipenuhi dengan melankoli yang tak terbatas.
Itu suara yang sama yang ia dengar dari pantulan di Sumur Tua.
Suara Rani.
“Rani! Di mana kamu?” seru Rendra.
Air di sekelilingnya beriak keras, seolah merespon panggilannya.
“Aku di sini, Mas. Di rumah. Di mana semuanya dimulai.”
Rendra melihat ke arah rumah-rumah yang tenggelam. Mereka semua tampak serupa, lapuk dan sepi. Ia harus tahu di mana 'rumah' yang dimaksud Rani.
Ia menyentuh roll film yang ia genggam. Film itu basah, dan ia merasakan dinginnya air yang merambat dari film itu ke tangannya.
Rendra mulai melangkah, air setinggi pinggangnya menghambat setiap gerakannya. Ia harus mencari Rani. Ia harus menyelesaikan apa yang Ayahnya mulai.
Saat ia berjalan, ia menyadari sesuatu yang mengerikan: setiap langkahnya menimbulkan cipratan darah, bukan air.
Cairan kental berwarna merah gelap memercik setiap kali kakinya menyentuh tanah di bawah air. Cairan itu segera larut dalam air hitam, tetapi cipratan itu berulang di setiap langkahnya. Air di dunia ini adalah air yang tercipta dari darah yang sangat encer.
Rendra tahu, ia berada di dunia memori Laras. Dunia yang tercipta dari kutukan, dari darah yang meminta keadilan, dan air yang tidak akan pernah berhenti.
Ia melihat ke depan. Di tengah-tengah kabut yang tebal, ia melihat siluet sebuah bangunan yang tampak lebih kokoh dan lebih tua dari yang lain. Rumah itu tampak setengah tenggelam, jendelanya pecah, dan dari dalamnya, memancar cahaya redup.
Rendra bergerak menuju rumah itu, melangkah di antara wajah-wajah yang samar bergerak di air. Wajah-wajah itu menatapnya, bukan dengan marah, melainkan dengan harapan.
Saat ia semakin dekat, ia melihat bahwa rumah itu dilingkari oleh akar-akar pohon besar yang menjulur dari air hitam. Pohon Waringin Raksasa di dunia nyata pasti menembus ke dunia bawah ini, mengikat memori-memori itu agar tidak pernah lepas.
Rendra mencapai pintu rumah yang lapuk. Pintu itu terbuka, melayang di air.
Ia masuk.
Di dalam, air gelap setinggi pinggang itu membuat furnitur tampak melayang dan dinding-dinding kayu tampak melengkung. Rumah itu berantakan, tetapi di dalamnya, ia mencium aroma yang berbeda—aroma melati kering, dicampur dengan bau besi.
Ini adalah tempat yang Nyai Melati sebutkan. Ini adalah tempat Laras tinggal sebelum dikorbankan.
Rendra menggerakkan senternya, yang ajaibnya masih menyala meskipun basah.
Dinding di dalam rumah itu dipenuhi oleh cap tangan merah yang samar. Ratusan cap tangan, dicat di dinding, seolah-olah orang-orang yang marah mencoba keluar dari rumah ini.
Di tengah ruangan, di atas meja yang terbalik, terdapat patung perempuan tanpa kepala. Patung itu dibuat dari tanah liat, ukurannya sebesar anak kecil. Tubuhnya dibungkus kain putih yang kotor.
Rendra menyadari:
Ini adalah patung yang dibuat Dimas di dunia atas. Patung yang Dimas buat saat dia dirasuki. Di dunia bawah ini, patung itu menjadi nyata.
Rendra menyentuh patung itu. Dingin. Dan ia merasakan sakit yang mendalam merambat dari patung itu ke tangannya.
Ia menoleh. Di sudut ruangan, tersembunyi di balik tirai basah, ada sebuah kursi rotan kecil, dan di atasnya, duduk sesosok tubuh.
Sosok itu menoleh ke arah Rendra. Wajahnya pucat kebiruan, rambutnya basah kuyup, dan matanya…
Matanya hitam seluruhnya, tanpa putih, tanpa pupil.
Itu adalah Rani.
Rani tersenyum, senyum yang sama persis dengan yang Rendra lihat di pantulan Sumur Tua. Senyum yang dingin, namun ramah.
“Kau akhirnya datang, Mas,” bisik Rani, suaranya kini terdengar seperti air yang menetes dari batu.
“Selamat datang di bawah hujan.”
Rendra merasa ngeri, tetapi ia merasakan kehangatan yang aneh. Ia harus mendekati adiknya, yang kini menjadi gerbang antara dua dunia.