Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kartu Nama Masa Depan
Kuarter keempat. Sisa waktu 2 menit. Skor 68-70. Tim SMA mereka tertinggal satu bola.
Atmosfer di dalam GOR sudah bukan lagi panas, tapi mendidih. Teriakan suporter menggema memekakkan telinga. Namun bagi Renjiro Sato, dunia seakan hening. Fokusnya hanya satu: lutut kanan Takae Yumi.
Takae sudah bermain selama 35 menit. Keringat membanjiri tubuhnya, napasnya memburu kasar seperti lokomotif uap. Dia sudah pincang. Sangat jelas pincang. Setiap kali dia berlari kembali ke pertahanan, wajahnya meringis menahan sakit.
Tapi dia tidak berhenti. Matanya liar, penuh ambisi untuk menang.
"Sato-kun," bisik Marika di samping Ren. Tangannya mencengkeram papan jalan erat-erat. "Dia sudah mencapai batasnya. Secara medis, ini berbahaya."
"Aku tahu," jawab Ren kaku. Tangannya sudah menggenggam kaleng semprotan pereda nyeri (cold spray) di bawah meja skor. "Tunggu sebentar lagi. Dikit lagi..."
Di lapangan, point guard lawan melakukan kesalahan passing. Bola liar!
Takae melihat peluang. Dengan sisa tenaga terakhir, dia melakukan sprint. Dia menyambar bola itu, mendribble sendirian ke arah ring lawan untuk melakukan fast break.
Dua pemain lawan mengejarnya. Takae melompat untuk lay-up. Pemain lawan melompat untuk memblok.
Takae melakukan gerakan double clutch di udara—gerakan sulit melipat tubuh untuk menghindari blok—dan melepaskan bola ke papan.
Bola memantul. Masuk!
Skor imbang 70-70!
Tapi saat mendarat...
BRUK.
Kaki kanan Takae mendarat dengan sudut yang buruk. Lututnya tertekuk ke dalam. Takae jatuh berguling di lantai parket dan tidak bangun lagi. Dia memegangi lututnya sambil mengerang.
"TAKAE!"
Sebelum wasit meniup peluit, Ren sudah melompati meja skor. Dia berlari ke tengah lapangan lebih cepat dari tim medis sekolah. Marika menyusul di belakangnya.
Ren berlutut di samping Takae. Wajah gadis itu pucat pasi, matanya terpejam menahan sakit.
"Takae! Denger aku?!" panggil Ren.
Takae membuka matanya sedikit. "R-Ren... bolanya... masuk gak?"
"Masuk. Skor imbang," jawab Ren cepat. Dia menyentuh knee support tebal yang terpasang di lutut Takae.
Pelindung itu melakukan tugasnya. Ren bisa merasakan bahwa sendi lututnya tertahan oleh besi penyangga di dalam decker itu. Kalau Takae tidak memakai ini, ligamennya pasti sudah putus total seperti di masa depan asli.
"Sakit banget..." desis Takae, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Tapi... gue masih bisa..."
Dia mencoba berdiri.
"JANGAN!" bentak Ren, menahan bahu Takae.
"Masih sisa satu menit, Ren! Gue harus main!" Takae memberontak lemah. "Gue kapten! Gue harus..."
"Cukup, Takae," potong Ren tegas tapi lembut. Dia menyemprotkan cold spray ke area sekitar lutut. " Kamu udah berjuang hebat. Decker ini nyelamatin karir kamu. Jangan dihancurin lagi dengan maksa main satu menit terakhir."
Marika berlutut di sisi lain. "Tandu sudah siap," katanya efisien. Dia menatap Takae. "Sebagai Ketua OSIS, saya perintahkan kamu berhenti. Kamu sudah melakukan tugasmu. Istirahatlah."
Takae menatap Ren, lalu menatap Marika. Dia melihat kekhawatiran yang tulus di mata kedua "birokrat" sekolah itu.
Pertahanannya runtuh. Dia mengangguk lemah, air mata menetes. "Maaf... maafin gue..."
Ren dan tim medis mengangkat Takae ke tandu. Ren menggenggam tangan Takae sebentar sebelum tandu dibawa ke pinggir lapangan.
"Menang atau kalah," bisik Ren. " Kamu tetep keren."
Pertandingan dilanjutkan tanpa Takae.
Tanpa Ace mereka, moral tim sedikit goyah. Lawan memanfaatkan celah itu. Di detik-detik terakhir, SMA Seihoku mencetak tembakan tiga angka.
TEEEET!
Buzzer akhir berbunyi. Skor akhir 72-75. Tim mereka kalah.
Keheningan menyelimuti tribun tuan rumah. Di bangku cadangan, Takae (yang kakinya sudah dikompres es) menutupi wajahnya dengan handuk. Bahunya berguncang. Dia menangis. Bukan karena sakit fisik, tapi karena rasa bersalah dan kekalahan.
Ren berdiri di kejauhan, menatap Takae. Hatinya ikut sakit melihat temannya menangis.
"Kita kalah," gumam Marika di sebelahnya. "Analisis statistik: kehilangan poinsetter utama di menit kritis menurunkan probabilitas kemenangan sebesar 80%."
"Tapi dia selamat," kata Ren pelan. "Itu kemenangan yang sebenernya."
Saat tim lawan sedang merayakan kemenangan dan tim tuan rumah sedang membereskan barang dengan lesu, seorang pria paruh baya berjas rapi berjalan mendekati bangku cadangan tim sekolah Ren.
Pria itu bukan guru, bukan juga orang tua murid. Dia memakai ID card yang tergantung di lehernya.
Dia berhenti di depan Takae yang sedang menangis.
Ren menyipitkan mata. "Siapa itu?"
Marika menyesuaikan letak kacamatanya (kalau dia pakai). "Dari ID Card-nya... sepertinya pemandu bakat (scout) Universitas Olahraga Nasional."
Ren dan Marika melihat pria itu berbicara dengan Takae. Takae membuka handuknya, wajahnya sembab dan bingung. Pria itu menunjuk lutut Takae, lalu mengacungkan jempol. Dia menyerahkan sebuah kartu nama.
Takae terlihat kaget. Dia menerima kartu nama itu dengan tangan gemetar. Pria itu menepuk bahu Takae, tersenyum, lalu berjalan pergi.
Ren langsung berjalan menghampiri Takae.
"Takae? Dia ngomong apa?" tanya Ren.
Takae mendongak. Matanya masih basah, tapi ada binar kaget di sana. Dia menunjukkan kartu nama itu ke Ren.
[Universitas Olahraga Nasional - Divisi Pemandu Bakat Basket]
"Dia bilang..." suara Takae serak. "Dia bilang dia suka semangat aku. Dia liat lay-up terakhir tadi. Katanya... teknik double clutch itu level tinggi."
Takae menelan ludah, menatap lututnya yang dibalut es.
"Dia tanya soal cedera ini. Terus aku bilang aku pake pelindung medis yang kamu beli. Dia bilang: 'Pilihan cerdas. Berkat itu, cedera kamu nggak parah. Paling cuma butuh istirahat 3 minggu. Kalau kamu maksa tanpa pelindung, karir kamu tamat.'"
Ren menghembuskan napas yang dia tahan sejak tadi. Marika dewasa benar. Takdir bisa diubah dengan persiapan.
"Dia... dia ngundang aku ikut seleksi beasiswa tahun depan," lanjut Takae, air mata menetes lagi, tapi kali ini air mata haru. "Asal aku sembuh total."
Ren tersenyum lebar. Dia menepuk kepala Takae pelan (mengabaikan Marika yang melotot dari belakang).
"Tuh kan," kata Ren. "Kadang mundur selangkah itu perlu buat lompat lebih jauh. Selamat ya, Ace."
Takae menatap Ren. Tiba-tiba dia menarik kerah baju Ren dan memeluknya singkat—sangat cepat sampai Marika tidak sempat bereaksi.
"Makasih, Ren," bisik Takae. " Kamu nyelamatin masa depan aku."
Takae melepaskan pelukannya, lalu menyeringai khas dirinya lagi. "Tapi tetep aja kalah taruhan! Kamu tetep harus traktir aku pas aku sembuh!"
Ren tertawa. "Siap, siap. Dasar gorila."
Malam harinya, di gerbang sekolah yang sudah sepi.
Ren dan Marika berjalan pulang. Langit penuh bintang.
"Misi sukses, Ketua," kata Ren, memecah keheningan. "Laporan selesai."
Marika berjalan sambil memeluk papan jalannya. Dia tidak menatap Ren, tapi langkahnya ringan.
"Hmph. Evaluasi kinerjamu hari ini: Memuaskan," kata Marika. "Reaksi cepat tanggap di lapangan tadi... efisien."
"Cuma efisien?" goda Ren.
Marika berhenti berjalan. Dia menatap Ren.
"Dan... heroik," tambahnya pelan, wajahnya sedikit merona. "Kamu menyelamatkan impian seseorang hari ini, Sato-kun. Itu... itu hal yang hebat."
Ren tersenyum tulus. "Itu berkat izin Ketua juga. Makasih udah bolehin aku beli decker mahal itu pake uang kas."
"Itu investasi aset," elak Marika.
Mereka kembali berjalan.
Ren meraba saku celananya. Dia tidak sabar ingin memberi tahu Marika dewasa. Bahwa Takae tidak depresi. Bahwa karirnya tidak hancur. Bahwa masa depan yang suram itu sudah dihapus dan diganti dengan kartu nama universitas.
Dan yang paling penting... Ren menyadari sesuatu.
Jika dia bisa mengubah takdir Takae yang "pasti" itu...
"Sato-kun," panggil Marika tiba-tiba.
"Ya?"
"Besok minggu. Sekolah libur."
"Iya, tau."
"Saya... ibu saya," ralat Marika cepat. " Ibu saya mau mencoba resep kue baru. Dan butuh tester. Datanglah ke taman kota jam 10 pagi. Jangan telat."
Ren melongo. Dia baru saja diajak kencan (terselubung)?
"Siap, Ketua!" jawab Ren semangat. "Aku bakal siapin perut kosong."
Malam itu berakhir dengan kemenangan. Bukan kemenangan skor basket, tapi kemenangan melawan takdir buruk.
Dan besok, babak baru akan dimulai di taman kota.