Suatu hari, Rian, seorang pengantar pizza, melakukan pengantaran di siang hari yang terik.
Namun entah kenapa, ada perasaan aneh yang membuat langkahnya terasa berat saat menuju tujuan terakhirnya.
Begitu sampai di depan pintu apartemen lokasi pengantaran itu, suara tangis pelan terdengar dari dalam di ikuti suara kursi terguling.
Tanpa berpikir panjang, Rian mendobrak pintu dan menyelamatkan seorang gadis berseragam SMA di detik terakhir.
Ia tidak tahu, tindakan nurani itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Sistem memberi imbalan besar atas pencapaiannya.
Namun seiring waktu, Rian mulai menyadari
semakin besar sesuatu yang ia terima, semakin besar pula harga yang harus dibayar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 - Rekrut Anggota
“HAH? Rumah bukan nyicil!?” teriak mereka bertiga bersamaan, kaget.
“Yaps,” jawab Rian singkat, seakan itu biasa baginya.
---
“Wah… luas banget, Kak, rumahnya!”
Riani berdiri di tengah ruang tamu, matanya berkeliling tanpa henti, jelas tak percaya.
Rumah itu baru terasa sangat berbeda sejak langkah pertama.
Atapnya menjulang tinggi dengan desain modern, plafon putih bersih berpadu lampu tanam yang cahayanya lembut tapi elegan.
Lantai marmer mengilap memantulkan bayangan kaki mereka, dingin dan halus saat diinjak.
Ruang tamunya luas, lega, sampai gema langkah kaki terdengar pelan.
Di sudut ruangan, jendela kaca besar dari lantai ke langit-langit membiarkan cahaya matahari masuk bebas, menghadap taman kecil yang tertata rapi. Jelas ini bukan rumah biasa. Ini perumahan elit.
“Kak! Kak!” Riani berlari kecil mendekat, wajahnya penuh semangat.
“Kamar nya ada berapa?”
Rian pura-pura mikir, menatap langit-langit sambil mengusap dagu.
“Hm… kamar nya ada berapa ya…”
Riani langsung melotot.
“Ish! Kakak selalu aja jahil!”
Ia cemberut, memalingkan wajah ke dinding dengan dramatis.
Rian tertawa kecil.
“Haha. Ada lima, Dek. Kalian pilih aja mau yang mana.”
Lalu nadanya berubah sedikit lebih tegas, sambil menunjuk ke arah tangga dengan railing besi hitam minimalis.
“Kecuali Kamar di lantai atas. Jangan diganggu, itu punya kakak!”
Riani langsung mendengus kecil.
“Siapa pula yang mau kamar di atas, wlee,” katanya sambil menjulurkan lidah.
Belum selesai kalimatnya, ia sudah berbalik dan melaju cepat ke arah lorong kamar bawah, nyaris lari.
“Yey… kamar baru!!!” teriaknya penuh semangat.
Suara itu pecah bersamaan, penuh tawa dan langkah kaki yang berlarian termasuk yuna itu sendiri, sudah beradaptasi dengan keluarga rian.
"Hey nak, serius kamu beli rumah mewah ini pakai koin dari game? Ibu masih sedikit tidak percaya..." Ucap ibunya yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah.
Rian menoleh ke arah ibunya..
“Bu… gapapa kalau Ibu belum bisa percaya,” ucap Rian pelan, nadanya lebih lembut dari sebelumnya.
“Rian ngerti. Kalau Rian di posisi Ibu, mungkin juga bakal mikir yang sama.”
Bu Siti berhenti di tengah ruang tamu, jemarinya menyentuh sandaran sofa empuk seolah memastikan semua ini nyata.
“Ini bukan rumah kecil, Nak… ini rumah mahal,” katanya lirih. “Ibu cuma takut kamu kenapa-kenapa..”
Rian melangkah mendekat, lalu berjongkok tepat di hadapan Bu Siti dengan posisi kaki di tekuk.
Posisi yang sama seperti dulu, saat ia masih kecil dan sering duduk di lantai cuma buat dengar ibunya bercerita.
“Justru karena itu Rian beli, Bu,” ucapnya pelan, tapi suaranya mantap.
“Biar Ibu sama adik-adik hidup nyaman. Ibu nggak perlu lagi denger tetangga gosipin kita, nggak perlu mikirin atap bocor tiap hujan, atau listrik sering padam.”
Ia menarik napas panjang, dadanya naik turun menahan emosi yang hampir tumpah.
“Uangnya bersih, Bu... Rian janji. Kalau suatu hari Ibu pengin tahu detail nya, Rian bakal jelasin semua nya. Tapi sekarang… Ibu.. percaya dulu sama anak sendiri.”
Bu Siti menatap wajah Rian lama.
Wajah anak yang dulu, di malam-malam sepi, pernah benar-benar mengucapkan kalimat itu bukan janji kosong, tapi doa polos dari anak yang belum punya apa-apa.
“Nanti Rian bikin Ibu senang,” katanya dulu, sambil tersenyum kecil.
“Beli motor baru, rumah baru… pokoknya semuanya deh!”
Waktu itu Bu Siti hanya tertawa, mengira itu cuma ocehan anak kecil sebelum tidur.
Kalimat itu kini terngiang lagi, jelas, seolah baru kemarin diucapkan.
Mata Bu Siti berkaca-kaca. Ia menunduk sedikit, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, memeluk Rian erat.
Pelukan seorang ibu yang selama ini menahan lelah dan cemas.
“Ya sudah… Ibu percaya. Ibu percaya sama kamu, Nak…” ucapnya lirih, suaranya bergetar.
Rian membalas pelukan itu, jemarinya mencengkeram lembut punggung ibunya.
Air mata jatuh berhamburan di lantai marmer itu..
Di rumah baru itu, di hari yang bahagia itu, mereka berdua menangis bersama.
---
Setelah semua beres dan suasana mulai tenang, Rian pamit keluar. Katanya cuma mau cari angin, padahal pikirannya sudah penuh sejak tadi.
Ia menghentikan mobil di pinggir jalan, mematikan mesin, lalu bersandar di kursi.
“Huh… gimana ini…” gumamnya pelan.
“Gimana caranya gue bisa masuk dan bantu kasus Nadia kemarin…”
Kepalanya menengadah ke kaca depan mobil, dengan tatapan kosong, mencari jawaban yang belum ada.
Tut…
Tut…
Getaran dan Bunyi ponsel di saku celana bikin Rian tersentak. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengernyit saat melihat nama di layar.
Istri Zani
“Huh? Kenapa nih…?” gumamnya, lalu segera mengangkat telepon.
“Halo, Mbak. Ada apa?”
“Perlu laporan saya soal kasus perampokan kemarin?”
“Halo juga Rian, Mbak nelpon bukan perihal laporan,” suara di seberang terdengar santai..
"Terus.. Ada apa mbak?"
“Itu, Rian… kamu sekarang udah ada kerjaan tetap belum?”
Rian terdiam sesaat, lalu menjawab jujur.
“Belum, Mbak. Emang nya ada apa?”
“Nah, bagus kalau gitu,” jawabnya cepat.
“Kantor pusat kami lagi mau merekrut beberapa pemuda yang di nilai berkontribusi di beberapa kasus sebelumnya. Tapi ya… Tetap masih ada proses seleksi sih.”
Jantung Rian berdegup kencang.
Matanya melebar, napasnya tertahan setengah detik.
"NAH. INI DIA CARANYA."
----------
"Terima Kasih yang sudah membaca Novel Kami, Silahkan Beri Kritik dan Saran di Kolom Komentar, Terima Kasih.."