NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Bab 17

Aryo awalnya mengira mereka hanyalah berandalan sekolah yang hendak tawuran. Namun ketika sekelompok lebih dari dua puluh orang itu menunjuk ke mobil Aryo, ia langsung menyadari, mereka memang mengincarnya.

“Keluar kau!” teriak salah seorang dari mereka.

Aryo cepat-cepat menyelipkan besi rem setir ke balik jasnya. Melawan dua puluhan orang dengan tangan kosong, apalagi dalam kondisi tubuh habis babak belur seperti ini, jelas tidak memungkinkan. Aryo menurunkan kaca mobil dan keluar dengan tangan terangkat, tetap waspada.

“Siapa kalian?” seru Aryo, menahan napas.

“Kau tidak perlu tahu! Karena kau akan kami habisi!” jawab mereka serentak.

Dua puluhan orang itu maju bersamaan, mengepung Aryo. Dengan reflek luar biasa, Aryo mengeluarkan besi rem tangannya. Perut dan punggungnya masih terasa sakit, namun matanya tetap tajam, menilai setiap gerakan lawan.

Pukulan Aryo mengenai titik-titik lemah tubuh musuh satu per satu. Ia melayangkan besi rem ke pelipis, rahang, dan lutut lawan, membuat mereka terhuyung-huyung. Pisau dilemparkan ke arahnya, tapi Aryo menghindar dengan cekatan, bahkan pisau itu menancap ke tubuh kawannya sendiri. Aryo tersenyum menahan rasa sakit.

“Suruhan siapa kalian? Keluarga Zola?” Aryo bertanya sambil menangkis serangan.

“Persetan dengan Keluarga Zola!” mereka yang masih bertahan menyerang lagi.

Aryo melakukan tendangan memutar, mengenai beberapa orang sekaligus. Ia menahan rasa sakit di badannya, tetap fokus pada setiap gerakan lawan. Satu per satu, dua puluhan orang itu tumbang di hadapannya. Aryo meninju salah satunya, merebut pisau dari tangannya, dan mengancam mata orang itu.

“Ampun… ampun… kami cuma orang suruhan,” teriak orang itu, hampir terkencing-kencing.

“Siapa yang menyuruh kalian?” desak Aryo.

“Anggota Nagajaya.”

“Apaan tuh Nagajaya?”

“Geng elit Kota J.”

“Mafia maksudmu?” Aryo menabrakkan kepala orang itu ke tanah.

“Ya!” darah memancar dari mulutnya.

“Siapa bosnya?” Aryo bertanya lagi, menekan.

“Kami tidak tahu pasti, tapi kami tahu siapa yang menyuruh kami.”

“Katakan siapa!” Aryo menggoreskan pisau ke kelopak matanya.

“Namanya Roxil!” jawabnya dengan gemetar.

“Di mana aku bisa menemukan Roxil?” Aryo menanyakan dengan tegas.

“Dia sering berada di Heaven Club.” Orang itu benar-benar pasrah.

Aryo menancapkan pisau ke paha orang itu, membuatnya menjerit kesakitan. Lalu Aryo menyumpal mulutnya dengan kaos kaki sendiri. Dua puluhan orang itu terkapar, kesakitan dan kebingungan.

Aryo memutuskan untuk tidak kembali ke rumah kontrakannya. Ia langsung menuju apartemen untuk merawat lukanya sendiri.

Keesokan harinya

“Astaga, Aryo! Wajahmu kenapa bonyok begitu?” Thania prihatin. “Jadi nggak ganteng lagi deh.”

Memar dan bengkak di wajah Aryo masih jelas terlihat, meski semalam ia sudah mengoleskan salep khusus racikan militer lamanya.

“Ah, ini bukan apa-apa,” Aryo menepis sambil tersenyum.

Meliana melihat wajah Aryo dan tampak prihatin. “Dasar berandalan, ikutan tawuran ya?”

“Enggak apa-apa. Ini bukan masalah besar,” Aryo meyakinkan mereka.

“Lalu kemarin ada apa? Kok polisi menanyakan hal-hal kepadaku?” Thania penasaran.

“Oh, bukan hal besar. Mereka cuma ingin sedikit keterangan,” Aryo menjawab singkat.

Thania mengerutkan dahi. “Ah, jangan bohong. Apa hubungannya sama wajahmu yang bonyok?”

“Tidak ada,” Aryo menolak.

“Kalau kematian Jerry Zola, gimana?” tanya Meliana tiba-tiba. Membuat Thania terkejut.

“Tidak ada juga. Sudah, ayo kita berangkat,” Aryo menutup pembicaraan.

Ia mengantar mereka berdua. Pertama, Thania ia turunkan di kediamannya. Kemudian Aryo berencana singgah ke keluarga Zola untuk berbelasungkawa.

Di mobil, Meliana memperhatikan wajah Aryo yang masih bonyok. Pikirannya berkecamuk, mengingat sebelumnya Aryo sering terlibat perkelahian saat menjadi pengawal Meliana. Kesannya Aryo seperti mantan berandalan yang bermasalah, tapi juga sangat mampu.

“Aku tanya ke Lilia, katanya kamu dipanggil polisi karena diduga membunuh Jerry Zola,” kata Meliana, mencoba memecah kesunyian.

Aryo terkejut mendengar itu. “Tentu saja tidak,” jawabnya tegas.

“Aku sempat berharap itu benar. Aku masih tidak ingin pertunangan ini diumumkan. Katanya papa akan mengumumkan dalam tiga bulan,” ujar Meliana.

“Maaf mengecewakanmu,” Aryo menatap lurus ke jalan.

“Kenapa kau tidak memberiku kebebasan seperti Thania?” suara Meliana terdengar hampir menangis.

Aryo hanya terdiam, bingung menjawab.

Di kantor Chris, Luka—maaf Aryo—sedang diperiksa wajahnya yang bonyok. Ia bercerita seperlunya.

“Kemarin aku dicegat segerombolan pemuda. Bukan tawuran, tapi mereka menyerangku. Aneh,” Aryo bohong.

“Wah, kenapa tidak kau hajar saja, seperti rekaman bank itu?” Chris bertanya.

“Yah, aku tidak sehebat itu. Lagipula mereka banyak, dan aku tidak siap. Jadinya aku sempat jadi bulan-bulanan mereka.”

“Tapi akhirnya kau menghajar mereka?”

“Ya, aku bisa mengalahkan mereka.”

Chris menunjuk pistol di pinggangnya. “Lain kali hati-hati. Bawa senjata. Kasih lihat ke berandalan jalanan, mereka pasti langsung kabur.”

Aryo gemetar. Pistol memicu kenangan pahit masa lalu.

“Kenapa tidak bawa pistol?”

“Aku tidak pandai menggunakannya,” Aryo berbohong.

Beberapa saat kemudian, Aryo dipanggil ke lantai 30 untuk menemui Meliana.

“Katakan yang sebenarnya padaku,” pinta Meliana.

“Tentang apa? Perasaanku padamu?” Aryo menggoda, mencoba meringankan suasana.

“Kamu bisa serius?” balas Meliana tajam.

“Oke oke. Sebenarnya tentang apa?”

“Tentang kemarin, apa yang ditanya polisi kepadamu?”

Aryo menebak ini bukti kepedulian Meliana padanya. Ia memutuskan jujur seperlunya. “Mereka hanya ingin mengonfirmasi kejadian di Money Changer waktu itu. Aku juga mau diberi piala tanda jasa.”

Meliana tidak percaya. “Tidak ada hal lain?”

“Apa misalnya?”

“Tentang pembunuhan Jerry Zola. Aku sempat mencurigaimu.”

Aryo mendesah. “Ya, mereka sempat menanyakan itu. Tapi aku tidak ada kaitannya.”

“Kalau begitu kenapa wajahmu bonyok begitu?” tanya Meliana, matanya menatap tajam, tapi ada rasa khawatir yang terselip di balik suaranya.

“Kau khawatir?” Aryo tersenyum tipis, menyipitkan matanya sedikit. Senyum itu terasa ringan, tapi mampu membuat ketegangan di antara mereka sedikit mencair.

Meliana, yang sedikit kesal namun tetap penasaran, mengambil pembolong kertas dari tasnya dan melemparkannya ke arah kepala Aryo. Dengan refleks luar biasa, Aryo menangkapnya di udara tanpa sedikit pun kehilangan keseimbangan.

“Wah, kau semakin lihai saja,” ucap Meliana setengah tersenyum, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.

Tiba-tiba, ponsel Aryo bergetar di saku jasnya. Sebuah pesan masuk dari Gladys:

“Kebetulan hari ini aku dipanggil ke kantor polisi lagi. Mereka ingin menyerahkan piala penghargaan secara resmi. Mau ikut? Jadi kau bisa menanyakan langsung soal wajah bonyok ini,” bunyi pesannya.

Aryo menatap layar ponsel sejenak, lalu mengangkat kepala, menatap Meliana. “Bagaimana, mau ikut?” tanyanya sambil tersenyum tipis.

Meliana menghela napas panjang, mempertimbangkan beberapa saat. Akhirnya ia mengangguk. “Oke, ikut saja. Tapi jangan sampai kau bikin aku pusing lagi,” balasnya, nada suaranya lembut tapi masih menyimpan sedikit cemas.

Sesampainya di kantor polisi, suasana tampak lebih formal. Wartawan telah bersiap di depan gedung, kamera dan mikrofon siap merekam setiap momen. Pak Walikota Sabra dan Kepala Divisi Cakra berdiri rapi di tengah aula, menunggu Aryo.

Aryo berjalan mantap, diikuti Meliana yang terlihat agak tegang tapi tetap anggun. Ketika mereka sampai, Pak Walikota Sabra tersenyum dan menyerahkan piala penghargaan kepada Aryo. Kamera wartawan menangkap momen itu, kilatan lampu terus menyala, membuat Aryo tampak menonjol di antara kerumunan.

“Selamat, Aryo,” kata Gladys, suaranya jelas terdengar di antara suara wartawan. Wajahnya menampakkan rasa bangga dan kagum, seolah menegaskan bahwa Aryo memang pantas mendapatkan penghargaan itu.

Meliana, berdiri di samping Aryo, memperhatikan dengan campur aduk. Ada sedikit kesal karena Aryo menjadi pusat perhatian, tapi di sisi lain ia tidak bisa menutupi rasa kagumnya. Aryo menoleh ke arah Meliana, tersenyum, dan menunjuk wajahnya yang bonyok. “Melanie, kamu bisa menanyakan ini langsung kepadanya,” ujarnya ringan.

Gladys menatap Meliana, lalu mengajaknya masuk ke ruangannya yang lebih privat. Di sana, Gladys menjelaskan kronologi kejadian, bagaimana piala itu seharusnya menjadi simbol penghargaan resmi atas keberanian Aryo meringkus perampok di Money Changer, serta konfirmasi mengenai wajah bonyok Aryo. Meliana mendengarkan dengan seksama, matanya sesekali menatap Aryo, lalu kembali menatap Gladys.

Aryo duduk di kursi dekat jendela, menyaksikan kedua wanita itu berbicara. Ekspresi Melanie campur aduk—penasaran, sedikit cemas, tapi juga mulai merasa lega. Senyum tipis kembali muncul di wajah Aryo saat melihat itu.

Di perjalanan kembali ke kantor, suasana mobil cukup tenang. Namun tiba-tiba, Melanie membuka pembicaraan. “Maaf aku sering menuduhmu yang tidak-tidak,” katanya pelan, hampir terdengar getar emosinya.

Aryo menoleh ke arah Meliana, sedikit terkejut. Namun ia tetap tersenyum hangat. “Tidak masalah, Bu CEO,” jawabnya santai, nada suaranya menenangkan.

Meliana tersenyum, kali ini lebih lepas, seolah beban di hatinya sedikit terangkat. “Terima kasih… sudah sabar menghadapi aku,” katanya.

Aryo hanya mengangguk, menatap jalan di depan dengan tenang. Momen itu membuat keduanya merasa lebih dekat, tanpa kata-kata yang berlebihan, namun dengan rasa saling memahami yang perlahan tumbuh.

Suasana mobil menjadi lebih ringan, percakapan beralih ke hal-hal ringan, senyum mereka berdua mulai lebih leluasa. Meski wajah Aryo masih bonyok, aura keberanian dan ketenangannya tetap memikat Melanie.

Bersambung.

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!