Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Pintu lift yang terbuka terasa seperti tirai panggung yang diturunkan, mengakhiri sebuah pertunjukan yang sukses besar. Momen intim yang tegang itu pecah, dan mereka berdua melangkah keluar ke lobi utama Ferguson Tower yang luas, kembali ke dalam peran mereka. Alex kembali menjadi Tuan Ferguson yang berkuasa, dan Isabella kembali menjadi Nona Severe, sang konsultan misterius.
Perjalanan pulang ke Rumah Awan Pelangi diselimuti oleh keheningan yang berbeda dari sebelumnya. Ini bukanlah keheningan yang canggung atau penuh kecurigaan, melainkan keheningan yang nyaman, dipenuhi oleh sisa-sisa adrenalin dan kepuasan dari kemenangan bersama. Mereka berdua sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing, memproses hari yang luar biasa itu. Isabella terus memutar ulang kata-kata terakhir Alex di lift: "Anda mengingatkan saya pada seseorang." Itu bukanlah sebuah tuduhan lagi, melainkan sebuah pengakuan yang pedih.
Saat mereka tiba, Nyonya Diana menyambut mereka di pintu dengan ekspresi cemas yang berusaha ia sembunyikan. "Tuan Ferguson, Nona Severe. Bagaimana hasilnya?"
Alex melonggarkan dasinya, sebuah gerakan yang menunjukkan kelegaan yang luar biasa. "Proposal Yayasan Tunas Pelangi disetujui penuh oleh dewan," katanya, sebuah senyum tipis yang tulus akhirnya tersungging di bibirnya. "Pendanaan untuk tahun pertama dijamin."
Wajah Nyonya Diana berseri-seri. "Syukurlah! Selamat, Tuan, Nona." Kabar baik itu dengan cepat menyebar di antara para staf, menciptakan gelombang kelegaan dan kekaguman yang sunyi di seluruh rumah.
Setelah memeriksa anak-anak yang sudah tertidur lelap, Isabella kembali ke kamarnya, tubuhnya terasa lelah namun jiwanya melambung tinggi. Ia melepaskan gaun biru safirnya, "zirah"-nya, dan menggantinya dengan pakaian rumah yang nyaman. Ia mengira hari yang panjang dan menegangkan itu telah berakhir.
Namun, sekitar satu jam kemudian, sebuah ketukan pelan terdengar di pintunya. Saat ia membukanya, ia terkejut melihat Alex berdiri di sana. Pria itu telah berganti pakaian dari setelan CEO-nya menjadi kemeja linen kasual dan celana panjang, membuatnya tampak lebih muda dan lebih mudah didekati. Di tangannya, ia memegang sebotol anggur putih dingin dan dua gelas kristal.
"Saya rasa," kata Alex, suaranya lebih lembut dari yang pernah Isabella dengar, "sebuah kemenangan sebesar ini pantas untuk dirayakan. Bahkan jika hanya kita berdua."
Isabella tertegun. Ini adalah sebuah isyarat yang sepenuhnya bersifat pribadi. Sebuah undangan yang melintasi batas antara majikan dan karyawan. "Tuan, saya..."
"Alex," potong pria itu dengan lembut. "Malam ini, di luar jam kerja, saya pikir Anda bisa memanggil saya Alex."
Jantung Isabella berdebar kencang. "Baiklah... Alex," katanya, mencoba nama itu di lidahnya setelah lima tahun yang menyakitkan.
"Mari," kata Alex. "Ada tempat yang lebih baik untuk ini."
Ia tidak membawanya ke ruang makan yang formal atau perpustakaan yang menjadi ruang kerja mereka. Sebaliknya, ia menuntunnya menaiki tangga menuju taman di atap. Taman itu kini telah berubah. Para tukang kebun telah bekerja dengan luar biasa. Petak-petak bunga mulai menunjukkan kuncup-kuncup baru, dan aroma tanah basah dan melati memenuhi udara malam yang sejuk. Di bawah cahaya lampu taman yang lembut, tempat itu tampak magis, sebuah surga rahasia di atas lautan lampu kota.
Alex membawanya ke sebuah bangku tersembunyi di sudut taman, tempat favorit Isabella dulu untuk menyendiri. Ia membuka botol anggur itu dan menuangkannya ke dalam dua gelas.
"Untuk Yayasan Tunas Pelangi," kata Alex sambil mengangkat gelasnya.
"Untuk Yayasan Tunas Pelangi," balas Isabella, mengangkat gelasnya. Mereka bersulang, suara denting kristal yang lembut terdengar begitu jelas di keheningan malam.
Mereka minum dalam diam untuk beberapa saat, menikmati kemenangan mereka. Anggur itu terasa sejuk dan menyegarkan, membantu meredakan sisa-sisa ketegangan hari itu.
"Anda luar biasa hari ini," kata Alex tiba-tiba, memecah keheningan. "Saat Tuan Hardiman menantang Anda, sejujurnya, saya sempat khawatir. Tapi Anda... Anda tidak hanya menjawabnya. Anda menaklukkannya."
Isabella tersenyum. "Saya hanya mengatakan apa yang saya yakini benar."
"Itulah yang membuatnya begitu kuat," kata Alex. Ia menatap Isabella, tatapannya kini tidak lagi tajam dan menyelidik, melainkan dipenuhi oleh rasa ingin tahu yang tulus. "Anda tidak pernah berbicara banyak tentang masa lalu Anda, Nona Severe... Celine. Orang tua Anda... apakah mereka akan bangga melihat Anda hari ini?"
Pertanyaan itu begitu personal, begitu lembut, hingga membuat pertahanan Isabella goyah. Ia memikirkan jawaban yang aman, tetapi menatap wajah Alex yang tulus, ia memutuskan untuk memberikan sepotong kebenaran dari jiwa Celine.
"Mereka sudah lama tiada," jawabnya pelan, matanya menatap ke kejauhan. "Saya yatim piatu sejak remaja. Tapi saya harap mereka akan bangga. Terutama ibu saya. Beliau adalah seorang seniman. Beliau yang mengajari saya untuk melihat keindahan dan harapan di tempat-tempat yang paling tidak terduga sekalipun."
Rasa sakit yang tulus dalam suaranya menyentuh sesuatu di dalam diri Alex. Ia merasakan dorongan untuk membalas kejujuran itu dengan kejujurannya sendiri.
Isabella, yang merasa sedikit lebih berani karena anggur dan suasana malam itu, menatapnya. "Tuan... Alex," ralatnya. "Nyonya Isabella... beliau pasti juga akan sangat bangga dengan apa yang kita capai hari ini."
Ini adalah pertama kalinya nama itu diucapkan di antara mereka dalam konteks yang begitu intim dan penuh hormat. Alex tidak menghindar. Sebaliknya, sebuah senyum sedih yang tulus terukir di wajahnya. Ia menatap ke arah lampu-lampu kota yang berkelip seperti berlian yang tersebar.
"Ya," bisiknya. "Ini adalah mimpinya. Mimpinya untuk memberikan warna pada dunia. Kadang-kadang, saya merasa... saya telah mengecewakannya karena membiarkan mimpi ini terkubur begitu lama."
Pengakuan kerentanan itu adalah hal paling intim yang pernah Alex bagikan padanya. Itu adalah sebuah undangan untuk masuk ke dalam ruang dukanya, sebuah isyarat kepercayaan yang luar biasa.
"Anda tidak mengecewakannya," kata Isabella dengan lembut, suaranya penuh keyakinan. "Anda hanya menunggu waktu yang tepat. Dan sekarang, mimpinya akan menjadi kenyataan."
Saat keheningan kembali menyelimuti mereka, suasana telah berubah. Mereka bukan lagi majikan dan karyawan yang merayakan kemenangan bisnis. Mereka adalah dua orang yang berbagi luka dan harapan di bawah langit malam.
Alex menoleh, menatap wajah Isabella yang disinari oleh cahaya lembut lampu taman. Ia melihat ada sehelai bulu mata yang jatuh di pipinya. Tanpa berpikir, didorong oleh naluri yang lebih tua dari kecurigaan dan logikanya, ia mengulurkan tangannya.
Dengan sangat lembut, ujung jarinya menyentuh kulit pipi Isabella untuk menyapu bulu mata itu.
Sentuhan itu.
Rasanya seperti sambaran petir dan kehangatan rumah pada saat yang bersamaan.
Keduanya membeku. Napas mereka tertahan. Jarak di antara mereka yang tadinya aman kini telah lenyap. Tangan Alex masih menempel ringan di pipinya, ibu jarinya diam tak bergerak. Mata mereka terkunci. Dunia di sekitar mereka—lampu kota, suara angin, aroma bunga—semuanya memudar. Yang tersisa hanyalah ruang kecil yang bergetar di antara wajah mereka.
Isabella bisa melihat setiap detail di mata Alex. Ia melihat kebingungan, kerinduan, dan sebuah pertanyaan yang begitu dalam. Alex, pada gilirannya, melihat sesuatu di mata Celine yang membuatnya lupa cara bernapas. Di balik tatapan wanita itu, ia melihat jiwa yang ia kenali, jiwa yang telah ia rindukan setiap hari selama lima tahun.
Waktu berhenti. Jarak di antara bibir mereka terasa semakin menipis. Momen itu terasa begitu rapuh, begitu penuh dengan kemungkinan, siap untuk pecah kapan saja.