Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 Drama Baru Dimulai
Koridor masih ramai, beberapa santri saling dorong menuju kantin. Maya, tentu saja, berjalan dengan gaya melenggang seperti model catwalk.
“Woi, jangan dorong-dorong! Kalo nyenggol gue, bisa-bisa aura kecantikan gue pudar, lo tanggung sendiri akibatnya!” teriaknya.
Zahra langsung menarik kerah bajunya. “Maya, plis deh, ini tuh kantin, bukan red carpet.”
Maya mengibaskan tangan. “Sama aja. Bedanya, di red carpet gue disorot kamera, di sini gue disorot tatapan iri.”
Rara menepuk jidat. “Yang ada tuh tatapan heran, May.”
Mereka akhirnya duduk di bangku panjang, membawa semangkuk mie rebus dan segelas teh hangat. Maya menatap mangkok mie itu dengan ekspresi bimbang, seperti sedang menilai karya seni.
“Mie ini… terlalu sederhana untuk lidah kelas internasional kayak gue. Mana topping keju mozarella-nya? Mana salmon panggangnya?” gumamnya.
Dewi langsung menyodorkan sendok. “Makan aja, daripada lo pingsan di kelas.”
Dengan gaya dramatis, Maya mengambil sendok, lalu menyeruput mie panas itu. Sejurus kemudian, wajahnya langsung berubah.
“Ya Tuhan…” ia menatap kosong ke arah meja. “Rasanya… luar biasa. Hangat. Pedas. Menggigit. Ini… ini… cinta pertama gue.”
Zahra hampir tersedak teh. “Astaga, May, itu cuma mie rebus!”
Belum sempat mereka tertawa lebih jauh, tiba-tiba suara langkah berat terdengar. Beberapa santri menoleh. Ustadz Azzam muncul di pintu kantin, sedang berbicara dengan pengurus asrama.
Maya langsung heboh. Ia merapikan kerudungnya, lalu berbisik panik, “Oh no! Ini kesempatan langka. Gue harus nunjukin sisi terbaik gue.”
Sinta langsung menatapnya curiga. “Maksud lo apa, May?”
“Lo liat aja,” bisik Maya sambil menegakkan badan, pura-pura serius. Ia mengambil buku catatan, lalu duduk dengan postur lurus seperti prajurit. “Gue mau bikin kesan kalo gue itu santri paling rajin, paling tekun, paling berbudi luhur.”
Tapi baru lima detik gaya itu bertahan, Maya malah keselek mie.
“Khuokh! Khuokhh! Airrr! Airrr!” ia batuk-batuk sambil meraih gelas. Tehnya malah tumpah ke rok sendiri.
Satu kantin langsung menoleh, sebagian tertawa ringan.
Ustadz Azzam juga sempat melirik, alisnya terangkat tipis. Namun ia hanya menggeleng pelan, lalu melanjutkan langkah keluar.
Maya menatapnya dengan wajah setengah putus asa. “Oh tidak… harga diri gue hancur. Gue gagal bikin impresi sempurna.”
Rara, Zahra danDewi sudah meledak tertawa. Sinta hanya bisa menutupi wajahnya.
Setelah drama itu mereka kembali melanjutkan makan siang nya, hingga bel masuk berbunyi nyaring. Suasana kantin yang tadi penuh riuh langsung berganti jadi hiruk pikuk langkah santri menuju kelas. Maya berjalan paling depan, sambil sesekali menoleh ke kaca jendela untuk memastikan kerudungnya tetap rapi.
“May, buruan. Nanti telat lagi,” bisik Sinta sambil menarik tasnya.
“Tenang aja, Sin. Gue ini ibarat bintang, selalu masuk terakhir biar semua perhatian tertuju ke gue,” jawab Maya percaya diri.
“Yang ada nanti perhatian ustadz, bukan santri,” sahut Rara cepat.
Begitu masuk kelas, suasana langsung sunyi. Ustadzah sudah duduk di depan, menatap tajam ke arah mereka. Maya otomatis memasang wajah pura-pura alim: tangan terlipat di meja, pandangan lurus ke papan tulis, bibirnya komat-kamit seolah-olah sedang mengulang hafalan.
Namun baru lima menit, Maya mulai gelisah. Ia menggambar doodle love besar di pojok buku, lalu bergumam pelan, “Andai aja Mika disini, gue pasti udah punya gosip baru.”
Zahra yang duduk di sebelahnya hampir melempar penghapus. “May, fokus! Itu ustadzah lagi jelasin fiqih, ntar dia bisa marah".
Pelajaran berjalan, tapi Maya tetap jadi pusat perhatian kecil di bangku belakang. Entah itu karena ekspresi lebay-nya, atau karena ia selalu berkomentar aneh setiap kali ustadzah bertanya.
........
Selesai kelas, Maya menuju dapur asrama untuk menjalani hukuman cuci piring selama seminggu. Begitu masuk, suara nyaring langsung terdengar.
“Heh, jangan lelet, May!” Rita datang sembari menyilangkan tangan di dada. “Piring udah numpuk segini, kalo lo nungguin sampe bersih sendiri, bisa berkarat tuh panci.”
Putri menambahkan dengan senyum sinis. “Bener. Jangan gaya mulu. Liat tuh sabun, jangan cuma dipandangi kayak liat perhiasan mahal.”
Maya menoleh, wajahnya datar tapi dengan nada dramatis ia menjawab, “Tugas mulia ini… ibarat panggung besar. Dan gue… adalah bintang yang bersinar bahkan saat megang spons.”
Rita melotot. “Apaan sih, bintang lo! Cepet nyuci, sebelum gue kasih tambahan hukuman!”
Dengan hati kesal, Maya pun mulai menggosok piring satu per satu. Tapi tentu saja, setiap kali ada busa yang menempel di tangannya, ia berteriak heboh seolah sedang berhadapan dengan monster laut.
......................
Dua minggu kemudian.
Hukuman cuci piring resmi berakhir. Maya melangkah keluar dari dapur dengan gaya ala pahlawan yang baru memenangkan perang. Tangannya diangkat tinggi, wajahnya bersinar penuh kemenangan.
“Saudara-saudara sekalian, hari ini sejarah tercipta! Maya akhirnya bebas dari rantai perbudakan cuci piring! Gue janji gue bakal buat gebrakan baruu.” teriaknya di depan teman-temannya.
Zahra, Rara, dan Sinta langsung tepuk tangan pura-pura.
“Selamat, May. Semoga kamu jadi pribadi yang lebih baik,” kata Zahra dengan nada setengah serius.
Maya menepuk dada penuh percaya diri. “Tenang, mulai sekarang gue akan jadi santri teladan, rajin, dan penuh kebajikan.”
Namun, niat itu hanya bertahan lima detik. Setelahnya, ia sudah berbisik nakal ke gengnya. “Tapi… hidup tanpa drama itu membosankan. Gue harus bikin gebrakan baru. Yang lebih heboh, lebih legendaris, dan… pastinya bakal lebih mengesankan yuhuu.”
Teman-temannya menatap tak habis pikir, dengan sikap teman barunya itu.
..........
Beberapa saat kemudian, bel tanda masuk kelas baru saja berbunyi. Kali ini pelajaran Bahasa Arab. Maya sudah duduk di bangkunya, tapi alih-alih membuka kitab, ia malah sibuk menatap jendela sambil berbisik penuh ambisi.
“Gengs, dengerin gue… Gue udah punya rencana besar. Nama operasi ini: Project Pesona Maya 2.0.”
Sinta langsung mencubit lengannya. “Ya ampun, May. Baru bebas dari hukuman cuci piring, udah mikirin proyek baru lagi?!”
Rara mendesah sambil menutup wajah. “Tolong jangan libatin kita.”
Maya mengangkat alisnya dramatis. “Terlambat, kalian udah otomatis masuk tim gue. Karena sebuah bintang nggak bisa bersinar sendirian, dia butuh… penonton setia.”
Zahra melotot. “Kita bukan penonton, May. Kita korban.”
Maya pura-pura tidak mendengar. Ia malah merogoh tasnya, mengeluarkan kertas lipatan penuh coretan warna-warni. Di atasnya tertulis besar-besar:
“Strategi Menjadi Santri Paling Dikagumi Seantero Asrama”
Rara membaca cepat isi kertas itu. “Poin pertama: Bikin gosip positif tentang diri sendiri. Poin kedua: Tampil menolong biar keliatan dermawan. Poin ketiga: Latihan senyum manis 100 kali di depan kaca. …Astaga, May!”
Maya mengangguk mantap. “Yes! Dengan plan ini, gue bakal jadi legenda. Ustadzah kagum, ustadz salut, santri hormat, bahkan penjaga kantin pun bakal kasih gue diskon mie rebus!”
Mereka belum sempat protes lebih lanjut, tiba-tiba ustadzah mengetuk meja. “Baik, siapa yang bisa menerjemahkan kalimat ini ke bahasa Arab?”
Kelas hening. Semua pura-pura sibuk menunduk. Maya langsung berdiri, dengan senyum super percaya diri.
“Saya, Ustadzah.”
Ustadzah tampak sedikit terkejut. “Silakan, Maya.”
Maya melangkah maju penuh gaya, seperti pemenang ajang kecantikan. Ia menatap papan tulis, lalu mulai bicara dengan intonasi dramatis.
“Kalimat itu… dalam bahasa Arab berarti… Ana… eh… Ana uhibbu… mie rebus pedas level lima dengan topping telur ceplok.”
Seketika satu kelas meledak tertawa.
Ustadzah mengetuk meja lebih keras. “Maya!”
Maya buru-buru menangkupkan tangan, wajah memelas. “Ampun, Ustadzah… saya… saya hanya terbawa suasana.”
Ustadzah menghela napas panjang. “Baiklah, setelah kelas selesai, kamu bantu saya rapikan buku-buku di kantor. Itu hukuman sekaligus latihan kesabaran.”
Zahra berbisik ke Maya sambil menahan tawa. “Tuh kan, May. Project Pesona lo baru mulai aja udah gagal.”
Maya mengangkat dagu tinggi. “Tidak! Ini bukan kegagalan. Ini cuma plot twist. Justru dengan hukuman ini, gue bisa nunjukin kalo gue rajin dan bertanggung jawab. Perfect banget buat image gue.”
Sinta menepuk jidat. “Ya ampun, May… kalau hidup lo difilmkan, judulnya pasti Drama Tiada Akhir.”
Maya tersenyum puas, lalu menatap langit-langit kelas sambil berbisik pelan, “Tunggu saja… bintang ini baru saja mulai bersinar.”
.
.
✨️ Bersambung ✨️