Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31. PERMAINAN KOTOR
Udara sore yang lembut menyapu wajah Lucia ketika mobil hitam yang membawanya meluncur ke arah gedung tinggi menjulang di pusat kota. Jendela mobil setengah terbuka, memungkinkan sinar mentari senja menyelinap, memantulkan rona keemasan pada kulit pucatnya yang baru saja pulih dari luka dan letih panjang di rumah sakit.
Seminggu penuh ia habiskan di bawah lampu putih dingin ruangan rawat, dengan bau antiseptik yang menusuk, suara mesin monitor yang terus berdetak, dan langkah-langkah suster yang bergantian masuk keluar. Seminggu penuh ia berjuang, bukan hanya untuk tubuhnya, tetapi juga untuk menenangkan batinnya dari bayang-bayang masa lalu yang kembali muncul dalam wujud Samuel, pria yang pernah ia panggil suami.
Kini, Lucia pulang. Tapi bukan ke rumah sewanya di pinggiran kota, melainkan ke penthouse milik Evan, pria yang dengan segala keteguhan dan kelembutan hatinya berani melindungi Lucia ketika ia sendiri nyaris kehilangan harapan.
Ketika pintu mobil dibukakan oleh Evan, Lucia menatap ke arah bangunan mewah itu dengan mata sedikit lebih hidup. Bukan karena ia terpesona oleh arsitektur modern yang megah, melainkan karena ada rasa hangat yang membuncah: ia merasa diterima, merasa punya tempat kembali.
"Pelan-pelan saja." Evan muncul di sampingnya, tangannya sigap menopang pinggang Lucia agar ia bisa turun tanpa merasa sakit di bagian perut bekas operasi.
Lucia mengangguk pelan, membiarkan tubuhnya dituntun, seolah tenaga yang ia miliki masih rapuh dan bisa runtuh sewaktu-waktu.
Lift pribadi mengantar mereka naik hingga ke lantai teratas. Begitu pintu terbuka, panorama penthouse yang luas dengan dinding kaca tinggi menyambut. Kota berkilau di bawah sana, lampu-lampu mulai menyala, laksana lautan bintang yang terbalik.
Lucia menghela napas panjang, seakan seluruh ruang ini memberinya udara baru.
"Welcome home, Love," ucap Evan senang suaranya tenang namun dalam, seolah ia sedang menyerahkan bukan hanya atap untuk berlindung, melainkan juga hati untuk dihuni.
Begitu masuk, Evan langsung membawa Lucia ke kamar utama. Kamar itu terasa hangat, selimut sudah dirapikan, bantal tersusun, bahkan ada vas bunga segar di meja kecil dekat jendela. Sentuhan-sentuhan kecil itu membuat Lucia terdiam sesaat, ia tahu, semua ini bukan pekerjaan seorang asisten rumah tangga belaka. Ada jejak perhatian Evan yang halus, tersembunyi di dalamnya.
"Mulai sekarang, kau istirahat di sini. Jangan coba-coba melakukan hal berat. Tidak perlu turun ke dapur, tidak perlu membereskan apapun. Kalau kamu butuh sesuatu, panggil aku," kata Evan tegas namun lembut.
Lucia menatapnya, bibirnya tersungging samar. "Kalau aku hanya ingin segelas air pun?$
"Apalagi itu." Evan menarik kursi lalu duduk di samping ranjang, tatapannya menusuk namun penuh kelembutan. "Cukup bilang, aku yang akan mengambilkan."
"Aku tidak selemah itu sampai untuk minum saja harus memanggilmu, Evan," Lucia terkekeh pelan. Tawa itu kecil, nyaris tak terdengar, tapi menandakan bahwa beban di hatinya sedikit terangkat. Ia membaringkan diri, merasakan kasur empuk yang seakan menelan seluruh penat.
Evan menyelimutinya dengan hati-hati, lalu berdiri. "Istirahatlah. Aku ada pekerjaan sebentar di ruang kerja. Kalau ada apa-apa, tekan tombol interkom di meja itu. Jangan ragu."
Lucia mengangguk, menutup mata. Keheningan menyelimuti kamar, hanya terdengar suara napasnya yang teratur.
Evan melangkah ke ruang kerjanya. Ruangan itu luas, dengan rak penuh buku, meja kayu besar, dan layar komputer menyala dengan data-data proyek yang sedang berjalan. Ia baru saja duduk, ketika telepon di mejanya berdering. Nama yang muncul di layar membuat keningnya berkerut: Deren.
"Ya, Deren?" suara Evan tenang, tapi ada nada waspada.
Suara di seberang terdengar tergesa. "Evan, kita ada masalah besar. Investor utama proyek SkyLine menarik semua kerja sama. Mereka memilih bergabung dengan perusahaan milik Samuel Davidson."
Evan terdiam sejenak, seakan kata-kata itu membutuhkan waktu untuk benar-benar masuk ke dalam kesadarannya. Lalu, seperti bara yang disulut bensin, amarah meledak dalam dadanya.
"Apa kau bilang?" suaranya meninggi, tajam. "Mereka menarik semua dana dan memilih Samuel?"
"Ya," jawab Deren lirih. "Aku sudah mencoba bicara, tapi sepertinya Samuel mendekati mereka setelah keributan di rumah sakit tempo hari. Dia pakai momen itu, Evan. Dia tidak terima kalau Lucia ada di tanganmu dan sepertinya dia juga sudah mencari tahu siapa dirimu. Karena itu dia bermain kotor menggunakan bisnis."
Evan mengepalkan tangan. Rasa geram membakar urat-urat di pelipisnya. Ia teringat jelas bagaimana Samuel datang ke rumah sakit, membuat Lucia ketakutan, lalu berlagak seolah ia masih punya hak atas hidup perempuan itu. Dan kini, pria itu merambah ke ranah yang lebih luas, menghancurkan proyek yang sudah ia bangun dengan kerja keras.
"Licik." Hanya satu kata keluar dari bibir Evan, namun penuh muatan amarah.
"Lalu bagaimana sekarang?" tanya Deren hati-hati. "Kalau kita tidak bergerak cepat, proyek itu bisa berhenti di tengah jalan. Banyak pihak menunggu. Tim juga sudah mulai resah."
Evan menarik napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak meledak. "Dengar, Deren. Kau urus kekacauan ini dulu. Redakan kepanikan di tim. Jangan sampai rumor melebar. Aku sendiri yang akan turun mencari investor baru. Aku tidak akan biarkan proyek ini mati hanya karena permainan kotor Samuel."
"Aku mengerti. Aku akan urus secepatnya," jawab Deren.
Telepon ditutup, meninggalkan hening yang dipenuhi aura kemarahan.
Evan bangkit, berjalan ke jendela besar ruang kerjanya. Kota berkelap-kelip di bawah sana, indah namun penuh tipu daya.
Tangannya mengepal begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. "Samuel. Kau pikir kau bisa ambil segalanya dariku? Kau salah besar. Kau tidak akan pernah bisa ambil Lucia. Dan kau tidak akan pernah bisa hancurkan aku," desis Evan kesal
Lucia yang berada di kamar, samar-samar mendengar suara pintu ruang kerja ditutup lebih keras dari biasanya. Ia terbangun, duduk perlahan sambil memegang perutnya. Ada rasa khawatir yang menyelinap: Evan jarang sekali menunjukkan amarah, kecuali jika sesuatu benar-benar serius.
Namun ia memilih berbaring kembali. Ia tahu, saat ini tubuhnya masih lemah, dan Evan pasti tidak ingin ia memikul beban tambahan.
Di luar sana, badai sudah mulai berhembus.
Malam mulai merambat perlahan. Langit yang semula berwarna jingga telah berubah pekat, dihiasi kerlip lampu kota yang bertebaran laksana bintang-bintang artifisial. Dari kamar, Lucia menatap redup cahaya itu melalui dinding kaca. Ia belum benar-benar tidur. Tubuhnya memang terasa lelah, tapi hatinya terusik, seolah ada sesuatu yang bergetar di balik dinding ruang kerja Evan.
Pintu kamar berderit perlahan. Evan masuk dengan langkah pelan, tangannya membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Meski wajahnya berusaha tampak tenang, Lucia bisa membaca gurat lelah dan amarah yang masih tersisa di matanya.
"Aku kira kau masih tidur," katanya lembut, meletakkan nampan di meja samping ranjang.
Lucia tersenyum samar. "Bau sup ini terlalu harum untuk diabaikan."
Evan duduk di tepi ranjang, lalu perlahan meniup permukaan sup sebelum menyodorkannya. "Makanlah sedikit. Kau butuh tenaga."
Lucia menerima dengan hati-hati. Ia menyuapkan sesendok, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih."
Ucapan itu membuat dada Evan sesak, ada kehangatan sekaligus perih. Karena di satu sisi, ia ingin benar-benar menjadi rumah bagi Lucia; di sisi lain, ada badai yang sedang menunggu di luar, siap meruntuhkan apa saja.
Evan menunggu hingga Lucia selesai makan beberapa sendok, lalu mengambil mangkuk itu kembali. "Cukup. Jangan terlalu banyak dulu atau perutmu akan sakit lagi."
Lucia mengangguk, lalu menatapnya. "Apa terjadi sesuatu? Kau terlihat gelisah." tanyanya.
Evan tidak langsung menjawab. Tatapannya teralih ke jendela, ke kota yang penuh tipu daya. Hatinya berkecamuk. Ia ingin melindungi Lucia dari segalanya, tapi ia tahu, bayangan bernama Samuel tidak akan berhenti begitu saja. Dan kini, urusan bisnis pun ikut diganggu.
"Lucy," akhirnya Evan berucap. "Ada hal yang mungkin akan membuatmu khawatir. Tapi aku tidak ingin menyembunyikannya darimu."
Alis Lucia berkerut halus. "Ada apa?"
Evan menatapnya, matanya gelap namun jujur. "Investor proyekku menarik diri. Mereka memilih bergabung dengan Samuel. Ia menggunakan cara kotor untuk menjatuhkan aku."
Lucia terdiam. Napasnya tercekat. "Samuel lagi?" bisiknya, suara gemetar.
"Ya." Evan mengepalkan tangan, meski cepat ia kendurkan kembali. Ia tidak ingin Lucia melihat amarahnya meluap. "Tapi jangan khawatir. Aku akan atasi ini. Aku tidak akan biarkan ia merusak hidupku, terlebih hidupmu."
Rasa sendu tampak di mata Lucia. "Aku ... aku merasa semua ini salahku. Kalau bukan karena aku, mungkin Samuel tidak akan-"
"Jangan pernah berkata begitu." Evan langsung memotong, suaranya tegas. Ia menggenggam tangan Lucia, hangat dan kuat. "Ini bukan salahmu. Samuel yang memilih jalannya sendiri. Kau tidak bersalah."
Lucia menunduk, suaranya hampir tak terdengar. "Tapi dia terus berulah bahkan merusak orang yang ingin melindungiku."
Evan menarik napas panjang, menahan amarah yang hampir pecah lagi. "Biarkan dia mencoba. Aku akan selalu ada di sini. Dia tidak akan bisa menyentuhmu selama aku bernapas."
Tatapan Lucia naik, menembus mata Evan. Ada keyakinan di sana, ada rasa percaya yang mulai tumbuh. Ia mengangguk perlahan, meski hatinya masih dicekam ketakutan.
Ketika Lucia akhirnya terlelap kembali, Evan kembali ke ruang kerja. Malam semakin larut, namun pikirannya tidak bisa berhenti. Ia duduk di kursi, menatap tumpukan dokumen, grafik proyek, dan catatan-catatan investor yang kini kosong.
Telepon berdering lagi. Nama Deren muncul. Dengan berat, Evan mengangkat.
"Evan," suara Deren terdengar lebih stabil kali ini. "Aku sudah bicara dengan tim. Mereka panik, tapi aku menenangkan. Namun kita tidak bisa menunggu lama. Kalau tidak ada investor baru, proyek ini akan berhenti total dalam dua minggu."
Evan memejamkan mata. Dua minggu ... waktu yang terlalu singkat untuk proyek sebesar itu. Tapi ia tidak punya pilihan lain. "Aku akan cari solusi. Siapkan semua laporan keuangan terbaru. Aku akan menjadwalkan pertemuan dengan calon investor besok."
"Baik. Tapi hati-hati, Evan. Samuel tidak akan diam. Dia pasti sudah menyiapkan langkah berikutnya," kata Deren serius.
"Biarkan dia. Aku juga punya caraku."
Telepon ditutup. Evan bangkit, melangkah ke balkon. Angin malam menerpa wajahnya, dingin menusuk. Kota di bawah sana terlihat begitu indah dari kejauhan, tapi ia tahu, di balik cahaya itu ada perebutan, ada tipu daya, ada pertempuran yang tak terlihat oleh mata biasa.
Ia bersumpah dalam hati: ia akan melindungi Lucia, sekaligus mempertahankan apa yang ia bangun. Samuel boleh licik, tapi ia bukan orang yang mudah dijatuhkan.
Di kamar, Lucia menggeliat dalam tidurnya. Mimpi buruk kembali menghantui, bayangan Samuel dengan tatapan dingin, suara ancamannya bergema, tangan kasar yang berusaha merenggutnya. Ia merintih pelan, tubuhnya gelisah di balik selimut.
Evan yang baru kembali mendengarnya. Ia segera mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu menggenggam tangan Lucia erat.
"Tenang, Love ... aku di sini,"bisiknya.
Lucia membuka mata setengah sadar, air mata menetes. "Evan ..." suaranya parau.
"Ya, aku di sini. Kau aman," kata Evan.
Evan mengusap rambut Lucia lembut, menenangkan hingga akhirnya perempuan itu kembali terlelap. Evan menatap wajah Lucia yang rapuh, lalu menarik kursi dan duduk di samping ranjang. Malam itu, ia tidak kembali ke ruang kerja. Ia memilih berjaga, memastikan mimpi buruk itu tidak lagi mengganggu wanita yang dicintainya ini.
Di antara kesunyian, tekadnya semakin mengeras. Badai boleh datang, tapi ia akan berdiri. Untuk proyeknya, untuk dirinya, dan terutama untuk perempuan yang kini tertidur di sisinya.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih