Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34. USAHA
Keesokan paginya, cahaya mentari menembus kaca besar penthouse. Lucia terbangun lebih segar. Rasa takut semalam memang belum sepenuhnya pergi, tapi tatapannya lebih tegar. Ia menoleh, mendapati Evan masih duduk di ruang kerja, kepalanya terbenam di tumpukan dokumen, seakan ia tidak tidur semalaman.
Pelan, Lucia berjalan mendekat. "Evan?" panggilnya lembut.
Pria itu mengangkat kepala, mata lelah namun masih memancarkan keteguhan. "Kau sudah bangun? Seharusnya kau istirahat lebih lama."
Lucia tersenyum samar. "Bagaimana aku bisa tidur tenang kalau kau sendiri tidak pernah beristirahat?"
Evan berdiri, lalu mendekatinya. Ia menyentuh pipi Lucia dengan jemari hangat. "Kau tidak perlu khawatir tentang aku. Tugasku adalah memastikan kau aman."
"Tapi aku juga ingin memastikan kau tidak jatuh karena melindungiku," jawab Lucia lirih. Ada ketulusan di matanya, ketulusan yang menusuk hati Evan lebih dalam daripada segala kata.
Ia menatapnya lama, lalu menghela napas. "Kalau begitu, kita akan hadapi ini bersama. Aku melawan Samuel di dunia bisnis, kau melawan bayangan masa lalumu di dalam hati. Dan kita akan menang, Lucia. Kita harus menang," kata Evan.
Lucia mengangguk, air matanya berkilat namun senyumnya tegar. "Aku percaya padamu."
Hari-hari berikutnya berjalan cepat. Evan sibuk mengatur pertemuan dengan calon investor baru, sementara Deren menutup celah-celah yang bisa dimanfaatkan Samuel. Tekanan besar menimpa mereka, tapi semangat tidak pernah padam.
Di sisi lain, Lucia belajar untuk menenangkan dirinya, menulis di buku kecil tentang hal-hal yang membuatnya bersyukur: udara pagi, tawa singkat bersama Evan, bahkan keberanian kecil ketika ia menolak rasa takut.
Namun bayangan Samuel belum pergi. Pesan singkat sesekali masuk, nomor berbeda-beda, semua berisi ancaman samar. Lucia memilih tidak memberi tahu Evan setiap detail, karena ia tidak ingin menambah beban. Tapi dalam hatinya, ia tahu, cepat atau lambat, bayangan itu akan muncul lagi, bukan hanya lewat kata, tapi mungkin lewat perbuatan.
Suatu malam, Evan berdiri di balkon penthouse. Angin berhembus dingin, tapi pikirannya membara. Ia menatap cakrawala kota.
"Samuel boleh bermain dengan cara kotor. Tapi aku akan melawannya dengan cara yang benar. Dan aku akan menjaga Lucia, meski harus mempertaruhkan segalanya," ucapnya yang ditujukan sebagai janji kepada dirinya sendiri.
Di balik kaca, Lucia berdiri diam, menyaksikan sosok pria itu dari kejauhan. Hatinya bergetar. Ia tahu, perjuangan mereka baru saja dimulai. Tapi melihat Evan tegak menghadapi badai, ia merasa sedikit demi sedikit, ketakutan itu bisa berubah menjadi keberanian.
Angin sore berhembus pelan melewati jendela kaca besar ruang kerja Evan, membawa aroma samar hujan yang baru saja reda. Cahaya matahari keemasan merambat turun di sela-sela gedung pencakar langit, menciptakan bayangan panjang di meja kerjanya yang penuh berkas. Sejak beberapa pekan terakhir, hidupnya tidak pernah benar-benar tenang. Samuel, nama yang selama ini ia ingin lupakan bersama masa lalu Lucia, kini menjelma menjadi bayangan gelap yang selalu menanti di ujung langkahnya.
Namun, hari ini berbeda. Ada secercah cahaya yang kembali menyelinap ke dalam ruang penuh tekanan itu. Setelah kehilangan investor besar karena ulah kotor Samuel, Evan akhirnya menemukan mitra baru yang bersedia menanamkan modal. Seorang pengusaha muda yang ambisius namun berkarakter lurus, yang melihat potensi luar biasa dalam proyek teknologi ramah lingkungan milik perusahaan Luce.
Evan menarik napas panjang, merasakan sedikit beban yang terangkat dari dadanya.
"Kita punya harapan lagi," gumam Evan sambil menatap dokumen perjanjian yang baru saja ia tanda tangani beberapa jam lalu.
Clara, yang berdiri tak jauh dari kursi kerjanya, tersenyum tipis. "Setidaknya badai tidak selalu berlangsung lama. Kita berhasil bertahan sejauh ini, Evan. Investor baru ini bisa menjadi titik balik."
Deren, dengan ekspresi seriusnya yang khas, menambahkan, "Yang penting, kita jaga kepercayaan ini sebaik mungkin. Pasar masih menunggu gebrakan dari Luce. Jika kita bisa meluncurkan proyek ini sesuai rencana, semua cemoohan akan sirna dengan sendirinya."
Evan mengangguk. Ia tahu betul bahwa menjaga kepercayaan jauh lebih sulit dibanding mendapatkannya. Ia menatap dua orang kepercayaannya itu, Clara dengan keteguhan hatinya dan Deren dengan dedikasi yang hampir tak tertandingi. Mereka bukan sekadar asisten dan sekretaris, melainkan tiang penopang yang menjaga Luce tetap berdiri tegak ketika dirinya hampir runtuh.
Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Sore itu juga, notifikasi ponselnya berdering tak henti. Berita terbaru yang dirilis salah satu portal bisnis ternama menampilkan headline mencolok:
'Samuel Davidson Luncurkan Proyek Revolusioner Baru Yang Menggemparkan Los Angeles.'
Evan terpaku. Tangannya mengepal erat, hingga buku jarinya memutih. Ia membaca detail berita itu dengan rahang mengeras. Samuel, mantan suami Lucia yang kini seakan menjadi musuh bebuyutannya, telah meluncurkan proyek serupa dengan konsep inti yang hampir identik dengan milik Luce. Bukan hanya itu, Samuel bahkan berani menyelipkan pernyataan yang terdengar seperti ancaman halus.
"Kami menjadi pionir di bidang ini. Jika ada perusahaan lain yang tiba-tiba meluncurkan proyek serupa, tentu publik akan tahu siapa yang meniru siapa."
Kata-kata itu menusuk seperti pisau berkarat. Bukan hanya menyinggung, tetapi juga menempatkan Perusahaan Luce dalam posisi yang sangat genting. Jika mereka tetap melanjutkan proyek, pasar bisa menganggap mereka sekadar duplikator, pengikut tanpa inovasi. Namun jika mereka berhenti, kerugian yang mereka tanggung akan begitu besar, menghancurkan bukan hanya finansial, tetapi juga reputasi.
Clara membaca berita itu dengan wajah menegang. "Dia benar-benar berani," suaranya bergetar antara marah dan tak percaya. "Samuel tahu betul apa yang sedang kita kembangkan, seolah sengaja menantang kita."
Deren memukul meja dengan keras. "Ini permainan kotor! Dia sudah melangkah terlalu jauh. Tidak ada yang bisa membuktikan siapa yang lebih dulu mencetuskan ide ini, dan sekarang opini pasar yang akan menentukan."
Evan terdiam cukup lama. Pandangannya kosong menatap keluar jendela, pada cahaya senja yang perlahan memudar. Dalam benaknya, ia teringat bagaimana Samuel selalu muncul di saat yang paling rapuh. Ia tahu, ini bukan sekadar persaingan bisnis. Samuel ingin menghancurkannya, merobek apa pun yang ia bangun, mungkin sebagai bentuk balas dendam pribadi, atau sekadar karena obsesi gelap pada Lucia.
Keheningan itu menyesakkan ruangan. Clara, dengan langkah hati-hati, mendekat ke sisi Evan. "Kita tidak boleh goyah. Kalau kita menyerah sekarang, semua yang sudah diperjuangkan akan lenyap. Tapi aku tahu ini akan berat, Evan."
Evan menutup matanya sejenak, lalu membuka dengan sorot tajam. "Aku tidak akan membiarkan Samuel menginjak-injak kerja keras kita. Proyek ini lahir dari dedikasi tim kita, dari ide-ide yang kita kembangkan jauh sebelum dia datang dengan klaimnya. Jika pasar melihat kita sebagai duplikator, maka tugas kita adalah membuktikan bahwa kita lebih dari itu. Bahwa kita yang memimpin."
Clara dan Deren saling bertukar pandang. Mereka tahu, kata-kata Evan penuh dengan keyakinan, tetapi jalan di depan tetap akan dipenuhi duri. Publikasi Samuel sudah terlanjur tersebar luas, memengaruhi persepsi pasar. Investor baru mungkin saja mulai meragukan keputusan mereka.
"Kalau investor kita mundur lagi?" tanya Deren dengan nada khawatir. "Itu akan menjadi bencana besar. Kita tidak akan punya kesempatan kedua."
Evan menghela napas dalam. Ia tahu kekhawatiran itu masuk akal. "Maka tugas kita adalah meyakinkan mereka bahwa Samuel tidak lebih dari bayangan. Kita harus menciptakan perbedaan, memperlihatkan keunikan kita. Sekecil apa pun celahnya, kita harus menggunakannya untuk membuktikan bahwa Luce bukan peniru."
Malam itu, kantor Luce tetap menyala terang. Para staf bekerja lembur, mencoba merumuskan strategi baru. Clara sibuk menghubungi pihak media, berusaha mengatur wawancara eksklusif untuk memberi klarifikasi resmi dari pihak Luce. Deren berkutat dengan angka dan analisis pasar, mencari celah agar mereka bisa membalikkan keadaan.
Evan sendiri berdiri di ruang rapat besar, menatap layar presentasi yang penuh diagram. Matanya berat, tetapi hatinya terbakar. Ia tahu, Samuel telah menyalakan api perang. Dan perang ini bukan hanya soal bisnis, ini soal harga diri, masa depan, dan janji pada Lucia yang tidak bisa ia khianati.
belum rela pisah dah tamat aja, dan bacanya telat lagi 🥹
terimakasih thor,,,selalu semangat dgn karya-karyanya di novel 💪
aku berharap Lucia lebih kuat lebih berani menghadapi si Samsul itu
semangat Evan Deren, semoga kalau an bisa mengalahkan Samsul itu
baru bisa baca lagi 🥹