1. Terjebak dalam Siklus Kematian & Kebangkitan – Tokoh utama, Ning Xuan, berulang kali mati secara tragis dimangsa makhluk gaib (berwujud beruang iblis), lalu selalu kembali ke titik awal. Ini menghadirkan rasa putus asa, tanpa jalan keluar.
2. Horor Psikologis & Eksistensial – Rasa sakit saat dimakan hidup-hidup, ketidakmampuan kabur dari tempat yang sama, dan kesadaran bahwa ia mungkin terjebak dalam “neraka tanpa akhir” menimbulkan teror batin yang mendalam.
3. Fantasi Gelap (Dark Fantasy) – Kehadiran makhluk supranatural (beruang iblis yang bisa berbicara, sinar matahari yang tidak normal, bulan hitam) menjadikan cerita tidak sekadar horor biasa, tapi bercampur dengan dunia fantasi mistis.
4. Keterasingan & Keputusasaan – Hilangnya manusia lain, suasana sunyi di kediaman, dan hanya ada sang tokoh melawan makhluk gaib, mempertegas tema kesendirian melawan kengerian tak terjelaskan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ijal Fadlillah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 – Wangi Harum, Hati Tulus, dan Tubuh yang Kuat
Dua kepala pemimpin Beruang Gunung Penumbuk telah dipenggal di tempat, sementara Kera Bayangan Hantu yang bersembunyi juga melarikan diri dari lokasi itu. Situasi ini seperti menusuk ke dalam sarang monyet. Seketika, para beruang biasa dan beruang kecil yang sempat terdiam mendadak jadi gila, lalu berbondong-bondong menyerbu keluar dari gua.
Ning Xuan melihatnya dengan jelas. Tubuhnya melesat ke arah mulut gua, lalu mengayunkan pedang patahnya. Dengan jurus “Terbangnya Walet Menghantam Gunung” (Feiyan Bengyue), ia menebas kepala seekor beruang yang paling duluan menerobos keluar. Kepala itu langsung terlempar ke tanah. Ia kemudian memanfaatkan perut beruang itu sebagai tumpuan, memantul ke belakang, lalu berputar balik dengan kecepatan bertambah, dan kembali menebas. Satu lagi beruang yang menyusul dari belakang roboh, kepalanya terbelah.
Ilmu bawaan beruang penumbuk, “Benturan Gunung Runtuh”, hanya bisa dipicu dengan syarat “memperoleh percepatan”.
Bagi Ning Xuan, kemampuan untuk mengeluarkan jurus “Benturan Gunung Runtuh” adalah garis pemisah yang sangat penting.
Jika bisa memakainya, maka ia berada di satu tingkatan kekuatan.
Jika tidak bisa, ia jatuh di tingkatan yang lain.
Perbedaan keduanya bagaikan langit dan bumi.
Tubuh kuat bagaikan sebilah pedang, namun tanpa mata pisau. Sedangkan jurus bawaan Benturan Gunung Runtuh itulah yang membuat pedang itu benar-benar tajam.
Tanpa jurus itu, jangankan para pemimpin beruang besar yang telah ia bunuh sebelumnya, bahkan beruang kecil sekalipun tak mungkin ia habisi dengan satu tebasan. Ia hanya bisa mengandalkan tenaga kasar untuk menghantam mereka satu per satu, dengan cara yang memakan waktu dan tenaga, sangat tidak efisien.
Karena itulah, ia harus selalu menjaga dirinya dalam keadaan “percepatan”.
Namun, jarak percepatannya pendek. Jadi setiap gerakan harus penuh teknik dan tenaga meledak.
Memutar gagang pedang untuk menghasilkan daya dorong spiral.
Menyergap ke mulut gua.
Memantul dari tubuh beruang yang baru saja ia tebas: itu percepatan lagi.
Ia seakan bergerak dalam pusaran kecepatan yang meledak-ledak.
Tebas! Tebas! Tebas!
Berkali-kali pedangnya terayun, dan segera mulut gua penuh dengan mayat beruang. Lebih dari sepuluh bangkai menumpuk hingga setinggi bukit kecil, bau amis darah menyebar ke segala penjuru. Namun, tak ada satu pun binatang liar lain yang berani mendekat.
Ning Xuan terengah-engah. Bagian punggung dan pinggangnya terasa perih panas, bekas serangan mendadak dari Kera Bayangan Hantu tadi. Tapi ia tak berniat membiarkan para beruang sisa melarikan diri.
Setelah belasan beruang tumbang, gua itu mendadak sunyi.
Beruang-beruang yang tersisa tidak lagi keluar, melainkan meringkuk di dalam.
Ning Xuan pun tidak gegabah masuk.
Pandangan matanya bergerak, lalu ia melirik pada obor lipat yang tadi sempat ia buang. Ia melangkah dua langkah, dan tanpa sengaja melihat setengah tubuh wanita cantik yang telah dimutilasi. Di samping jasad itu, tergeletak sebuah botol logam kecil. Pada permukaannya terukir kata-kata indah dengan huruf yang elegan: “Dijie Qiangwei Lu” (Rose Butterfly Perfume).
Sebagai putra sulung keluarga Ning yang sudah sering bermain di Chenxiang, Ning Xuan tentu mengenal benda itu.
Itu adalah parfum mewah, dijual per tetes, sangat mudah menguap, dan hanya dipakai oleh para pelacur kelas atas dengan kekayaan besar. Bagi pelacur biasa, parfum ini adalah impian, jika ada sedikit tabungan, mereka pasti ingin mencobanya sekali.
Ning Xuan mendadak tergerak. Ia mengambil botol itu.
Ia mengguncangnya. Kosong.
Ia membuka sumbatnya. Masih kosong, benar-benar tak tersisa.
Wanita yang mati ini jelas bukanlah primadona atau kembang rumah bordil. Parfum pribadinya saja bahkan tak bisa terisi setengah botol.
Itu wajar, para primadona biasanya tidak akan dibiarkan keluar tanpa pengawalan. Kalau pun bepergian, selalu ada penjaga yang terlebih dahulu memastikan jalannya aman. Kesialan semacam ini jarang menimpa mereka.
Ning Xuan menyimpan botol kosong itu, lalu beralih ke genangan darah kecil yang ditinggalkan Kera Bayangan Hantu tadi.
Ia menunduk hati-hati, lalu menempelkan botol kecil itu ke tanah, menyedot darah bercampur pasir masuk ke dalam botol, kemudian mengangkatnya di depan mata.
Seketika, sebuah tulisan informasi muncul di hadapannya:
【Kera Bayangan Hantu】
【Apakah ingin melakukan pengolahan jimat darah?】
Ning Xuan matanya berbinar. Ia segera menutup botol itu dan menyimpannya ke dalam saku.
Setelah itu, ia kembali mengambil obor lipatnya.
Kali ini, ia punya waktu lebih. Ia mengumpulkan ranting-ranting kering dan menumpuknya di mulut gua, lalu menyalakan api perlahan.
Tumpukan ranting makin lama makin besar. Api pun semakin membesar. Ditambah lagi angin dari selatan yang menguntungkan, kepulan asap hitam pekat terdorong masuk ke dalam gua.
Ning Xuan lalu melompat ke atas tebing kecil di sekitar gua, mencari titik tinggi untuk mengamati. Matanya tajam, mencari celah-celah apakah ada asap keluar dari bagian lain gunung.
Jika ada, itu artinya gua ini punya pintu belakang, dan para beruang kemungkinan besar akan lari lewat sana.
Setelah mengamati hampir setengah jam, ia tak melihat asap keluar dari tempat lain.
Artinya: gua ini hanya punya satu jalan keluar.
Asap makin tebal, membuat para beruang kecil di dalam tak tahan. Akhirnya, mereka mulai berhamburan keluar lewat mulut gua.
Ning Xuan turun dari atas tebing.
Tebas!
Tebas!
Tebas!
Satu demi satu beruang roboh di genangan darah.
Hingga akhirnya, seekor beruang yang lari keluar tampak benar-benar putus asa. Ia bahkan berhenti melawan, langsung jatuh berlutut di depan Ning Xuan dengan suara bergetar, terus-menerus menundukkan kepala sambil memohon:
“Jangan bunuh aku… jangan bunuh aku, kumohon…”
Ning Xuan melihat ia bisa berbicara, lalu berpura-pura menipunya:
“Ada kesempatan untuk hidup.”
Beruang itu makin giat menghantamkan kepalanya ke tanah.
Ning Xuan lalu berkata:
“Aku tanya, kau jawab.”
Ia berpikir sejenak, lalu melanjutkan:
“Di dalam gua… masih ada beruang lain?”
Beruang itu menjawab terbata-bata:
“A-aku… aku adalah Raja Ketiga. Raja Pertama dan Raja Kedua sudah mati. Aku barusan menyuruh anak buahku lari lebih dulu, lalu aku menahan diri di belakang. Tak kusangka engkau masih ada di luar. Di dalam… tak ada beruang lain.”
Ning Xuan menatapnya tajam.
“Lalu… ada harta karun?”
Beruang itu cepat-cepat mengangguk:
“Ada… ada. Itu… jubah merah darah, jubah sutra besi itu! Awalnya milik Raja Pertama. Setelah Raja Pertama mati, dipakai Raja Kedua. Tapi setelah Raja Kedua mati, aku mencobanya… namun… tidak bisa digunakan lagi…”
Ning Xuan bertanya dengan heran,
“Bagaimana bisa tidak manjur?”
Beruang iblis itu menjawab,
“Segala pusaka harus dipanggil, harus dibakar dupa yang baik untuk mengundangnya. Bila hati tulus, tubuh kuat, maka pusaka itu akan bereaksi. Jika berhasil, pusaka akan muncul dengan sendirinya. Mungkin… aku tidak cukup kuat, juga hatiku tidak cukup tulus.”
Setelah berkata begitu, ia kembali menundukkan kepala, memohon,
“Tolong, jangan bunuh aku.”
Ning Xuan menendangnya dengan dingin dan berkata,
“Keluarkan.”
Beruang iblis itu panik, lalu segera merogoh ke dalam bulu lebatnya dan mengeluarkan sebuah patung Buddha kecil sebesar telapak tangan. Ia menyerahkannya dengan kedua tangan, penuh hormat.
Ning Xuan langsung meraih benda itu. Sekilas ia melihat patung Buddha tersebut: seluruh tubuhnya jernih bagai air murni, rambut spiral di kepala berkilau seperti teratai biru, wajahnya bulat bagai rembulan, di antara alisnya terdapat cahaya putih, sepasang mata menunduk penuh welas asih, bibirnya tersenyum lembut. Patung itu tampak agung sekaligus penuh belas kasih.
“Cukup dengan membakar dupa?” tanya Ning Xuan.
Beruang iblis itu mengangguk cepat, lalu menambahkan,
“Dupa yang baik, hati yang tulus, dan tubuh yang kuat.”
Ning Xuan memasukkan patung itu ke dalam saku, kemudian bertanya lagi,
“Kalian berasal dari mana?”
Beruang iblis itu tertegun sejenak, lalu menjawab,
“Tentu saja dari Gunung Angin Hitam.”
“Gunung Angin Hitam?”
“Ya, Gunung Angin Hitam tetaplah Gunung Angin Hitam.”
“Kalau begitu, tempat ini apa?”
“Tempat ini juga bagian dari Gunung Angin Hitam. Ini adalah tempat rahasia yang ditemukan oleh Hei Bo’er, bawahan Raja Kedua.”
“Siapa lagi itu Hei Bo’er?”
“Dia… sudah kau bunuh.”
Ning Xuan mengajukan beberapa pertanyaan lagi, namun ia segera menyadari itu hanya membuang waktu. Maka ia mengubah arah pertanyaannya,
“Bagaimana kalian bisa menemukan keberadaanku dari jarak yang begitu jauh?”
Beruang iblis itu buru-buru menjelaskan,
“Dari aura, dari bau. Saat kami menguasai suatu wilayah, kami akan meninggalkan aura kami di mana-mana. Jika ada iblis lain yang masuk, aura itu akan menjadi kacau. Kami bisa merasakan kekacauan aura itu dengan mudah, sehingga tahu ada iblis asing yang datang. Semakin kuat iblisnya, semakin jelas pula rasanya.
Tapi… kalau di luar wilayah kami, itu tidak bisa.”
Ia lalu memohon lagi,
“Tolong, maafkan aku, bagaimanapun juga kita sama-sama iblis…”
Ning Xuan bertanya lebih jauh,
“Kalau manusia? Bisa kalian rasakan juga?”
Beruang itu menjawab,
“Tidak sejauh itu, tapi kalau mereka mendekat, kami bisa mencium bau manusia dengan jelas. Kami memang punya kepekaan alami terhadap bau manusia. Namun untuk sesama iblis, kami harus lebih dulu menebarkan aura wilayah, baru bisa merasakannya.”
Ning Xuan mengangguk pelan.
Ia sudah mengerti.
Aura adalah cara khusus para iblis membedakan keberadaan makhluk.
Untuk manusia, mereka bisa langsung mengenali, tapi hanya dalam jarak dekat.
Untuk sesama iblis, mereka harus lebih dulu menyiapkan wilayah aura, namun jaraknya bisa lebih jauh.
Ia sadar sekarang, alasan beruang kecil itu bisa terus mendeteksi keberadaannya adalah karena sejak awal ia memang berada di dalam wilayah aura mereka. Lagi pula, tempat ini memang sarang utama para beruang gunung.
Namun, tiba-tiba beruang iblis yang masih berlutut itu mengendus hidungnya. Ekspresi terkejut muncul di wajahnya.
Ia berkata,
“Ada manusia yang datang.”
Ning Xuan sedikit memiringkan kepala.
Ia pun merasakannya.
Bukan hanya merasakannya, bahkan ia langsung bisa mengenali baunya.
Bau manusia itu sama persis dengan yang pernah ia cium sebelumnya. Itu berarti orang-orang yang datang sekarang adalah kelompok Han Ba.
Sekejap, segalanya menjadi jelas bagi Ning Xuan.
Sebelumnya, saat ia berada di dekat air terjun, ia mencium bau manusia dan mengira itu hanyalah ketajaman indranya. Namun sekarang ia sadar, setelah menggunakan Tianmo Lu (Kitab Iblis Surgawi), dirinya telah memperoleh sebagian aura dan sifat para iblis. Itu membuatnya bisa merasakan “bau manusia” dengan cara yang sama seperti para iblis.
Ning Xuan segera membuat keputusan.
“Pergi bunuh mereka.”
Ia menduga Han Ba dan rombongannya kemungkinan besar mengikuti jejak asap hingga sampai ke tempat ini. Namun ia sendiri harus segera menjelajahi gua, dan ia tidak boleh membiarkan mereka menemukan keberadaannya.
Selain itu, jika Han Ba dan yang lain berani masuk sejauh ini, tentu mereka memiliki kemampuan luar biasa. Ia pun ingin menyaksikan sejauh mana “kemampuan transenden” mereka.
Beruang iblis itu tertegun mendengar perintah tersebut, namun matanya segera memancarkan cahaya gembira.
Ning Xuan menambahkan dengan dingin,
“Aku tidak memelihara sampah.”
Logika sederhana itu langsung tertanam di benak beruang iblis itu. Ia merasa menemukan kesempatan hidup. Tanpa banyak bicara, ia bangkit, lalu berlari ke arah bau manusia yang semakin mendekat. Ia harus membuktikan dirinya.
Ning Xuan menatap punggung beruang itu, lalu berbalik masuk ke dalam gua gunung.
Begitu masuk, bau anyir langsung menusuk hidungnya. Di tanah berserakan tulang belulang, daging busuk, dan kepala manusia yang sudah setengah termakan.
Semakin dalam ia melangkah, pemandangan semakin mengerikan. Pada tonjolan batu yang tajam, tergantung tujuh atau delapan mayat manusia yang sudah dikuliti dan dibelah perutnya. Dagingnya terbuka, tubuh mereka tergantung, terayun-ayun pelan di udara. Mereka sudah lama mati.
Jelas, korban yang benar-benar mati jauh lebih banyak daripada orang yang sekadar dilaporkan hilang.
Di bagian terdalam gua, ia menemukan sebuah alas batu. Di atasnya terhampar sebuah “tikar” yang terbuat dari kulit manusia.
Di sampingnya, terdapat sebuah altar kecil. Altar itu kosong. Ning Xuan bisa menebak, benda yang seharusnya ditempatkan di sana adalah patung Buddha yang kini ada di sakunya.
Ia kembali meneliti lantai gua. Di sana hanya ada sisa-sisa barang milik para korban, namun tidak ada yang ia ambil. Setelah berkeliling sebentar, ia segera keluar dari gua.
Dari kejauhan, terdengar jelas suara pertempuran yang menggema.