Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Pagi pun tiba…
Di dapur, Mawar dan Mbok Ijah sibuk dengan tugas mereka. Seperti biasa, sebelum Mawar ada, seluruh urusan dapur sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mbok Ijah—memasak, menyiapkan sarapan untuk Bumi dan Raya, serta menyiapkan bekal sekolah untuk Raya sesuai perintah Lusi. Namun, sejak kehadiran Mawar, tugas-tugas itu kini terbagi.
Mbok Ijah tetap mengurus dapur, sementara Mawar bertugas naik ke lantai dua untuk membangunkan Raya, memandikannya, dan menyiapkan segala kebutuhannya untuk sekolah. Selain itu, Mawar juga bertugas menyiapkan perlengkapan Bumi sebelum berangkat ke kantor.
Saat Mawar sampai di depan kamar Raya, langkahnya terhenti. Senyum tipis terukir di bibirnya saat melihat pemandangan di dalam kamar.
Bumi masih duduk di kursi, tepat di samping ranjang putrinya. Ia tertidur dengan kepala tertunduk, napasnya teratur dalam keheningan pagi. Wajahnya tampak lelah, seolah beban pikirannya belum juga sirna.
Mawar hanya menatapnya sejenak sebelum melangkah pergi dengan pelan. Namun, bukan kembali ke dapur—melainkan menuju kamar utama.
Kamar Lusi dan Bumi.
Begitu ia membuka pintu dan melangkah masuk, udara di dalam ruangan terasa berbeda.
Mawar terpaku, matanya membelalak melihat betapa luas dan megahnya kamar tersebut. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal yang berkilauan, tirai sutra menjuntai di jendela besar, perabotan ukiran klasik yang tampak begitu mahal, setiap detail di ruangan itu memancarkan kemewahan yang luar biasa.
Ranjang besar dengan headboard beludru berdiri anggun di tengah ruangan, terlihat sempurna dengan sprei putih bersih dan bantal-bantal yang tertata rapi. Sebuah lemari kayu jati berukir berdiri kokoh di sudut ruangan, menyimpan pakaian-pakaian mahal yang tertata sempurna. Meja rias berlapis emas berdiri di dekat kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi, menciptakan kilauan yang begitu elegan. Bahkan kamar mandinya begitu luas—seukuran kamar tidur tempatnya beristirahat di rumah ini.
Namun, di balik semua kemewahan itu, ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang… dingin.
Ruangan ini sempurna, terlalu sempurna. Tidak ada jejak kehangatan, tidak ada tanda-tanda bahwa tempat ini dihuni oleh pasangan suami istri yang saling mencintai.
Tidak ada selimut yang berantakan, tidak ada barang-barang kecil yang menunjukkan keintiman. Semuanya terlalu rapi, terlalu teratur, seolah-olah kamar ini hanya tempat persinggahan—bukan ruang berbagi kasih sayang.
Kamar ini besar, indah, tetapi terasa kosong.
Seperti hubungan pemiliknya.
Mawar merasakan sesuatu yang menggelitik hatinya. Sebuah kesadaran yang membuat dadanya menghangat.
Bumi dan Lusi… mereka mungkin suami istri, tetapi mereka bukan pasangan yang benar-benar bersama.
Dan itu… membuatnya bahagia.
Perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya.
Ia melangkah lebih dalam ke dalam kamar, lalu tatapannya tertuju pada sesuatu di dinding.
Sebuah foto besar terpajang di sana—Bumi, Lusi, dan Raya. Sebuah potret keluarga yang tampak sempurna.
Bumi merangkul Lusi, sementara Raya berdiri di tengah mereka dengan senyum polosnya. Mereka terlihat bahagia, seolah-olah tidak ada celah dalam kehidupan mereka.
Mawar menatap foto itu lama, sebelum akhirnya menghela napas panjang.
Tatapannya merendahkan.
Mereka mungkin terlihat sempurna di dalam bingkai itu, tetapi Mawar tahu kenyataan di baliknya. Tidak ada kebahagiaan yang sejati. Tidak ada keluarga yang benar-benar utuh.
Dengan cepat, ia mengalihkan pandangannya dan mendapati sesuatu yang lain di atas meja. Sebuah kartu nama.
BUMI ARYASATYA MAHESWARA
Senyum sinis perlahan muncul di wajahnya.
“Jadi ini alasannya…” bisiknya, jemarinya menelusuri huruf-huruf di kartu nama itu.
“Inilah kenapa sekarang Tante Lusi menjadi Lusi Maheswara, bukan lagi Lusi Atmaja.” Ia terkekeh pelan. “Karena Tante Lusi mengambil nama belakang Om Bumi. Nyonya Lusi Maheswara.”
Mawar menegakkan tubuhnya, jemarinya mengepal erat. Tatapannya dipenuhi tekad yang membara.
“Tante Lusi…” suaranya terdengar begitu pelan, namun penuh arti. “Sebentar lagi aku akan menggantikan posisimu.”
Ia memandang sekeliling kamar itu sekali lagi.
Kamar ini begitu besar, begitu indah, begitu mewah… dan sebentar lagi, kamar ini akan menjadi miliknya.
Senyum itu semakin lebar.
“Sebentar lagi, akan ada Nyonya Maheswara yang baru.”
Mawar berbalik dan mulai menjalankan tugas utamanya. Ia menyiapkan air hangat untuk mandi Bumi, memilih kemeja dan dasi yang paling rapi dari dalam lemari, bahkan dengan teliti memilih sepatu yang akan dikenakan Bumi hari ini.
Setiap gerakannya penuh perhitungan.
Ia bukan lagi sekadar seorang pembantu di rumah ini.
Ia adalah seseorang yang siap mengambil tempatnya.
Setelah selesai dengan tugasnya di kamar Bumi, Mawar melangkah menuju kamar Raya. Di ambang pintu, ia berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum mengetuk pintu dengan perlahan.
Tok… tok… tok…
Bumi tersentak bangun. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, napasnya masih berat. Dengan gerakan lambat, ia mengurut pelipisnya yang berdenyut, sisa dari malam panjang yang diwarnai pertengkaran. Kepalanya terasa berat, pikirannya masih samar. Dengan suara parau, ia bergumam, “Ya Tuhan… aku ketiduran di sini?”
Mawar melangkah masuk dengan tenang, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Maaf, Pak Bumi, Mawar mau membangunkan Non Raya. Dia harus segera bersiap untuk sekolah.” Mawar berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara yang sedikit lebih lembut, hampir berbisik, “Dan… Mawar juga sudah menyiapkan air hangat untuk mandi Pak Bumi.”
Bumi mengangkat wajahnya, menatap Mawar yang berdiri di sampingnya. Ada sesuatu dalam cara gadis itu berbicara—sesuatu yang tidak biasa untuk seorang pembantu. Tapi Bumi mengabaikannya. Ia hanya mengangguk singkat sebelum bangkit dari kursi dan berjalan keluar kamar Raya.
Namun, saat melewati Mawar, gadis itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, cukup dekat hingga aroma samar dari tubuhnya tercium oleh Bumi. Wangi yang asing, berbeda dari wangi sabun rumah ini—lebih lembut, lebih manis.
“Pak Bumi,” bisik Mawar pelan, suaranya menggelitik, “Mawar akan selalu siap melayani Pak Bumi sebaik mungkin…”
Bumi menghentikan langkahnya sesaat. Hanya sepersekian detik, tapi cukup bagi Mawar untuk menangkapnya. Senyum di bibirnya semakin dalam.
Setelah selesai mengurus Raya, Mawar kembali menuju kamar utama. Ia mengetuk pintu dengan pelan.
Tok… tok…
Pintu terbuka, dan di ambang pintu, Bumi berdiri. Ia baru saja selesai mandi, hanya mengenakan handuk kimono yang melonggar di bagian dadanya. Uap panas masih mengepul dari kulitnya yang basah, dan aroma sabun khas lelaki itu menyebar ke udara.
Mawar tersenyum, tatapannya penuh arti.
“Maaf, Pak Bumi. Boleh Mawar masuk?”
Bumi sempat ragu, namun sebelum ia menjawab, Mawar sudah melangkah masuk dengan lembut, seperti angin yang menyelinap tanpa izin.
“Ini pakaian yang sudah Mawar siapkan untuk Pak Bumi,” ujarnya, sambil mengambil kemeja dan dasi yang tergantung rapi.
Tanpa menunggu persetujuan, ia mendekat, meraih kemeja tersebut, lalu dengan gerakan penuh kehati-hatian—atau lebih tepatnya, penuh perhitungan—ia mulai menyarungkan lengan kemeja ke tangan Bumi.
Bumi terdiam. Biasanya, ia selalu mengenakan pakaiannya sendiri. Tapi kali ini, entah kenapa, ia hanya berdiri di sana, membiarkan gadis itu menyusup ke dalam ruang pribadinya.
Mawar tersenyum samar saat melihat Bumi tak menunjukkan perlawanan.
Lalu, dengan perlahan, ia meraih dasi dan melingkarkannya ke leher Bumi. Gerakannya lambat, penuh kelembutan, namun di balik itu semua ada ketulusan yang dibuat-buat. Bibirnya sedikit bergetar seolah-olah ia tengah menahan sesuatu—atau mungkin justru sengaja menciptakan jarak yang begitu tipis di antara mereka.
Saat mengencangkan simpul dasi, tubuhnya sedikit condong ke depan. Dada mereka hampir bersentuhan. Nafasnya terasa hangat di kulit Bumi.
Bumi menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering.
Baru kali ini, ada seseorang yang memperhatikannya dengan sedetail ini…
Namun saat tatapan mereka bertemu, ada sesuatu di mata Mawar yang membuat benaknya seolah terseret kembali ke masa lalu, masa empat belas tahun yang lalu.
“Kalau Mawar sudah besaaar, Mawar pengin punya suami kayak Om Bumiiiii... yang baiiiik, perhatiaaan, sayaaang, dan selalu siap siagaaaa menjaga Mawar.”
Suara dan rengekan kecil itu berputar di kepalanya.
Bumi teringat pada gadis kecil yang dulu selalu menempel padanya, bermain-main dengan jenggotnya, merengek manja meminta digendong.
Mungkinkah gadis yang ada di hadapannya sekarang adalah Mawar yang dulu?
Ia menggeleng pelan, menepis pikirannya. Tidak… tidak mungkin. Gadis yang kini berdiri di hadapannya ini terlalu berbeda. Ia bukan lagi bocah kecil yang dulu manja dan polos.
Mungkin… ini hanya kebetulan.
Kebetulan bahwa namanya sama.
Bumi menarik napas dalam. Sesuatu dalam dirinya mengatakan untuk menghentikan ini. Ia pun segera mengambil dasi itu dari tangan Mawar dan berkata, “Sudah, tidak apa-apa. Aku bisa memakainya sendiri.”
Mawar terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Bukan senyum kecewa, tapi senyum yang seolah berkata, “Santai saja, Om… kita baru mulai.”
“Baik, Pak Bumi. Kalau begitu, Mawar keluar dulu,” ujarnya lembut sebelum berbalik.
Namun sebelum benar-benar keluar dari kamar, ia menoleh sedikit, sekilas menatap Bumi dari ekor matanya. Senyumnya masih bertahan di bibirnya.
Senyum seorang wanita yang tahu bahwa permainannya baru saja dimulai.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Mawar kembali ke dapur, tetapi kali ini bukan untuk sekadar bekerja. Ia mendengar percakapan antara Bumi, Raya, dan Mbok Ijah di teras depan.
“Raya, Sayang, kamu berangkat sekolah lebih dulu, ya,” kata Bumi lembut. “Papa masih menunggu Ayu mengantarkan berkas sebelum meeting pagi ini.”
Raya mengangguk ceria. “Oke, Papa!” Ia langsung menuju mobil dengan langkah ringan, sementara Mawar langsung keluar membawakan tas Raya, memastikan putri kecil itu masuk dengan aman.
Begitu mobil berlalu, Mbok Ijah menatap Mawar dan berkata, “Sudah, Neng Mawar nggak usah ikut ke sekolah. Non Raya aman. Sekarang lebih baik layani Pak Bumi, tawarkan teh atau kopi buat beliau.”
Mata Mawar langsung berbinar. Kesempatan.
“Baik, Mbok,” jawabnya dengan senyum samar.
Mawar melangkah ke teras, tempat Bumi duduk sendirian, menunggu sekretarisnya datang. Senyumnya tersungging, tatapannya teduh, tapi ada kilatan menggoda di sana.
“Pak Bumi, mau Mawar buatkan teh, kopi, atau…”
Ia sengaja menggantungkan kalimatnya, membiarkan suara lembutnya melambat, penuh kesan misterius. Tubuhnya sedikit mencondong ke depan, mendekat, hingga aroma tubuhnya samar-samar tercium. Bibirnya melengkung tipis, senyum yang tak biasa. Senyum yang berbahaya.
“…susu?”
Bumi, yang awalnya hanya melirik sekilas, tiba-tiba terpaku. Tatapannya tanpa sadar jatuh ke arah dada Mawar, yang sedikit menyembul dari belahan bajunya. Pemandangan itu terasa terlalu dekat, terlalu... menggoda.
Seolah bukan hanya susu di dalam cangkir yang sedang ditawarkan Mawar kepadanya.
Seolah ada susu lain yang lebih menggoda. Lebih... spesial.
Kerongkongan Bumi terasa kering seketika. Ia menelan ludah, buru-buru mengalihkan pandangan. Tapi entah kenapa, kata yang lolos dari bibirnya justru—
“S-susu…” gumamnya, suaranya serak dan nyaris bergetar.
Mawar tersenyum semakin nakal. Tersenyum penuh kemenangan. Ia bisa merasakan kebingungan dalam diri Bumi—dan ia menyukainya. “Baik, Pak,” jawabnya dengan suara yang sedikit lebih lirih, lalu berbalik menuju dapur.
Di dapur, Mbok Ijah melihat Mawar menuangkan susu ke dalam gelas. Alisnya mengernyit.
“Lho, Neng Mawar, itu buat siapa?” tanyanya heran.
Mawar tersenyum, mengaduk susu itu dengan lembut. “Untuk Pak Bumi, Mbok.”
Mbok Ijah makin bingung. “Aneh. Biasanya Pak Bumi paling anti sama susu.”
Mawar hanya tersenyum, tak memberikan jawaban lebih. Ia mengangkat nampan berisi segelas susu hangat dan melangkah kembali ke teras.
Sesampainya di sana, ia berjongkok perlahan di hadapan Bumi, meletakkan gelas susu di meja dengan gerakan yang lembut. Saat itu, dress-nya (seragam pembantu) yang sedang dikenakannya sedikit merosot, membuat bagian dadanya semakin terlihat.
“Ini, Pak Bumi. Susunya…”
Bumi menelan ludah lagi. Degupan jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya. Perlahan, celananya terasa sesak. Pandangannya sempat turun ke bagian dada Mawar sebelum buru-buru ia mengalihkan wajah, mengambil gelas dengan tangan sedikit gemetar.
Mawar memperhatikannya dengan tatapan penuh arti.
“Pak Bumi…” suaranya seperti bisikan halus di antara hembusan angin pagi. “Mawar senang bisa melayani Pak Bumi…”
Bumi diam. Jari-jarinya mencengkeram gelas lebih erat.
Ia tidak bodoh. Ia tahu ada sesuatu di balik setiap kata dan tatapan Mawar. Tapi yang membuatnya resah adalah—ia tidak menolak.
Ia hanya duduk di sana, membiarkan gadis itu terus bermain-main dengan godaannya.
###
Sepi tidak ada yang coment😭