BOCIL HARAP MENEPI DULU.
*
"
Valencia Remi, seorang gadis muda usia 19 tahun dari desa. Dia memiliki rambut hitam panjang dan mata coklat yang indah. Senyumnya manis dan lembut, membuat semua orang jatuh cinta pada-nya. Cia Pergi ke kota jakarta untuk mengejar impian kuliah di universitas.
*
Cia berteman dengan seorang yang sudah lama tingal di jakarta dan memperkenalkan Kehidupan malam kota yang glamor.
*
Cia mulai terjebak dalam pergaulan bebas dan mengenal Aksa yang menawarkan Kehidupan mewah.
*******
"Jadi Cewek Gue, makan seluruh kehidupan Lo....Gue yang tanggung." Kata Aksa.
*
"Kamu tau kan ? Aku sudah punya pacar." Jawab Cia.
*
*
Penasaran dengan pilihan Cia ? Yuk ikuti kisahnya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Keputusan berat
0o0__0o0
Valencia Remi, atau yang akrab dipanggil Cia, adalah gadis berusia 19 tahun. Dia tumbuh besar di sebuah desa bersama kedua orang tuanya. Anak tunggal dari keluarga sederhana,
Cia dikenal sebagai gadis cantik dan pintar. Rambut hitam sebahunya, mata cokelat yang teduh, serta senyum lembut menjadikannya mudah disukai siapa saja.
Namun keistimewaan Cia bukan hanya dari parasnya. Dia juga di karuniai otak cerdas yang membuatnya berhasil meraih beasiswa di universitas bergengsi di Jakarta.
Sebuah pencapaian yang membanggakan sekaligus membuatnya harus berkorban meninggalkan keluarga, sahabat, dan juga kekasihnya.
Suasana rumah sederhana itu begitu hangat. Lampu bohlam kuning di ruang tamu menerangi keluarga kecil Cia yang duduk melingkar di atas tikar pandan. Di tengah mereka ada sepiring kacang rebus, jagung bakar, dan teh hangat buatan ibu.
“Ayah, inget nggak waktu aku kecil, suka merengek minta dibuatin ayunan di pohon jambu belakang ?” tanya Cia sambil tersenyum nakal.
Ayahnya terkekeh, mengingat masa lalu itu. “Iya, Nak. Setiap sore ayah di suruh dorong sampai tinggi-tinggi. Giliran ayah berhenti sebentar, kamu langsung nangis kenceng.”
Ibunya ikut tertawa. “Belum lagi kalau jatuh. Bukannya kapok, besoknya minta lagi. Anak kecil paling bandel satu desa, ya kamu itu.”
Cia menunduk malu, lalu tertawa. “Habis seru, Bu. Sekarang aku kangen masa kecil, pengin balik main kayak dulu lagi.”
Mereka bertiga larut dalam tawa, suasana ringan yang sudah jarang terjadi karena kesibukan masing-masing.
Setelah itu, ayah mengambil gitar tua yang sudah lama tergantung di dinding. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Masih inget lagu yang dulu suka kita nyanyikan bareng ?” tanyanya.
Cia mengangguk semangat. “Ingat dong, Yah. Lagu kesukaan Cia !”
Ayah pun mulai memetik senar gitar dengan nada sederhana. Ibu ikut bernyanyi pelan, dan Cia menyusul dengan suara lembutnya. Lagu itu bukan sekadar nyanyian, melainkan simbol kebersamaan mereka sejak Cia kecil.
Air mata hampir jatuh dari mata Cia, tapi ia tahan dengan senyum lebar. Ia ingin momen itu jadi kenangan manis, bukan kenangan penuh tangis.
Setelah lagu selesai, ibunya meraih kepala Cia lalu menepuknya pelan. “Nak, di manapun kamu nanti berada, jangan pernah lupa bahwa rumah ini selalu terbuka untukmu. Kamu boleh mengejar mimpi sejauh apapun, tapi pulanglah kalau lelah.”
Ayah menambahkan dengan suara serak, “Selama Ayah dan Ibu masih hidup, doa kami tidak akan pernah putus buat kamu.”
Cia tidak bisa menahan air matanya kali ini. Ia meraih kedua tangan orang tuanya, lalu menciumnya penuh hormat.
“Terima kasih, Ayah… Ibu… Cia beruntung banget lahir di keluarga ini.”
Mereka bertiga berpelukan erat, larut dalam kehangatan yang sederhana namun tak tergantikan.
Malam itu menjadi malam yang tidak akan pernah Cia lupakan malam terakhirnya di desa, malam penuh cinta yang akan ia bawa sebagai kekuatan saat menapaki kehidupan baru di kota.
0o0__0o0
Jam menunjukkan pukul enam pagi. Sinar matahari menembus jendela kamar, menyinari wajah Cia yang sudah bangun sejak subuh. Hari itu terasa berbeda, hari terakhirnya di desa, sebelum berangkat mengejar mimpi di kota.
Ia berdiri di depan cermin, menatap dirinya dengan campuran rasa bangga dan sedih. “Bismillah… semoga jalanku lancar,” bisiknya mantap.
Dengan langkah pelan, ia menyeret koper sedang keluar kamar, lalu meletakkannya di samping ruang tamu. Setelah itu, ia menuju ruang makan, tempat ayah dan ibunya sudah menunggu dengan senyum hangat.
“Ayo duduk, Nak,” ujar sang ibu lembut.
Cia tersenyum dan duduk di antara mereka. Sarapan sederhana berupa nasi goreng, telur, dan ayam goreng tersaji di atas piring.
“Makanlah, Nak,” ucap ibunya penuh kasih.
Cia menatap wajah sang ibu, matanya berbinar. “Terima kasih, Bu.?”
Ayah menatap putrinya sambil tersenyum. “Ingat ya, nanti di kota jangan sering makan mie instan. Sesekali masak sendiri, biar nggak kangen masakan Ibu.”
Cia terkekeh. “Kalau kangen banget, nanti aku pulang, Yah.”
Percakapan itu berlangsung ringan, penuh canda dan tawa kecil. Sesekali ayah menyendokkan lauk ke piring Cia, sementara ibu hanya memandanginya dengan penuh kasih.
Di tengah suapan terakhir, Cia menatap keduanya, lalu tersenyum. “Cia beruntung banget punya keluarga kayak Ayah sama Ibu. Sarapan sederhana gini rasanya lebih enak daripada restoran mana pun.”
Ayah dan ibu saling pandang, mata mereka berkaca-kaca. Kehangatan itu membuat pagi terakhir Cia di desa menjadi momen yang tak akan pernah ia lupakan.
Mereka bertiga menikmati sarapan dengan tawa kecil di sela-sela percakapan. Kehangatan keluarga itu membuat Cia semakin sadar betapa berharganya waktu bersama keluarga.
Ruang Tamu
Pukul tujuh, mereka sudah duduk di ruang tamu. Teh hangat dan pisang goreng menemani. Cia bersandar di bahu ayahnya, seolah ingin menyerap setiap kehangatan sebelum pergi.
“Semua barang dan berkas penting sudah kamu cek? Tidak ada yang tertinggal?” tanya ayahnya sambil mengelus rambut putrinya.
“Sudah, Yah. Cia sudah pastikan,” jawabnya lirih.
Ayah tersenyum bangga. “Ayah selalu bangga padamu, Valencia. Kamu anak yang kuat, rajin, dan penuh tekad.”
Cia menahan tangis. “Cia juga bangga punya Ayah yang selalu mendukung Cia.”
Sang ibu hanya bisa menatap haru, menyadari betapa sebentar lagi rumah mereka akan terasa sepi.
“Kamu harus hati-hati di sana, Nak. Kota berbeda dengan desa. Jangan sampai terbawa arus buruk,” pesan sang ayah, suaranya bergetar menahan khawatir.
“Iya, Yah. Jangan khawatir, Cia bisa jaga diri,” jawabnya mencoba meyakinkan.
“Ibu dan Ayah tidak menuntut kamu jadi orang sukses, Nak. Kami hanya ingin kamu bahagia. Ingat, kalau tidak cocok di sana, pulanglah. Rumah ini selalu menunggu,” tambah ibunya penuh cinta.
Mata Cia semakin berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan keduanya. “Terima kasih, Ayah, Ibu. Cia janji akan selalu ingat pesan kalian.”
Kedatangan Satya
Tok… tok… tok.
“Assalamualaikum, Cia. Ini aku, Satya.”
Wajah Cia langsung memerah. Ibunya terkekeh.
“Cieee… yang dijemput pacar,” godanya.
“Ibu…” protes Cia malu-malu.
Ayah hanya tersenyum tipis. “Sana, temui Satya. Tapi jangan macam-macam.”
“Siap, Ayahanda!” sahut Cia sambil hormat lalu berlari keluar.
Di teras, Satya sudah duduk menunggunya. Mereka saling menatap, menahan perasaan yang sulit diungkap.
“Aku kira terlambat. Untung kamu belum berangkat,” ujar Satya.
Cia tersenyum lembut. “Aku memang nunggu kamu. Masih ada sepuluh menit sebelum travel datang.”
Satya meng-genggam sang kekasih, lalu mengeluarkan kotak kecil. “Aku belikan hadiah buatmu.”
Cia terkejut senang. “Hadiah apa ? Boleh aku lihat ?”
“Tutup mata dulu,” pinta Satya.
Cia menurut. Ketika kotak kecil itu berpindah ke telapak tangannya, ia membuka mata. Air matanya langsung berkaca. Sebuah cincin emas sederhana berkilau di dalamnya.
“Cantik sekali…” bisiknya.
“Kamu suka?” tanya Satya penuh harap.
Cia mengangguk cepat. “Suka banget.”
Satya memakaikan cincin itu di jari manisnya. “Cantik, sama seperti orangnya.”
Pipi Cia merona merah. “Gombal,” balasnya sambil memasangkan cincin pasangannya di jari Satya.
Mereka saling bertatap, senyum bahagia menghiasi wajah hingga suara klakson mobil travel memutus momen itu.
“Cia, ayo berangkat. Supir sudah menunggu,” panggil sang ayah dari dalam.
Cia menatap Satya, enggan melepas genggaman tangannya. “Jangan sedih. Kita masih bisa teleponan, kan?”
“Jaga dirimu baik-baik, Sayang. Aku tunggu kamu kembali,” ucap Satya menahan getar suara.
Dengan berat hati, Cia akhirnya melepaskan genggaman-nya. Ia memeluk ayah dan ibunya, menahan tangis.
“Ingat pesan kami, Nak. Jangan lupa makan, jangan lupa berkabar,” pesan ibunya.
Cia hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Dari balik kaca, ia menatap tiga orang terkasihnya ayah, ibu, dan Satya yang berdiri dengan wajah sendu.
Mobil pun melaju perlahan meninggalkan rumah itu.
Air mata Cia akhirnya jatuh. Namun ia tahu, langkahnya hari ini adalah jalan menuju impian.
0o0__0o0
Catatan: Cinta orang tua tidak terbatas jarak. Dan impian seorang anak adalah kebahagiaan terbesar bagi mereka.
lgsg hapus dari daftar perpus
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
katanya paling jagoan, terutama Aksa.
Aksa terlalu lemah kalo bersangkutan dengan cia, kalo kamu gitu para musuhmu mudah dong ngalahin kamu??