Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Beberapa menit kemudian, Rangga duduk di ruang monitor. Cahaya dari layar CCTV memantul di wajahnya yang tegang.
Rekaman diputar dan di layar, terlihat Nayla berdiri di ruang tamu.
Tante Ida muncul tak lama kemudian dan masuk dengan wajah muram.
Suaranya tak terdengar, tapi gerak tubuhnya berbicara banyak dengan nada tinggi, tangan menunjuk-nunjuk ke arah Nayla.
Rangga melihat Tante Ida melemparkan sesuatu ke arah Nayla, sehingga Nayla secara refleks bergerak, namun tak sengaja pigura itu terjatuh hingga kacanya pecah.
Wajah Rangga menegang saat mengingat dirinya melontarkan kata-kata kasar,
Namun bukan itu yang membuat dada Rangga terasa sesak.
Di detik berikutnya, Nayla mendekat ke pigura yang hancur dan dengan tangan kosong menyapu serpihan kaca satu per satu.
Darah mulai mengalir dari telapak tangannya, tapi dia tetap melanjutkan, seolah tak peduli pada lukanya sendiri.
Mata Rangga terus terpaku pada layar saat Nayla akhirnya duduk, menggenggam tangannya yang berdarah, menunduk dalam diam.
Nayla tidak marah dan hanya merasakan lukanya yang ia tanggung sendiri.
Rangga masih duduk di sana, tubuhnya tak bergerak, tapi wajahnya penuh pergolakan
Ada sesuatu yang baru di matanya dan bukan sekadar keraguan tapi penyesalan.
"Den Rangga terlalu buta oleh cinta Anita. Seharusnya Non Nayla yang Den Rangga lindungi." ucap Bi Ina sambil menangis sesenggukan.
Baru kali ini ia tidak suka melihat tingkah Rangga yang keterlaluan.
"Jika Den Rangga tidak mencintai Non Nayla. Lebih baik Den Rangga menceraikannya."
Rangga terdiam dan mulutnya tertutup rapat saat mendengar perkataan Bi Ina seperti pisau yang menusuk jantungnya.
Ia tahu betul bahwa cinta pada Anita telah membuatnya buta, menutup mata terhadap perasaan Nayla yang selalu setia.
Namun kini semuanya terasa terlambat dan bagaimana ia bisa memperbaiki semuanya, setelah membiarkan segalanya terpecah begitu lama
Dengan suara serak, Rangga akhirnya membuka mulutnya.
"Bi Ina. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, aku terjebak dalam kesalahan yang begitu besar."
Bi Ina mengangkat wajahnya, mata penuh haru menatap Rangga.
"Bagaimana Non Nayla? Apakah Den Rangga tidak melihat betapa dia menderita? Jika Den Rangga masih mencintai Non Nayla, kenapa tidak memperjuangkannya?"
Rangga menarik napas dalam-dalam, matanya terpejam sejenak.
"Aku sudah berjanji pada diriku sendiri dan cinta selalu membuat kita buta, kan?"
"Jika Den Rangga ingin menebus kesalahan, bukan hanya dengan kata-kata. Tunjukkan pada Non Nayla, bahwa cinta yang sejati itu bukan hanya pada saat mudah, tetapi saat kita bisa berjuang untuknya."
Rangga menundukkan kepala, memikirkan kata-kata Bi Ina.
"Aku akan memperbaikinya, Bi Ina. Aku harus melakukannya, untuk Nayla." ucap Rangga yang langsung bangkit dari duduknya.
Rangga mengambil ponselnya dan meminta seseorang untuk mencari keberadaan Nayla.
Sesampainya di apartemen, Jati membayar taksi lalu menggendong Nayla turun dengan hati-hati.
Langkah-langkahnya pelan menapaki lorong, seolah takut membangunkan gadis yang terlelap di pelukannya.
Lampu lorong menyinari wajah Nayla yang tampak damai, meski sisa-sisa luka masih terlihat samar di bawah matanya.
Sesampainya di rumah, Jati langsung menuju kamar dan menurunkan Nayla perlahan ke tempat tidur sambil menarik selimut hingga ke bahunya.
Ia duduk di pinggir ranjang, menatap wajah Nayla sejenak, seolah memastikan bahwa ia benar-benar di sana, bahwa ini bukan ilusi.
Tangannya bergerak pelan, menyibak helaian rambut dari wajah Nayla.
“Kamu aman sekarang,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Setelah beberapa saat, Jati berdiri dan ia berjalan ke dapur, menyalakan satu lampu kecil.
Malam itu, ia tak tidur dan hanya duduk di sofa dengan secangkir teh yang sudah dingin, menjaga keheningan, menjaga Nayla.
Malam semakin larut dan hijan turun perlahan mengetuk-ngetuk jendela apartemen dengan ritme lembut seperti lagu pengantar tidur.
Di dalam kamar, Nayla masih terlelap dengan nafasnya yang teratur, tapi sesekali keningnya mengernyit, seolah mimpi-mimpi buruk masih sesekali menyentuhnya.
Di ruang tengah, Jati duduk bersandar di sofa, masih mengenakan pakaian yang sama sejak siang.
Teh di genggamannya sudah dingin sejak lama dan ia tak punya keinginan untuk meneguknya.
Tatapan matanya kosong dan pikirannya berputar, mengulang-ulang kejadian hari itu saat tatapan kosong Nayla dengan tubuhnya yang gemetar dan suara tangis yang seolah tak akan pernah habis.
Nayla menggeliat kecil di bawah selimut dan tangan kirinya meremas sprei, mulutnya menggumam tak jelas.
Jati masuk ke kamar dan mendekat sambil duduk di lantai di samping ranjang.
“Kamu nggak sendiri lagi, Nay." ucap Jati sambil menggenggam tangan Nayla yang dingin dan menautkannya ke dada.
Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, air mata Jati jatuh diam-diam, tanpa suara. Bukan karena takut, bukan karena ragu.
Tapi karena perasaan tak berdaya saat melihat orang yang ia sayangi hancur perlahan.
Sementara satu-satunya hal yang bisa ia tawarkan hanyalah dirinya sendiri.l
Hujan di luar semakin deras dan dentingnya menggema samar di dalam ruangan yang remang.
Jati masih duduk di lantai sambil bersandar pada sisi ranjang, matanya mulai terasa berat dan tepat saat ia hampir terlelap, suara lirih membuatnya tersentak.
“Nggak, jangan, jangan.” gumam Nayla dalam tidur.
Jati menegakkan tubuhnya dan ia menatap Nayla, yang kini gelisah di balik selimut.
Wajahnya muram dan tubuhnya sedikit menggeliat, seperti berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang tak terlihat.
“Nayla," panggil Jati pelan.
Tapi suara itu makin jelas dengan nafas Nayla memburu, dan dari bibirnya keluar kata-kata yang membuat hati Jati sangat sakit sekali.
“Sakit ,tolong jangan sakiti aku.Tolong!"
Jati segera naik ke sisi ranjang dan menyentuh bahu Nayla dengan lembut.
“Nay, kamu aman. Ini aku, Jati. Gak ada siapa-siapa di sini. Nggak ada yang bisa nyakitin kamu lagi…”
Namun Nayla menggeliat makin keras, seperti hendak melarikan diri dari bayangan dalam mimpinya.
Tanpa pikir panjang, Jati memeluknya erat-erat perlahan, menahan tubuh Nayla yang gemetar.
“Lihat aku, Nay. Tolong bangun sebentar, ini cuma mimpi…” bisiknya sambil setengah berdoa agar suara itu bisa menembus dunia tempat Nayla terjebak.
Beberapa detik kemudian, tubuh Nayla mulai tenang dengan nafasnya perlahan melambat dan ia akhirnya terdiam masih dalam pelukannya.
Jati tak melepas pelukannya dan ia tetap di sana menatap langit-langit.
Ia merasa marah pada dunia yang membuat Nayla begini dan juga merasa lebih yakin dari sebelumnya.
Dalam pelukannya Jati merasakan tubuh Nayla mulai bergerak.
Nayla membuka matanya masih setengah bingung dengan nafasnya berat dan keningnya basah oleh keringat.
Ia menoleh ke arah wajah Jati yang begitu dekat dengan matanya yang sayu menatap wajah Jati dan mencoba mengenali kenyataan dari mimpi.
“Mas Jati…?” suaranya serak, nyaris tak terdengar.
“Iya, ini aku,” ucapnya Jati.
Nayla terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca saat kesadaran perlahan kembali.
Tangannya mencengkeram lengan Jati, seolah memastikan bahwa dirinya tidak lagi berada di tempat itu, tempat gelap yang membayanginya bahkan dalam tidur.
“Aku mimpi dan rasanya nyata banget,” bisik Nayla.
“Itu cuma mimpi dan kamu di sini sekarang." ucap Jati sambil membelai rambut Nayla
Nayla menundukkan kepalanya dan bibirnya bergetar menahan tangis yang tak bisa ditahan lebih lama.
“Aku capek Mas,"
Jati tak berkata apa-apa dan ia langsung menarik Nayla kembali ke pelukannya.
Jati memeluknya seolah ingin menyatukan semua serpih luka yang belum sempat sembuh.