"Ka-kakak mau apa?"
"Sudah kubilang, jaga sikapmu! Sekarang, jangan salahkan aku kalau aku harus memberimu pelajaran!"
Tak pernah terlintas dalam pikiran Nayla Zahira (17 tahun) bahwa dia akan menikah di usia belia, apalagi saat masih duduk di bangku SMA. Tapi apa daya, ketika sang kakek yang sedang terbaring sakit tiba-tiba memintanya menikah dengan pria pilihannya? Lelaki itu bernama Rayyan Alvaro Mahendra (25 tahun), seseorang yang sama sekali asing bagi Nayla. Yang lebih mengejutkan, Rayyan adalah guru baru di sekolahnya.
Lalu bagaimana kisah mereka akan berjalan? Mungkinkah perasaan itu tumbuh di antara mereka seiring waktu berjalan? Tak seorang pun tahu jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Mati Gue
"Mama?" panggil Nayla saat melihat sosok wanita cantik berdiri di depan pintu dapur.
"Mama kapan pulang?" tanyanya sambil menghampiri Mila dan menyalaminya dengan penuh hormat.
Alika dan Tania, yang mendengar panggilan itu, langsung menyimpulkan bahwa wanita tersebut adalah ibu dari guru mereka. Mereka pun ikut menyapa dan menyalami Mila satu per satu.
"Baru aja. Mereka siapa?" tanya Mila, menatap Alika dan Tania dengan penasaran.
"Mereka temen aku Ma. Tadi mereka ngikutin aku pulang karena khawatir sama aku. Tapi, mereka malah jadi..."
"Jadi tau rahasia kamu?" potong Mila cepat.
Nayla menyeringai, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Iya."
"Gak masalah yang penting mereka bisa jaga rahasia ini. Ngomong-ngomong, nama kalian siapa?" tanya Mila ramah.
"Nama saya Tania Tante."
"Saya Alika." Mereka memperkenalkan diri secara bergantian.
Mila mengangguk sambil tersenyum. "Nama Tante Mila, mamanya Rayyan. Tolong bantu jaga rahasia pernikahan Rayyan dan Nayla ya. Tante gak mau orang tau sebelum Nayla lulus."
"Baik Tante," jawab keduanya bersamaan dengan senyum kecil.
"Ya sudah kalian lanjut aja ngobrolnya. Tante ke kamar dulu ya," ucap Mila sambil membawa air minum yang baru ia ambil dari kulkas.
"Terima kasih Tante," sahut Alika dan Tania kompak, membuat suasana menjadi lebih cair.
"Jangan sungkan," balas Mila, kemudian beranjak meninggalkan mereka.
Ketiganya menghela napas lega saat punggung Mila tak terlihat lagi.
"Hah gue kira tadi Pak Rayyan," celetuk Tania sambil mengusap dadanya.
"Gue juga," timpal Alika.
"Alhamdulillah bukan dia."
"Udahlah jangan bahas itu lagi. Gak enak kalau ada yang denger," ujar Nayla menegur pelan.
"Eh tapi Tante Mila gak denger obrolan kita sebelumnya kan?" tanya Alika menatap keduanya.
"Kayaknya sih gak," jawab Citra. "Tadi wajahnya biasa aja kok."
"Iya semoga aja gak. Kalau denger aku bisa malu banget," tambah Nayla.
Setelah mengobrol beberapa saat, Tania dan Alika berpamitan. Hari juga sudah mulai sore.
"Kalian gak mau makan malam di sini aja?" tawar Nayla di teras.
"Makasih Nay. Tapi kita balik aja. Takut ganggu kamu dan suami kamu," ucap Tania setengah berbisik.
"Lo ngaco banget Nia!" Nayla memukul pelan lengannya.
Tania tertawa. "Tenang kita cuma mau balik ke sekolah mobil Alika masih di sana."
Nayla mengangguk. Setelah itu mereka masuk mobil.
"Kita balik ya Nay. Assalamualaikum," ucap Alika sambil melambaikan tangan.
"Wa'alaikumussalam," sahut Nayla.
"Jangan lupa janji kita!" teriak Tania dari jendela sebelum mobil melaju.
Nayla hanya menggeleng sambil tersenyum. Ia masuk ke rumah setelah mobil mereka menghilang dari pandangan.
Namun saat menutup pintu kamar “Astaghfirullah hal’adzim!” serunya kaget, karena Rayyan sudah berdiri di hadapannya.
"K-Kak Rayyan? Lagi ngapain di sini?" tanyanya gugup, jarak mereka terlalu dekat.
Rayyan tak menjawab, justru balik bertanya, "Dari tadi ngobrol apa aja sama teman kamu?"
"Biasa aja kok. Gak ngomongin apa-apa yang aneh-aneh," jawab Nayla canggung.
Rayyan menatapnya lama, tersenyum miring. Lalu ia pergi meninggalkan kamar begitu saja, sementara Nayla terduduk lemas.
“Tatapan Kak Rayyan bikin deg-degan!” gerutunya, lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi.
Hari-hari berikutnya berjalan lancar. Nayla rajin belajar dan suasana rumah tenang. Orang tua Rayyan sudah kembali ke rumah mereka, membuat Rayyan tidur di kamarnya sendiri tapi Nayla justru merasa sepi.
Di sekolah, sejak kejadian di halaman belakang, Nayla tidak lagi melihat Dafa. Ia penasaran tapi menahan diri.
"Nayla Zahira Aditama ?" panggil Bu Ike guru biologi.
"Iya Bu?"
"Tolong ambilkan buku paket di kelas XII IPA 2."
Nayla menelan ludah. Itu kelas Dafa.
"Nayla Zahira Aditama ?" ulang Bu Ike.
"Iya Bu," jawabnya, lalu bangkit.
Tania sempat menahan tangannya, "Mau gue temenin?"
"Gak Nia. Gue bisa," sahut Nayla, lalu pergi.
Di depan kelas XII IPA 2, jantungnya berdebar. Ia mengetuk pintu dan disambut guru di dalam.
"Saya disuruh Bu Ike ngambil buku Pak."
"Silakan. Tapi bisa bawa sendirian?"
Nayla melihat tumpukan buku dan menggeleng pelan.
"Dafa bantu Nayla Zahira Aditama bawakan buku ini, ya."
Deg!
Nayla mendadak kaku. Kursi bergeser, langkah kaki mendekat.
"Ayo Nayla ," suara Dafa menyadarkannya.
Nayla mengangguk dan mengikuti Dafa keluar kelas.
Dafa berjalan lebih dulu, tapi lalu melambatkan langkah agar sejajar dengan Nayla.
"Maaf ya Nayla," katanya pelan.
"Maaf buat apa?"
"Atas kejadian waktu itu. Aku cuma takut kehilangan kamu."
Nayla terdiam. Ia mengingat kejadian di mana Dafa memeluk dan mencium dirinya secara tiba-tiba.
"Udahlah Daf. Aku udah lupakan semua itu," jawab Nayla. Ia tak mau terbebani rasa bersalah pada Rayyan.
Hening sejenak.
"Nay," panggil Dafa tiba-tiba.
Nayla menoleh. "Apa?"
"Gak ada kesempatan buat kita balik lagi? Aku masih sayang banget sama kamu."
Nayla menggeleng. "Maaf Daf kita gak bisa."
"Aku gak bisa hidup tanpa kamu," ucap Dafa dengan mata sendu.
Nayla hendak menjawab, tapi Alika datang menghampiri.
"Nay bukunya udah ditungguin," katanya sambil ngos-ngosan.
Nayla menatap Dafa, dan Alika langsung mengambil alih buku dari tangan cowok itu.
"Makasih ya Daf. Biar gue aja yang bawa."
Saat berjalan, Alika berbisik, "Hati-hati Nay. Ada mata yang merhatiin lo."
"Siapa?" tanya Nayla bingung.
Alika hanya diam, dan Nayla mengikuti arah pandangnya Rayyan, berdiri tak jauh dari sana, menatapnya tajam.
"Mati gue," gumam Nayla dalam hati.
Di gerbang sekolah, Nayla menunggu taksi.
"Mau bareng gak Nay?" tanya Tania dari dalam mobil.
Baru mau menjawab, taksinya datang. "Makasih ya Nia. Gue naik taksi aja."
"Hati-hati!" sahut Tania dan Alika.
Nayla naik ke taksi. "Pak, mampir ke swalayan depan dulu ya."
Setelah belanja, ia kembali ke taksi dan pulang. Di depan rumah ia heran.
"Tumben Kak Rayyan belum pulang?"
Setelah masuk dan menutup pintu, tiba-tiba tangan kuat menariknya hingga belanjaannya jatuh.
"K-Kak Rayyan?" ucap Nayla terkejut.
"Kamu dari mana? Sama Dafa ya?"
"Apa sih? Aku baru dari swalayan!"
Nayla jongkok memunguti belanjaan, tapi Rayyan menarik tangannya, menyeretnya naik tangga, meninggalkan barang-barangnya.
"Kak Rayyan kenapa sih?!"
Rayyan tak menjawab, terus menyeretnya hingga masuk ke kamarnya, lalu mengunci pintu.
"A-apa maksud Kakak?" tanya Nayla takut, melihat Rayyan mulai melepas dasi dan kancing atas kemejanya.
Rayyan mendekat, menggenggam kedua lengannya dengan kuat.
"Kamu keras kepala. Jadi jangan salahkan aku kalau aku bersikap seperti ini!"
"Aku bisa teriak!"
"Teriak aja gak ada yang denger. Ini kamar kedap suara," balas Rayyan datar.
Nayla menelan ludah. "K-kak dengerin dulu..."
"Saya bilang jangan ketemu cowok itu lagi. Tapi kamu melanggar."
"Aku bisa jelaskan! Tadi itu..."
Ucapan Nayla terputus saat Rayyan mencium bibirnya dengan paksa, membuat Nayla terkejut dan merasa sangat sakit hati. Rayyan terus mendekapnya, membawa tubuh Nayla ke atas ranjang, membuat Nayla ketakutan.
"Kak Rayyan lepaskan aku dengarkan aku dulu!" isaknya.
Namun Rayyan tetap dalam kendali amarahnya, membuat Nayla hanya bisa menangis dan berusaha melawan meskipun sia-sia karena tenaga mereka tidak sebanding.