Mendapati sang kekasih berselingkuh dengan kakaknya sendiri, Seruni patah hati. Pemuda yang telah melamarnya ternyata bukanlah pangeran berkuda putih yang hadir di dalam mimpi.
Kenanga, kakak yang terpaut usia lima tahun darinya ternyata begitu tega. Entah apa yang melatarbelakangi hingga gadis yang biasa disapa Anga itu jadi kehilangan hati nurani.
Seruni kecewa, hatinya patah. Impian yang dirangkainya selama ini hancur tak bersisa. Caraka yang dicinta menghempasnya bak seonggok sampah.
Nestapa itu terasa tak berjeda. Seruni yang putus cinta kembali harus menerima perjodohan yang tadinya ditujukan untuk Kenanga. Pria dewasa dari kota yang konon katanya putra pengusaha semen ternama.
Wisely Erkana Hutomo Putra, nama yang menawan. Rupa pun tergolong tampan. Akan tetapi, apakah duda tanpa anak itu adalah jodoh yang ditakdirkan Tuhan ... untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan Yang Tak Berarti
Seruni terduduk di lantai memeluk lutut yang bertekuk. Wajah sembab, pandangan mengabur oleh cairan kristal yang terus menerus luruh menghiasi pipi. Isak terdengar sesekali, nyata dan memilukan hati. Tubuhnya lunglai tak berdaya, menatap Kenanga yang juga tengah melakukan hal serupa di atas tempat tidur.
“Kenapa, Aa?” tanya Seruni, lirih.
Kenanga diam.
“Apa tidak ada laki-laki lain lagi?” ujarnya, semakin pelan.
Menarik napas dalam, Kenanga menepuk kedua pipinya dan tersenyum getir. Memberanikan diri menatap sang adik, memberi jawaban santai. Tidak ada simpati, tanpa ada empati.
“Kamu sudah putus dengan Aa, Uni. Jangan sok tersakiti. Dia memilihku, dan menjadikanku ibu dari anak-anaknya.” Jawaban yang membuat hati Seruni kian tertumbuk.
Air mata yang sempat berhenti sejenak kini berderai lagi. Tak sanggup menyuarakan betapa luka di hati tengah menganga lebar. Andai bisa berteriak, dia ingin menyerukan semua sakit hatinya.
“Tapi, yang membuat kami putus itu kamu, Kak. Kamu yang masuk tanpa permisi ke dalam hubungan kami.”
Kenanga tak terima. “Alah, dia saja yang tidak mencintaimu. Lagipula, berkaca. Lihat dirimu dan diriku. Jauh, Uni. Bagai langit dan bumi. Laki-laki itu selalu melihat dari mata lalu turun ke hati. Bukan sebaliknya. Terima saja jodohku yang dari kota. Itu pantas untukmu, membuatmu membuka mata lebar-lebar. Aku ... memilih Aa.” Kenanga tak merasa bersalah.
Tangis Seruni kian menjadi. Bagai terjatuh lalu tertimpa tangga, dia tak mampu untuk berdiri. Kata-kata Kenanga bak cuka, menyirami lukanya yang menganga. Begitu mudahnya wanita itu menukar cinta dan perasaan. Di mata kakaknya, pernikahan seperti mainan.
“Aku masih mencintai Aa.” Isak Seruni terdengar menyayat.
“Aku hamil anak Aa.” Kenanga menegaskan.
Tak lagi terdengar bantahan, Seruni memilih menumpahkan sakit hatinya lewat deraian air mata. Ketika ketukan di pintu kamar menyapa bersama suara Sandi, dia tak sanggup mendengar.
“Nga, bersiap. Kita harus ke rumah Caraka sekarang. Bagaimanapun, masalah ini harus segera diselesaikan secepatnya. Kalian harus menikah dalam waktu dekat.”
Ucapan samar-samar dari balik pintu tertuju untuk Kenanga, tetapi seperti sembilu yang mengiris hati Seruni.
Nyeri.
Perih.
Terluka parah, gadis itu hanya mampu menikmati setiap goresan yang membuat hatinya sakit. Tak bisa dibayangkan saat janur kuning melengkung dan dia harus menyaksikan semuanya dengan bibir tersenyum.
“Aa, kamu jahat.” Kalimat terakhir sebelum Seruni memeluk diri dan merebah di lantai. Patah untuk kedua kali, sakitnya masih terasa sama.
...🍒🍒🍒
...
“Seruni?” Wisely membelalak. “Gadis titisan Siti Nurbaya itu?” Terbelalak, pria yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan menenteng jas kerja itu terpaku di dekat pintu masuk.
Tak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang tuanya yang berbincang santai di ruang tamu.
“Hmm.” Kana mengangguk. Wajahnya tampak berseri, seakan pergantian dari Kenanga ke Seruni bukan masalah besar untuknya. “Mama menyukainya.” Menyenggol lengan suaminya, wanita paruh baya itu meminta Erlang mendukung ucapannya.
“Pap ... papa juga.” Pria tua yang tengah duduk santai dengan kaki menyilang itu terbata-bata.
“Tapi, Seruni itu kampungan sekali. Aku ... aku ....”
“Itu karena dia tinggal di kampung. Kalau sudah di kota, lain cerita.” Kana menjawab cepat. “Minggu depan, kita akan ke Bandung lagi. Kamu bersiaplah,” lanjutnya.
“Ke Bandung lagi?” Pundak Wisely melemas.
“Ya. Bagaimanapun kamu harus hadir mendampingi Seruni. Kenanga menikah dan sebagai calon suami, sudah kewajibanmu, Wise. Ini juga bisa dijadikan kesempatan untukmu lebih mengenal gadis itu. Kalian akan menyusul menikah setelahnya, sebaiknya manfaatkan kesempatan ini.”
Wisely menggeleng. “Kenanga saja sudah berat untukku, sekarang Seruni.”
“Kami memintamu menikahinya, Wise. Bukan menggendongnya.”
“Mam!” seru Wisely.
“Lagi pula, Seruni lebih mungil, kamu tidak akan merasakan berat berlebih. Bayangkan aku yang sudah tua dan harus menggendong ....” Melirik ke arah Kana yang jauh lebih berisi dibandingkan saat muda. “Tenaga tuaku saja masih sanggup dengan wanita yang tiga kali Seruni, tak mungkin kamu kalah dariku.”
Ucapan yang berakhir dengan pukulan di lengan itu lenyap seketika, Kana mengirim tatapan tajam saat berat tubuhnya dipermasalahkan.
“Sudah, menikah dengan Seruni atau semua fasilitasmu kutarik kembali. Bukan masalah kampungan atau metropolitan. Itu bisa diubah. Tapi, masalah hati. Wanita cantik yang selama ini bersamamu, belum tentu secantik Seruni. Dia membuatku terkesan pada pandangan pertama.” Kana menegaskan.
Xixixi nyaman banget ya Ci di si hijau 😁..
Tapi semoga di manapun semoga sukses ya karyanya Ci...