#ruang ajaib
Cinta antara dunia tidak terpisahkan.
Ketika Xiao Kim tersedot melalui mesin cucinya ke era Dinasti kuno, ia bertemu dengan Jenderal Xian yang terluka, 'Dewa Perang' yang kejam.
Dengan berbekal sebotol antibiotik dan cermin yang menunjukkan masa depan, yang tidak sengaja dia bawa ditangannya saat itu, gadis laundry ini menjadi mata rahasia sang jenderal.
Namun, intrik di istana jauh lebih mematikan daripada medan perang. Mampukah seorang gadis dari masa depan melawan ambisi permaisuri dan bangsawan untuk mengamankan kekasihnya dan seluruh kekaisaran, sebelum Mesin Cuci Ajaib itu menariknya kembali untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Ramalan di cermin kusam
Jenderal Xian ambruk di tanah lumpur, kekejaman pertarungan dan racun kental dalam dirinya menghabiskan energi semuanya. Darah hitam seperti getah membusuk menetes dari bibirnya, dan ia berusaha menggapai Kim dengan jari-jarinya yang lemah. Kim merasa guncangan emosional—ia tidak sanggup menyaksikan Dewa Perang tumbang, meskipun tugasnya yang diseret takdir melalui portal M19 selalu ada di benak.
"Dia terlalu kotor untuk wafat sekarang," ujar Kim cepat, masih memegang cermin saku ajaib dan mencari ancaman di sekeliling kegelapan yang dipenuhi bau besi dan mayat. Tumpukan pakaian dari bilik laundrynya terlihat seperti kekonyolan, tetapi ia tidak sanggup meninggalkan Xian atau pakaian mahal yang bernoda darah. Dengan tangan yang gemetar, ia arahkan cermin itu ke titik-titik buta, bahkan tidak tahu cara menggunakannya dengan tepat—namun ia tahu cermin itu dapat menampilkan gambaran taktis.
Tiba-tiba, cermin yang sedikit pecah itu memancarkan kilau, menangkap bayangan prajurit musuh yang tersembunyi di sudut tujuh puluh derajat. Prajurit itu membawa pisau pendek, senjata bunuh diri untuk menyelesaikan pembunuhan setelah pertarungan jarak jauh selesai. Kim melihat masa depan di cermin: darah menyembur, Xian mati, dan dirinya sendirian di zaman ini—kepunahan ganda.
"Tuan, bangun! Prajurit di sisi kanan belakangmu akan menusukmu!" teriak Kim, tetapi Xian hanya mampu mengeluarkan erangan lemah dan terbenam dalam racun. Kim panik—dia tidak memiliki obat modern, hanya perlu memastikan Xian tetap hidup selama dua puluh menit lagi. Ketika prajurit musuh mendekat hingga lima meter, ia melihat barang bawaan dari Abad ke-21: jaket musim dingin tebal bermerek yang digunakan untuk melindungi kain sutra.
Dengan adrenalin tertinggi, Kim melompat melompati punggung Xian, menjerit sekuat tenaga dan melemparkan jaket angsa itu dengan presisi yang dia pelajari dari mengelola mesin cuci. Jaket yang besar dan lembap menutup pandangan prajurit secara sempurna, membuatnya tersentak dan mengayunkan pisau buta. Hanya sepersekian detik, tetapi cukup bagi Xian yang meredup—teriakan Kim dan suara jaket yang menampar kepala prajurit adalah petunjuk militer yang jelas.
Xian membuka satu matanya, memaksa tubuhnya beraksi meskipun racun menyuruhnya diam. "Engkau adalah penyelamat yang bising," desah sang jendral perang itu dengan senyuman pahit. Dengan kekuatan sisa, ia menyeret pedangnya di tanah basah, berdiri dengan kejam, dan mengayunkan pedangnya secara memutar—menusuk langsung dada musuh melalui jaket tebal itu. Prajurit musuh ambruk, dan Xian mencabut pedangnya dengan mudah, darah panas muncrat di zirahnya.
Ia berbalik lambat, seperti robot tua yang kehabisan baterai, dan melihat Kim yang memegang cermin saku ajaib. Suaranya kembali normal tetapi hampir hilang, dan ia mencengkeram lengan Kim dengan lembut. "Mengapa engkau rela melindungi nyawa orang asing?" tanya Xian, kepalanya berat. "Karena Tuan berlumuran darah—sangat sulit dicuci, dan Tuan pantas terlihat gagah perkasa," jawab Kim polos.
Xian menyentakkan lengannya, memeluk Kim sebentar, lalu tersenyum penuh ketidakpercayaan. "Terima kasih atas 'Gangguan Bulu' yang berhasil," ujarnya, sebelum kesadarannya direnggut habis. Tubuhnya yang berat dengan zirah dan pedang menghantam tanah dengan suara dengung keras, jatuh tak sadarkan diri di pangkuan Kim.
Kim mendengar derap langkah kuda dan jeritan bahasa kuno dari kejauhan—bantuan Xian telah tiba. Namun, seorang prajurit musuh yang masih hidup mendekat dengan tombak berkarat, matanya membara nafsu balas dendam. Kim meraung ketakutan, mengeluarkan botol pelembut kain vanilla dari saku dan menekan tutupnya. Prajurit itu berhenti, tertarik pada bau manis, sementara derap langkah pasokan Xian semakin dekat.
Di detik prajurit itu mengayunkan tombak, Kim membungkuk di atas tubuh Xian—menjadikannya perisai. Tiba-tiba, jeritan prajurit Xian terdengar: "Komandan Xian!" Beberapa prajurit dengan obor menerangi lokasi pertempuran. Prajurit musuh melihat pasokan itu, melempar tombaknya secara liar yang melukai paha Xian, lalu melarikan diri ke hutan.
Para prajurit utama, termasuk Letnan He yang muda dan tangguh, segera melompat ke hadapan Kim dan Xian. Pandangannya tertuju pada Kim dengan syak wasangka. "Apa yang engkau perbuat terhadap Komandan kami?" teriaknya, menghunus pedangnya ke leher Kim yang panik. "Dia diracun, aku menyelamatkannya," jawab Kim kaku.
He mendelik pakaian modern Kim dan meraba luka racun Xian yang parah. "Aku berkata engkau telah membunuhnya!" teriaknya, memanggil prajurit untuk menarik Kim. Namun, Xian yang hampir koma merasakan sentakan itu—ia mengeluarkan raungan lemah dan menggerakkan satu jari, menancapkannya di bahu He dengan instruksi nonverbal yang kuat. Jari Xian kemudian menunjuk lurus ke arah Kim.
"Dia. Akan. Menyembuhkan," desis Xian dengan usaha monumental, sebelum kesadarannya lenyap sepenuhnya. He bingung—perintah Jenderal itu mutlak, meskipun logikanya memberontak. Kim mengulurkan tangan ke tas selempang, menunjukkan stetoskop kecil dan sekotak pil pereda nyeri. "Saya memiliki obat," katanya pelan, meskipun tahu itu hanya parasetamol dan tidak cukup kuat.
He tidak percaya, tetapi takut kehilangan Xian. "Bawa Komandan ke kemah! Kita butuh tenda pengobatan darurat!" perintahnya. Para prajurit membawa tubuh besar Xian di atas kain, dan He kembali menatap Kim. "Kau wajib menyembuhkannya! Apabila Komandan mati, kepalamu akan terpenggal!"
Di kemah, Xian diletakkan di atas tikar kotor. He menghunus pedang lagi ke leher Kim. "Tunjukkan obat manjurmu sekarang!" teriaknya. Kim menyadari racun akan mencapai hati Xian jika tidak segera diobati—dia butuh antibiotik kuat dari dunianya. "Saya butuh perlengkapan dari duniaku. Berikan saya sepuluh menit!" pinta dia, tetapi He menolak.
Dengan tekanan waktu, Kim mengambil sehelai kemeja Abad 21, menggenggamnya kuat. Cermin saku ajaibnya bereaksi dengan cahaya biru pucat, dan pusaran energi muncul dari tumpukan cucian—ia terasa tersedot masuk, menghilang secepat datang. He terperangah, melihat botol pelembut kain vanilla jatuh di kaki Xian sebagai bukti sihir.
Tetapi hanya sepersekian detik kemudian, pusaran energi hijau pucat muncul, dan Kim kembali dengan tangan penuh botol kapsul, jarum, dan air steril. He membelalak, tidak mampu memahami apakah itu realitas atau kegilaan. Kim bergegas di sisi Xian, menyuntikkan antibiotik level A ke pembuluh darahnya dengan tatapan terfokus. "Tuan, minggir! Aku butuh dua menit!" bisiknya.
He mundur, tetapi pandangannya tetap mematuhi. Saat Kim memasukkan pil ke bibir Xian, He mendengus. "Apabila dia tidak bangun sekarang, kau gagal!" teriaknya, memutar pedang ke udara. Tetapi tepat pada saat itu, Xian batuk keras, dan tangannya yang dingin mencengkeram erat lengan He—gerakan naluriah meskipun ia belum siuman.
He terkejut, dan Kim memanfaatkan kebingungan itu untuk berlari mundur. "Saya belum tuntas! Jangan mengganggu!" teriaknya. Ia mencoba menggunakan cermin untuk mengecek suhu inti Xian, tetapi cerminnya tidak bekerja—hanya menunjukkan masa depan He: melihat mayat Xian, menangis, menyalahkan dirinya, dan diasingkan karena melanggar perintah.
Kim merasa takut, lalu berkata pada He: "Anda adalah perwira hebat! Racunnya membutuhkan waktu semalam penuh. Beri dia pertolongan untuk kehidupan dan kepatuhanmu!" He membeku, lalu mendengar berita bahwa musuh sedang mundur tetapi mencuri harta di Utara. "Aku biarkanmu semalam! Tetapi jika Komandan tidak pulih, kau mati bersamanya!" bentak dia, memerintahkan prajurit untuk mengawal Kim.
Malam tiba, Xian masih pucat dan bernapas pelan. Kim hanya memiliki parasetamol dan sisa bubuk deterjen—dia butuh antibiotik lebih kuat dan harus menyelinap dari pengawasan. Dia berkata pada prajurit bahwa Xian butuh kehangatan, mencoba menipu mereka agar bisa kembali ke mesin cuci. Saat prajurit dan He mulai lelah, Kim merasakan tarikan dimensi dari tumpukan cucian.
Sebuah garis vertikal berwarna biru lembut muncul di tepi kain—portal terbuka. Kim menggulingkan dirinya perlahan, memasukkan lengan kanannya ke dalam pusaran kain untuk mencari tas perlengkapan. Hanya saja, He tiba-tiba membalikkan badan dan batuk, hampir menghadap ke arah kain cucian. Kim membeku, wajahnya terbenam penuh dalam material sintetik Abad ke-21 yang dingin.