Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjodohan Yang Masih Terasa Asing
Aku sering bertanya dalam hati, sejak kapan sebenarnya aku dan Ardi menjadi begitu asing. Padahal kami tinggal di bawah atap yang sama, berbagi satu kamar, bahkan satu ranjang. Tapi rasanya seperti dua orang yang hanya kebetulan pulang ke alamat yang sama.
Pagi itu, aku bangun lebih dulu dari biasanya. Ardi masih terlelap di sisiku, punggungnya menghadap ke arahku. Aku menatapnya lama, mencari sosok laki-laki yang dulu berdiri kaku di pelaminan bersamaku itu laki-laki yang kupanggil suamiku karena perjodohan, bukan karena cinta.
Kupikir waktu akan menumbuhkan rasa itu. Ternyata tidak semudah itu.
Aku berjalan ke dapur, membuatkan sarapan seperti biasa. Nasi goreng, telur mata sapi, dan segelas teh hangat. Dulu, Ardi selalu mengomentari masakanku kadang terlalu asin, kadang terlalu pedas. Sekarang? Ia makan dalam diam, bahkan sering tanpa menyentuhnya sama sekali.
Saat ia keluar kamar, aku mencoba tersenyum.
“Mas, sarapannya sudah siap.”
“Iya,” jawabnya singkat.
Ia duduk, makan beberapa suap, lalu berdiri lagi. Terlalu cepat.
“Kamu nggak habis?” tanyaku pelan.
“Nanti aja laparnya,” katanya sambil mengambil kunci mobil.
Aku mengangguk. Lagi-lagi mengangguk.
Pintu tertutup, meninggalkan aku dan piring yang isinya nyaris tak tersentuh.
Aku tahu, sejak awal hubungan kami memang tidak pernah berjalan seperti pasangan pada umumnya. Kami menikah karena dorongan orang tua, bukan karena perasaan. Aku yang Pisces, penuh perasaan dan sering memendam. Ardi yang Aries, keras, lugas, dan terbiasa memutuskan segala sesuatu dengan kepala, bukan dengan hati.
Kami seperti dua kutub yang sejak awal sudah saling bertabrakan.
Dulu aku berpikir, perbedaan itu bisa saling melengkapi. Aku yang terlalu lembut, dia yang terlalu tegas. Tapi kenyataannya, perbedaan itu justru seperti tembok yang perlahan tumbuh di antara kami.
Siang itu, aku pulang ke rumah orang tuaku. Ibu sejak pernikahan keduanya jarang menelpon, tapi hari ini ia tiba-tiba mengirim pesan agar aku datang. Aku pun menuruti, meski hati terasa berat.
Di rumah, Ibu menyambutku dengan senyum yang terasa dipaksakan. Rumah itu kini terasa lebih asing dari sebelumnya. Tidak ada Ayah. Tidak ada suasana ramai seperti dulu.
“Kamu kelihatan capek,” kata Ibu sambil menuangkan teh.
Aku tersenyum kecil. “Sedikit.”
Ibu menatapku lama. Seolah ingin bertanya banyak hal, tapi ia memilih diam. Aku tahu tatapan itu tatapan seorang ibu yang pernah mengalami luka yang sama.
“Kamu baik-baik saja dengan Ardi?” akhirnya Ibu bertanya pelan.
Pertanyaan itu membuat dadaku sesak.
“Baik,” jawabku, meski suaraku nyaris tak terdengar.
Ibu tidak membantah. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menggenggam tanganku. Hangat, seperti dulu. Untuk sesaat, aku hampir menangis di hadapannya.
Saat aku pulang, hari sudah menjelang senja. Ardi sudah ada di rumah. Ia duduk di ruang tamu sambil menatap ponselnya. Aku berdiri di ambang pintu, ragu untuk menyapa.
“Aku pulang,” kataku akhirnya.
“Iya,” jawabnya singkat.
Aku melewati ruang tamu menuju kamar, menaruh tas, lalu kembali ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Di tengah aktivitas itu, dadaku terasa makin berat.
Kami makan malam bersama dalam diam.
Sendok dan piring lebih sering berbunyi daripada suara kami.
“Aku tadi ke rumah Ibu,” akhirnya aku membuka percakapan.
“Hmm,” jawabnya, tanpa menoleh.
“Ibu terlihat senang lihat aku datang.”
“Iya.”
Aku menggigit bibir. “Mas nggak mau ikut sesekali?”
Ardi berhenti makan. Menatapku sebentar, lalu kembali menunduk. “Nanti aja.”
Jawaban itu terasa seperti dinding.
Aku ingin bertanya: kapan nanti itu datang...?
Tapi aku terlalu lelah untuk berdebat.
Malam itu, aku menangis diam-diam di kamar mandi. Air kran kubiarkan mengalir agar isakku tidak terdengar. Aku memeluk perutku sendiri, mencoba menenangkan diriku yang semakin hancur karena rasa tak dimiliki.
Aku ini istrinya… tapi mengapa rasanya seperti orang asing? Dan di sanalah aku mulai benar-benar menyadari perjodohan memang menyatukan kami di atas kertas, tapi hatiku dan hatinya masih berjalan di jarak yang berbeda.
Malam semakin larut. Aku masih terjaga, menatap langit-langit kamar yang gelap. Di sampingku, Ardi sudah memejamkan mata sejak satu jam yang lalu. Punggungnya kembali membelakangiku. Posisi yang entah sejak kapan menjadi kebiasaan kami.
Aku ingin berbicara... Tentang aku... Tentang kami.... Tentang jarak yang makin terasa menyakitkan... Tapi setiap kali kata-kata itu sampai di tenggorokan, selalu tertahan. Takut salah bicara. Takut dianggap menuntut. Takut hanya akan menambah jarak yang sudah terlalu jauh.
“Aku capek, Mas…” bisikku pelan, meski tahu ia tak akan menjawab.
Air mataku kembali jatuh perlahan, membasahi bantal. Aku tidak menangis terisak. Hanya membiarkan sunyi itu menggerogoti dadaku.
Kami pernah mencoba berbicara.
Dua bulan lalu, saat pertengkaran kecil berubah menjadi senyap panjang.
“Aku ngerasa kamu jauh,” kataku saat itu.
“Jauh gimana?” jawab Ardi cepat.
“Kita jarang ngobrol… kita kayak tinggal bareng, tapi nggak hidup bareng.”
Ardi terdiam, lalu menghela napas panjang. “Aku nggak ngerti harus gimana lagi.”
Jawaban itu sampai sekarang masih terngiang.
Bagiku, kata-katanya seperti penutup pintu. Seolah kami benar-benar berada di dua dunia yang berbeda, meski berjalan di lantai yang sama.
Pagi berikutnya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Kepalaku berat karena kurang tidur. Mataku sembap, tapi tidak ada waktu untuk menangisi itu. Aku harus tetap menjalani hari.
Ardi bersiap berangkat kerja seperti biasa. Aku membantunya menyetrika kemeja, meski hatiku terasa kosong.
“Kamu masih mau ke rumah Ibu hari ini?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terkejut. “Mungkin… iya.”
Ia mengangguk. “Jangan terlalu malam.”
Nada suaranya datar. Bukan perhatian, tapi lebih seperti perintah biasa.
Aku hanya menjawab, “Iya.”
Saat Ardi pergi, aku duduk lama di ruang tamu. Sepi. Hening. Dan sunyi yang terasa menyesakkan.
Di kepalaku, wajah Ibu terus berputar. Tentang pernikahan keduanya. Tentang kebahagiaan yang kelihatan utuh di luar, tapi kosong di dalam. Aku takut… jangan-jangan aku sedang mengulang cerita yang sama.
Sore itu, aku kembali ke rumah orang tuaku. Laras sedang duduk di teras, perutnya yang besar membuat gerakannya terbatas. Ia tersenyum saat melihatku datang.
“Kak Alya,” sapanya pelan.
Aku langsung menghampirinya. “Kamu kenapa duduk di luar? Anginnya dingin.”
“Nggak apa-apa. Lagi pengap di dalam,” jawabnya sambil mengelus perutnya.
Aku duduk di sampingnya. Untuk sesaat, kami hanya diam.
“Kak,” Laras tiba-tiba menatapku, “menikah itu… memang sesepi itu ya?”
Pertanyaan itu membuat napasku tertahan.
“Kok kamu bisa kepikiran begitu?”
Laras menunduk. “Aku sering lihat Kakak kelihatan capek. Kayak… sendiri.”
Dadaku terasa ditimpa beban berat. Bahkan adikku bisa melihatnya.
“Menikah itu nggak selalu gampang,” jawabku akhirnya. “Kadang, kita harus berusaha keras supaya tetap saling menggenggam.”
“Tapi kalau yang satunya nggak mau menggenggam?” tanya Laras pelan.
Aku tak langsung menjawab. Karena aku pun masih mencari jawabannya.
Malam itu saat aku pulang, Ardi sudah ada di rumah. Ia sedang duduk di sofa, menonton televisi tanpa benar-benar menyimak. Aku menggantungkan tas, lalu duduk tak jauh darinya.
“Mas,” kataku pelan.
“Iya?”
“Kita… bisa ngobrol sebentar?”
Ia menoleh. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap menatapku. “Ngobrol apa?”
Aku menarik napas dalam. “Tentang kita.” Hening. Beberapa detik terasa seperti menit.
“Kamu ngerasa kita baik-baik aja?” tanyaku lagi.
Ardi menghela napas. “Aku pikir… kita jalani aja dulu.”
Jawaban itu membuat hatiku bergetar.
“Menjalani saja sampai kapan, Mas?” tanyaku dengan suara bergetar.
Ardi terdiam lama. Lalu berkata pelan, “Aku juga masih belajar.”
Kalimat itu seharusnya menenangkan. Tapi entah kenapa, justru membuatku semakin lelah.
Aku mengangguk pelan. Tidak ada lagi yang bisa kuucapkan.
Malam itu kami kembali tidur membelakangi satu sama lain. Dan di dalam gelap, aku kembali bertanya pada diriku sendiri apakah perjodohan ini akan benar-benar berubah menjadi cinta, atau aku hanya sedang bertahan dalam hubungan yang terasa asing selamanya...?