Kisah menakjubkan tentang perpindahan Jiwa seorang Ratu Mafia ke dalam Tubuh seorang Gadis Cupu yang diabaikan dan direndahkan oleh keluarganya.
Gadis Cupu itu terus-menerus dianggap tidak berarti oleh keluarganya.
Namun semua hinaan dan pandangan meremehkan itu tak pernah mempu mematahkan semangat nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrinsesAna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Semua orang yang berada di ruang tamu masih sibuk membicarakan dan mempertanyakan perubahan drastis pada Ara, gadis yang sebelumnya terkenal cupu dan dekil.
Sementara itu, Ara telah sampai di kamarnya, diantar oleh Bi Ina.
Kamarnya tidak terlalu buruk, cukup mencerminkan selera dan kepribadian Alea.
"Hmm, ternyata selera kita sama ya, Ra," monolog Alea sembari memperhatikan kamar Ara yang kini menjadi tempat ia berdiam.
Ara merebahkan dirinya di atas kasur king size miliknya.
"Kayaknya gue mending tidur dulu deh. Badan gue cepet banget capeknya, heran deh," gumam Ara, lalu memejamkan matanya untuk beristirahat.
Di alam bawah sadar Alea, ia tanpa sengaja bertemu dengan jiwa asli Ara.
"Gue di mana ini?" tanya Alea sambil mengamati sekeliling. Tempat itu begitu indah, penuh dengan bunga-bunga, dan suasananya sangat menenangkan.
"Jangan-jangan gue mati lagi... Padahal tadi rasanya gue cuma tidur siang," gumam Alea, terus memperhatikan suasana di tempat itu dengan rasa bingung dan tak percaya.
"Kak Alea," panggil seorang gadis cantik yang mengenakan baju berwarna putih sambil menebar senyumannya yang memikat.
"Lho, lu siapa? Kok tau nama gue? Eh, tunggu... lu Ara, kan?" tanya Alea pada gadis yang sedang duduk di sebelahnya.
"Iya, Kak. Aku Ara," jawab gadis itu sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Kenapa lu baru muncul sekarang, Ra? Gue udah kayak orang bodoh, nggak ngerti apa-apa," omel Alea, melampiaskan kekesalannya.
Ara hanya tertawa pelan, lalu menjawab, "Kenapa ya, Kak? Hmm, aku juga nggak tau, hehehe..."
Namun setelah itu, ekspresi Ara berubah menjadi serius.
"Kak Alea, boleh nggak aku minta bantuan Kakak?" tanya Ara dengan nada penuh harap.
"Lu mau minta bantuan apa, Ra? Gue aja masih bingung kenapa bisa nyasar di tubuh lu. Bukannya gue udah mati," ujar Alea sambil mengutarakan kegelisahannya.
"Aku juga nggak tau, Kak. Tapi cuma Kakak yang bisa bantu aku," jawab Ara pelan.
"Lu mau gue bantu apa, Ra?" tanya Alea yang mulai menunjukkan keseriusannya.
"Aku mau Kakak balas dendam sama orang-orang yang udah ngebully aku di sekolah, Kak. Aku juga mau Kakak balas semua rasa sakit yang selama ini aku rasain," jawab Ara dengan suara bergetar, mulai menangis.
"Dan juga... aku mau Kakak balas perbuatan adik tiriku. Dia selalu nyakitin aku. Gara-gara dia juga, orang tuaku benci sama aku, Kak. Hiks... Dia ngerebut semua kasih sayang mereka dan abang-abangku. Aku mohon, Kak... balas semua rasa sakit aku," lanjutnya sambil tertunduk sedih.
"Apa yang bakal gue dapet kalau bantu lu, Ra?" tanya Alea dingin.
"Aku bakal kasih tubuhku ini buat Kakak sepenuhnya. Jiwa aku udah mati, kan? Sedangkan jiwa Kakak masih hidup. Cuma raga Kakak aja yang udah nggak ada," kata Ara sambil menatapnya serius.
"Oke. Gue bakal bantu balas semuanya, Ra. Tapi lu harus ingat, gimana pun cara gue melakukannya, lu nggak boleh marah," ujar Alea dengan tegas.
"Iya, Kak. Terserah Kakak aja. Aku serahin semuanya ke Kakak. Tapi aku mohon, jangan sakitin keluarga aku, ya, Kak. Biar aja mereka nyesel sama perbuatannya," jawab Ara dengan mata penuh harap.
"Oke, gue bakal bantu lu," sahut Alea mantap.
"Oh iya, Kak. Aku juga mau bilang sesuatu biar Kakak nggak ribet nanti. Aku punya perusahaan sendiri, namanya AL Group. Itu perusahaan yang aku bangun sendiri, dan nggak ada yang tahu kalau aku pemiliknya. Nanti Kakak bisa hubungi sekretaris sekaligus orang kepercayaanku, namanya Kak Dewi," jelas Ara panjang lebar.
"Oke... terus gimana cara gue balik?" tanya Alea sambil mengerutkan kening.
"Kakak tutup mata aja. Setelah itu, Kakak akan kembali ke tubuhku, dan aku akan kasih semua ingatanku ke Kakak," jawab Ara.
Alea pun segera menutup matanya, dan seketika ia terbangun kembali dalam kamar Ara.
Tok tok tok.
"Non Ara, bangun, Non. Waktunya makan malam," panggil Bi Ina dari luar kamar Ara.
"Iya, Bi," jawab Ara sambil segera beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka setelah tidur siang.
Setelah selesai mencuci muka, Ara berganti pakaian menjadi piyama bergambar beruang yang membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Pipinya yang chubby dan matanya yang bulat nan indah menambah pesona manisnya.
Ara segera turun ke ruang makan untuk bergabung dalam makan malam.
Tap tap tap tap.
Sesampainya di ruang makan, Ara langsung mengambil tempat di kursi kosong tanpa peduli dengan tatapan semua orang di meja makan yang tertuju padanya.
Di meja itu, seluruh anggota keluarga sudah berkumpul, termasuk Ayah dan Bunda Ara. Namun, Ara tetap cuek terhadap pandangan mereka dan lebih memilih menyendok makanan karena perutnya yang sangat lapar.
"Dek, kok kamu imut banget sih," pikir si kembar dalam hati sambil melirik Ara.
"Putriku terlihat cantik dan menggemaskan," gumam Ayah dalam hati.
"Anakku betul-betul lucu dan manis," monolog Bunda di dalam hatinya sambil tersenyum kecil.
Berbeda dengan yang lain, Vania memperhatikan Ara dengan sorot mata tajam.
"Sialan! Udah berani banget bikin semua orang memperhatikan dia," batinnya dengan amarah yang ia tahan, menggenggam erat tangannya di bawah meja.
Makan malam berlangsung dalam keheningan. Beberapa menit kemudian, Ara selesai makan dan langsung berdiri untuk kembali ke kamarnya. Saat langkahnya hampir menuju tangga, sebuah suara menghentikannya.
"Mau ke mana kamu?" tanya Ayah datar, membuat seluruh perhatian kembali tertuju pada mereka berdua.
"Saya mau ke kamar," jawab Ara dengan nada dingin yang tak kalah datar dari Ayahnya.
Deg.
Semua orang terkejut mendengar perubahan sikap Ara yang drastis. Biasanya, ia akan melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian mereka, namun kini kesan dingin begitu kentara dalam caranya bersikap.
"Kalau tidak ada lagi, saya permisi ke kamar dulu, Tuan," lanjut Ara sambil melangkah menaiki tangga menuju kamarnya.
Tatapan semua orang terpaku pada punggung Ara yang semakin menjauh. Sekali lagi, mereka terhenyak ketika mendengar Ara menyebut Ayah sebagai "Tuan" alih-alih "Ayah." Gadis yang biasanya begitu manja pada Ayahnya kini bersikap berbeda, seolah tak ingin diperhatikan lagi.
Ayah hanya bisa menatap putrinya yang menghilang dari pandangan dengan sorot mata sendu dan penuh pertanyaan.
"Ayah, Kak Ara kenapa sih?" tanya Vania dengan gaya berpura-pura polos yang selama ini sudah sangat dikuasainya.
"Ah, sudah lah, Nak. Biarkan saja dia. Kamu lanjut makan lagi, ya, Sayang," jawab Ayah lembut sambil mencoba mengalihkan perhatian Vania.
"Iya, Sayang, lanjut makan lagi, ya," timpal Bunda sambil mengelus lembut rambut Vania, tak ingin suasana menjadi lebih tegang.
"Nggak usah dipikirin anak yang nggak tahu diri itu, Dek," ujar Arga dengan nada ketus dan tatapan benci tertuju ke arah kamar Ara.
"Iya, Yah, Bun, Abang," jawab Vania dengan raut wajah sok polosnya yang membuat semua orang kembali memfokuskan perhatian padanya.
Mereka semua melanjutkan makan, sementara Ara, begitu sampai di kamar, langsung mencari ponsel milik pemilik tubuh itu.
"Akhirnya ketemu juga," gumam Ara sambil segera memeriksa ponsel tersebut.
Alea benar-benar tidak menyangka kalau si Ara sering mengirim pesan kepada kontak bernama Gavin, bahkan menggunakan stiker bergambar hati.
Namun, satu pun pesan yang dikirim Ara tidak pernah dibalas—bahkan dilihat pun tidak. Di galeri foto, terlihat banyak sekali foto seorang pria bernama Gavin.
Merasa muak, Alea segera menghapus semua yang berhubungan dengan Gavin di ponsel itu. Setelah selesai, Alea langsung menelepon sekretaris Ara.
"Halo, selamat malam, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang sekretaris yang bernama Dewi.
"Tolong belikan saya motor sport, dan besok pagi harus sudah ada," sahut Ara dengan suara datar dan dingin.
"Baik, Nona. Besok pagi motor yang Anda minta akan diantar ke mansion Anda," jawab Dewi dengan penuh penghormatan.
"Hm," balas Ara singkat sambil langsung memutuskan panggilan telepon.
Ara kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur, berniat segera tidur karena esok harinya ia harus pergi ke sekolah. Esok adalah awal rencananya untuk membalas semua yang terjadi di sekolah.
Ia memejamkan matanya dan perlahan tenggelam ke dalam alam mimpi.