Vandra tidak menyangka kalau perselingkuhannya dengan Erika diketahui oleh Alya, istrinya.
Luka hati yang dalam dirasakan oleh Alya sampai mengucapakan kata-kata yang tidak pernah keluar dari mulutnya selama ini.
"Doa orang yang terzalimi pasti akan dikabulkan oleh Allah di dunia ini. Cepat atau lambat."
Vandra tidak menyangka kalau doa Alya untuknya sebelum perpisahan itu terkabul satu persatu.
Doa apakah yang diucapkan oleh Alya untuk Vandra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Keluar dari sini, Vandra,” suara Pak Erwin serak namun tegas. “Kamu sudah membuat keluarga ini hancur. Istriku sampai kena stroke karena malu menanggung perbuatanmu dengan Erika. Apa kamu tidak merasa bersalah sedikit pun?”
Vandra menunduk, keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Ia ingin menjawab, tetapi suaranya tercekat. Yang terdengar hanyalah helaan napas berat, tanda ia sendiri tak mampu membantah.
“Papa, jangan salahkan Mas Vandra,” potong Erika cepat. Ia maju setengah langkah, berusaha berdiri di antara ayahnya dan Vandra. “Aku sudah bilang, semua ini pilihanku. Mas Vandra juga korban. Dia hanya ingin bahagia.”
“Bahagia?!” Suara Pak Erwin meninggi, membuat beberapa perawat di luar menoleh. “Apa kalian menyebut ini bahagia? Ibumu sekarat di ranjang, orang-orang menertawakan keluarga kita, nama baik kita hancur. Lalu, kau bilang ini bahagia, Erika?”
Erika terdiam, bibirnya bergetar. Namun, egonya menolak runtuh. Dia hanya menunduk, memeluk lengan Vandra semakin erat.
Pak Erwin mendekat ke arah Vandra. Tatapannya menusuk, rahangnya mengeras.
“Aku hanya akan katakan sekali, Vandra. Jika kamu masih punya harga diri, lepaskan anakku sekarang juga. Pergilah, dan jangan pernah kembali. Kalau tidak…” Ia berhenti sebentar, suaranya semakin dingin, “…aku yang akan pastikan kamu menyesal seumur hidup.”
Ruangan itu hening. Hanya suara mesin infus berdetik perlahan yang terdengar. Erika menoleh dengan wajah panik.
“Tidak, Papa! Mas Vandra enggak boleh pergi. Aku butuh dia. Jangan pisahkan kami.”
“Diam, Erika!” bentak Pak Erwin. “Kamu sudah membuat cukup banyak aib. Sekarang dengarkan ucapan papamu ini!”
Erika menangis, memegangi tangan Vandra sekuat tenaga, seolah takut pria itu akan menghilang begitu saja. “Mas, jangan dengarkan Papa. Aku hanya punya kamu. Jangan tinggalkan aku!”
Vandra merasa tubuhnya seperti ditarik ke dua arah. Hatinya diliputi rasa bersalah yang menggunung. Tatapan penuh benci dari Pak Erwin menusuk ulu hatinya, sementara genggaman Erika yang penuh ketakutan membuatnya tidak tega.
Dalam benaknya, wajah Alya muncul lagi. Wajah istrinya yang lembut, dengan mata berkaca-kaca saat berkata, “Aku sudah tidak sudi lagi bersama dengan kamu, Mas.” Kenangan itu seperti palu yang menghantam jantungnya.
“Aku ....” Vandra akhirnya membuka suara, suaranya serak. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku sudah kehilangan segalanya. Alya menutup pintu untukku, anak-anakku membenciku, dan sekarang ... Mama sakit karena aku.”
Pak Erwin mendengus, nadanya penuh sinis. “Kalau kau sadar sudah kehilangan segalanya, kenapa masih bertahan di sini? Kenapa tidak pergi saja, biarkan anakku kembali waras?”
“Aku tidak bisa, Pak!” Suara Vandra lirih. “Aku sudah terlanjur mencintai Erika. Kalau aku pergi, dia akan hancur.”
“Cukup!” Pak Rasyid menepuk meja samping ranjang dengan keras, membuat botol air mineral hampir jatuh.
“Kamu sudah cukup menghancurkan orang lain. Jangan tambah dengan mengorbankan anakku! Jika benar kamu lelaki, buktikan dengan tanggung jawab, bukan dengan merampas!” lanjut pria paruh baya itu penuh emosi.
Erika tersedu, wajahnya memerah karena menangis. “Papa, aku yang memilih! Jangan salahkan Mas Vandra terus!”
Pak Erwin menutup mata atas kelakuan putrinya. Dia menahan emosi sampai urat di lehernya menegang. Jelas sekali betapa besar amarah yang sedang dia pendam.
Dengan suara bergetar Pak Erwin berkata, “Aku akan beri waktu satu minggu, Vandra. Satu minggu untuk kau pikirkan: pergi dengan kepala tegak, atau bertahan dan melihat keluargamu serta keluarga kami semakin hancur.”
Kata-kata itu menggantung di udara, seperti vonis yang tak bisa ditawar.
Vandra berdiri terpaku, napasnya memburu. Erika memeluknya dari samping, tangannya gemetar.
“Mas, jangan pergi … kumohon, jangan biarkan aku sendirian!”
Pak Erwin berbalik, menatap jendela agar emosinya tidak meledak. Namun, dari rahang yang masih mengeras, terlihat jelas ia tidak main-main dengan ancamannya.
Ruangan itu berubah menjadi medan perang sunyi antara cinta yang buta, doa-doa yang terluka, dan ultimatum seorang ayah yang sudah muak melihat anaknya dipermainkan oleh nasib.
Lorong rumah sakit itu semakin ramai. Aroma obat-obatan bercampur dengan bau antiseptik menusuk hidung. Di kursi tunggu, Vandra dan Erika duduk berhadapan dengan wajah tegang. Pak Erwin hanya mengawasi dengan tatapan tajam, tak ikut campur, meski jelas terlihat ia menahan emosi.
Erika makan siang dengan begitu lahap seperti orang kelaparan yang sudah beberapa hari tidak makan. Ditambah emosinya yang meledak-ledak sejak pagi.
"Kamu tidak makan, Mas?" tanya Erika.
"Tidak. Tadi, uangnya tidak cukup kalau beli dua porsi," jawab Vandra.
"Memangnya kamu tidak punya uang?" tanya Erika merasa heran.
"Bukannya semua uang di kartu aku sudah kamu habiskan buat beli tas, make up, dan jalan-jalan," jawab Vandra.
"Memangnya gajian bulan ini sudah habis semua, tak bersisa?" tanya wanita itu lagi dengan heran.
"Pas gajian kamu minta aku buat bayar tas mahal yang limited edition. Itu juga enggak cukup pakai uang gaji aku, sampai uang tabungan aku terkuras habis," jawab Vandra terdengar frustrasi.
Awal bulan ini Erika membeli tas seharga 80 juta. Tentu saja gaji Vandra tidak sampai sebesar itu. Uang tabungan ratusan juta yang biasanya ngendap selama bertahun-tahun, dalam waktu enam bulan sudah habis semua.
"Bukannya kamu punya banyak aset kekayaan?" Mata Erika berbinar.
"Aset kekayaan apa? Semua harta kekayaan selama pernikahanku dengan Alya sudah menjadi miliknya. Itu perjanjian yang kita buat dahulu, sebelum kita menikah," balas Vandra.
"Perjanjian pranikah?!" Erika tiba-tiba ingat dengan hal yang dibicarakan, kemarin.
"Iya. Jika salah satu dari kita ada yang berselingkuh, maka harus pergi tanpa membawa apa pun."
"Aku tidak percaya kau sebodoh ini, Vandra!" Suara Erika meninggi, menembus kesunyian. "Kau tahu, kan, aku butuh stabilitas? Kau janjikan hidup lebih baik, lebih mewah dari bersama Alya. Tapi apa yang kau berikan? Status selingkuhan murahan, lalu sekarang suami pecundang tanpa pekerjaan!"
Vandra terhenyak, wajahnya pucat pasi. "Aku berjuang untuk kita, Erika! Aku tinggalkan Alya, aku tinggalkan anak-anakku, hanya demi kamu. Apa itu tidak cukup?"
"Cukup?" Erika menepuk dadanya keras, matanya melotot penuh amarah. "Kau pikir aku rela menanggung malu, dicaci maki semua orang, ibuku sampai sakit begini, hanya untuk hidup miskin bersamamu? Aku butuh jaminan, Vandra! Aku butuh uang!"
Nada keras itu membuat beberapa perawat menoleh curiga. Vandra mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak kehilangan kendali. "Jadi semua ini hanya tentang uang bagimu?"
"Ya!" Erika membentak, tanpa ragu. "Aku rela kehilangan harga diriku, kehilangan pekerjaanku, asalkan aku punya harta untuk menopang hidupku. Kalau tidak, buat apa aku memilihmu?"
Vandra menelan ludah, wajahnya penuh luka batin. Tapi Erika belum selesai. Ia mendekat, berbisik tajam namun cukup keras untuk didengar Pak Erwin.
"Dengar aku baik-baik, Vandra. Satu-satunya jalan keluar kita sekarang adalah merebut harta Alya. Rumah, tabungan, bahkan masa depan anak-anaknya. Itu hakmu juga, kan? Kau punya celah hukum untuk mendapatkannya."
Jangan bikin aq sedih lagi
Aseli sedih bocah 10 thn bisa bilang seperti itu 🩵🩵
pasti tau kalo Erika mantan simpanan...
😀😀😀❤❤❤
seiman..
baik..
sabar..
setia.
❤❤❤😍😙