Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Lima tahun telah berlalu dari kejadiaan tragis yang terjadi di desa itu. Sampai sekarang, semuanya belum terkuak. Siapa pelaku, motif pelaku melakukan itu dan bagaimana kronologinya pun tidak ada yang tahu sama sekali. Tepatnya tidak ada yang mencari tahu.
Semua warga desa yang mengetahui dan melihat bagaimana keluarga Sangkara di habis, memilih untuk bungkam. Mereka mematuhi semua saran dari pak kades, agar desanya mereka tetap menjadi desa teraman. Di tambah lagi, tidak ada sanak saudara abah Dadang dan emak Lilis yang mencari. Sehingga kasus yang tragis meredup dan hampir di lupakan oleh semua warga.
Namun, sore ini warga desa di hebokan dengan seorang pemuda tampan nan gagah berdiri di depan rumah keluarga Sangkara. Pemuda itu menggunakan pakaian kasual, tampak sangat trendi dan keren. Sesekali kepala pemuda mengintari sekitar rumah. Tapi, dia tidak menemukan apa-apa dan siapa-siapa.
“Emak, abah dan Rara kemana ya? Apakah mereka pindah? Tapi, sepertinya tidak mungkin. Mereka tidak mungkin pindah dari rumah ini. Kalau pun pindah, kemana?” gumam pemuda itu yang tidak lain adalah Sangkara.
Sangkara baru kembali setelah 8 tahun merantau menjadi TKI. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya menjadi TKI di Jepang. Berada di Jepang saja, hanya bisa hitungan bulan saja. Sisanya dia di ajak ke sebuah negara dan di didik serta diajarkan sesuatu yang sama sekali tidak pernah terpikir oleh Sangkara.
Itu semua dia dapatkan hanya karena membantu seorang pria asing yang terluka di jalanan. Karena kebaikannya, dia mendapatkan segala kebaikan. Bahkan dia juga di berikan harta yang berlimpah serta hidup yang nyaman. Uang bulanan untuk keluarganya pun di tanggung oleh orang asing itu.
Karena tidak mendapati jawaban dari luar rumah, Sangkara memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi langkahnya terhenti melihat pintu yang telah usang. Tampak jelas, jika pintu itu jarang sekali di buka. Mungkin sudah bertahun-tahun tidak pernah di buka, debu yang menempel di ganggang pintu sudah cukup tebal.
“Emaaak…! Abaaaah…! Rara…! Aku pulaaang. Kalian ada dimana?” seru Sangkara membuka pintu rumahnya.
Ketika pintu terbuka, bau apek, bau debu, dan bau khas ruangan yang tidak pernah di buka menghantam hidung Sangkara. Dia sempat memundurkan langkah sembari mengibas-kibaskan udara di depan wajahnya.
“Emak, abah dan Rara emang udah gak tinggal di sini lagi,” lirih Sangkara tampak sedih dan lesu. Dia yang awalnya membayangkan wajah bahagia emak, abah dan adeknya ketika menyambut dirinya pulang. Sekarang sirna. Orang yang sangat dia rindukan, sudah tidak menempati rumah itu lagi.
Akan tetapi, Sangkara sadar satu hal. Jika keluarganya pindah, mengapa barang-barang masih ada di dalam rumahnya. Bahkan posisi barang itu tidak berpindah posisi dari terakhir dia meninggalkan rumah itu. Tidak ingin pusing dan memikirkan banyak hal dulu, Sangkara memilih untuk membuka semua jendela dan juga pintu. Agar udara di dalam rumah segera berganti dengan udara yang baru.
Sementara di luar rumah, warga-warga banyak yang berkumpul dan melengok kearah rumah keluarga Sangkara. Mereka bertanya-tanya siapa pemuda yang datang dan masuk ke dalam rumah itu. Jika, benar itu Sangkara, berarti banyak perubahan yang ada di dalam diri Sangkara.
“I-itu benar Kara, anaknya pak Dadang dan bu Lilis. Pulang juga tuh anak!” celetuk salah satu warga.
“Iya, Sangkara pulang. Aduh, bagaimana kita sampaikan kepada Kara apa yang terjadi sama keluarganya?” timpal warga lain.
“Tidak usah kasih tahu! Kita pura-pura gak tahu aja! Ayoo, kita bubar!” timpal yang lainnya.
Para warga mulai meninggalkan sekitaran rumah Sangkara. Mereka merasa kasihan pada Sangkara sekaligus merasa takut jika di anggap terlibat.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Sangkara memeriksa setiap sisi rumah orangtuanya. Keanehan dan kejanggalan mulai dia rasakan. Awalnya dia merasa jika keluarganya pindah ke rumah lain, atau daerah lain. Sekarang dugaannya berubah. Keluarganya tidak pindah, melainkan ada sesuatu yang terjadi pada keluarganya. Entah itu apa, yang pasti akan dia selidiki.
Masuk ke dalam kamar adeknya, Sangkara melihat buku yang terbuka dan satu buah pulpen ada di atas buku. Walau sudah banyak debu yang menempel, tapi sama sekali tidak merusak buku. Bahkan tas yang sering kali adeknya pakai pun masih tergeletak di atas kasur.
Sangkara menghela napas panjang, dia pun beralih ke kamar orangtuanya. Di kamar orangtuanya, lebih terlihat rapi. Hanya beberapa baju yang bergelatungan di dinding. Dan ketika Sangkara membuka lemari, semuanya masih terlihat rapi. Bahkan uang simpanan kedua orangtuanya masih terselip di sela-sela baju.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Emak, abah, Rara, kalian ada dimana?” gumam Sangkara menjatuhkan diri di kasur penuh debu di kamar orangtuanya.
Otaknya terus berpikir, namun sekuat apapun dia berpikir, dia tidak menemukan jawaban atas apa yang dia pikirkan. Lama-lama membuat Sangkara lelah dan tertidur di atas kasur penuh debu.
Pada saat kejadian itu, warga memang memakamkan keluarga Sangkara dengan baik dan sesuai dengan syariat islam. Namun, mereka hanya membersihkan cairan merah yang menggenang atau terciprat di ruang tamu serta teras. Sementara barang-barang keluarga Sangkara sama sekali tidak di sentuh sedikitpun. Pengajian atau tahlilan pun diadakan di musolah, bukan di rumah keluarga Sangakara. Hal itulah, yang membuat Sangkara merasa keanehan dan kejanggalan.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dika dan Arif, yang merupakan sahabat Sangkara, mendengar sahabatnya pulang. Mereka segera langsung pergi kerumah Sangkara. Di tengah jalan, mereka di cegat oleh warga yang baru bubar dari rumah Sangkara. Mereka di beri peringatan untuk tidak berkata yang aneh-aneh kepada Sangkara. Sesuai dengan kesepakatan awal, mereka menganggap keluarga Sangkara mengalami kecelakaan.
“Karaaa….!!! Karaa…!!! Kamu sudah pulang, Kar???” seru Dika berdiri di teras rumah Sangkara. Dia tampak ragu untuk langsung masuk. Otaknya terbayang bagaimana keluarga Sangkara di temukan tidak bernyawa di rumah itu.
“Masuk aja yuk, Dilk?” ajak Arif.
“Takut, Rif!”
“Takut apaan?”
“Kamu tahu sendiri kalau aku yang lihat langsung. Lah kamu enak, datangnya pas sudah di musolah,” sahut Dika.
“Lah, jadi bagaimana?”
“Gak tahu! Kita teriak aja panggil Kara. Ya, kali dia gak dengar, Rif!”
Dika dan Arif secara bergantian berteriak memanggil nama Sangkara. Beberapa kali panggilan, baru ada sahutan dari dalam rumah.
“Iya, siapa?” sahut dari dalam.
Terdengar orang yang berjalan dari dalam menuju luar, “Dika? Arif???” seru Sanngkara. Walau tidak bertemu selama 8 tahun, wajah kedua sahabatnya tidak berubah jauh. Sangkara masih mengenali mereka berdua.
“KARA…!!!”
Tiga orang laki-laki muda itu saling berpelukkan di halaman rumah. Mereka meluapkan kerinduan setelah sekian tahun tidak bertemu.
“Kamu, kemana aja. Kara? Kami berdua semoat cari kamu, tapi tidak ketemu. Kata TKI yang di sana, kamu katanya pindah dan di bawa orang pergi. Kemana, Kara? Tapi, kamu baik-baik saja kan?” cerca Dika memeriksa tubuh Sangkara dengan teliti. Dia bahkan memutari tubuh Sangkara, memastikan sahabatnya itu baik-baik saja.
“Aku gak kemana-mana kok. Masih di bumi ini. Oh ya, kalian berdua tahu abah, emak dan adek aku kemana? Rumah ini kayaknya sudah lama kosong, tapi barang-barang masih tersusun rapi. Kira-kira mereka kemana ya?” tanya Sangkara.
Dika dan Arif saling tatap. Baru saja mereka hendak menjawab, seorang pria tua datang menghampiri dan memeluk Sangkara.
“Sudah pulang kamu, Kara! Ya Tuhan, tambah gagah saja kamu!” seru pria tua itu mengedipkan sebelah matanya kearah Dika dan Arif.
Semangat untuk authornya... 💪💪