Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Pikir-pikir Dulu, Lidya
Lidya menunduk, pura-pura merapikan selimut. “Aku masih di rumah sakit, Kak. Jadi beberapa hari ini aku tidak tahu jadwal Kak Arjun, mungkin Kakak biasa cek sama Mas Raffi.”
Eliza menggeleng pelan. “ Iya sih, aku tahu. Tapi, entah kenapa aku merasa ada yang berubah. Dia dingin banget sejak dari Yogyakarta. Biasanya kalau aku ngambek, dia bakal bujuk, kasih bunga, atau … ya, beliin tas atau perhiasan yang aku mau.”
Nada suaranya melunak, tapi wajahnya tampak getir. “Sekarang? Dingin. Kayak orang asing ... bahkan tidak ada hadiah buat bujuk aku.”
Lidya menatap kakaknya — perempuan yang dulu ia kagumi karena keanggunan dan keceriaannya, kini tampak rapuh di balik kacamata mahalnya.
Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya kelu. Apa yang bisa ia katakan? Bahwa Arjuna memang berubah? Bahwa semua itu karena kesalahan yang juga melibatkan dirinya?
Ia hanya bisa diam, menggenggam erat ujung selimutnya.
“Kak El.” Suara Lidya lirih. “Mungkin Kak Arjun cuma butuh waktu untuk sendiri. Lelaki kalau lagi banyak pikiran memang suka begitu.”
Eliza tersenyum kecut. “Kamu terlalu baik, Lid. Kadang aku iri sama kamu — kamu selalu bisa ngomong lembut. Aku? Aku kalau udah kesal, susah banget nahan diri. Tapi aku nggak bisa diginiin terus. Kamu tahukan, kalau di luar sana banyak wanita yang suka sama suamiku. Aku takutnya Mas Arjun ada kepincut sama wanita lain.”
Lidya tersenyum samar. “Kak Eliza itu orangnya jujur. Justru itu yang bikin Kak Arjun sayang, kan?”
Eliza menatapnya lama. “Entahlah. Aku harap kamu benar.”
Ia berdiri, meraih tasnya. “Aku ke bawah dulu beli kopi. Kamu istirahat ya, Lid.”
Begitu pintu tertutup, Lidya menatap ponselnya lagi. Notifikasi transfer dua hari lalu masih tersimpan di layar. Ia mengetuknya pelan, seolah ingin menghapus pesan itu — tapi tak sanggup.
Air matanya jatuh lagi.
“Dua miliar, Kak Arjun?” bisiknya dengan suara gemetar. “Apa segitu harga tenang buat kita berdua? Tenang saja, rahasia kita akan aku simpan sampai mati.”
Ia menatap langit-langit putih ruang rawat. “Apakah sikap Kak Arjun berubah sama Kak El karena kejadian di Jogja? Tapi ... mana mungkin? Haruskah aku harus segera pergi menjauh? Aku tak ingin rumah tangga Kak El terjadi sesuatu.”
Di luar, langit kembali mendung.
Sementara di kantor, Arjuna duduk di balik meja kerjanya — menatap layar komputer, tapi pikirannya jauh … menuju seseorang yang kini sedang ada di rumah sakit.
**
Hujan baru saja reda sore itu. Udara terasa lembap, menyisakan aroma tanah basah yang samar masuk lewat jendela ruang makan. Langit di luar berwarna kelabu keperakan, akhirnya setelah beberapa hari di rumah sakit, Lidya sudah diizinkan pulang.
Gadis itu duduk di kursi seberang Mama Riri, memandangi sendok di tangannya yang hanya sesekali menyentuh piring. Nasi di hadapannya sudah mulai dingin, sementara Mama Riri sibuk menata lauk di piring sendiri — sayur asem, ayam goreng, dan sambal terasi yang harum menggoda.
“Lid, kok diem aja?” tanya Mama Riri dengan lembut. “Nggak enak makanannya? Atau perut kamu sakit lagi?”
Lidya buru-buru tersenyum kecil. “Enak, Ma. Aku cuma … kepikiran aja.”
“Kepikiran apa?”
Gadis itu meletakkan sendoknya, menunduk sesaat. “Ma, aku kepikiran buat cari kerjaan baru.”
Gerakan Mama Riri langsung terhenti. “Kerjaan baru?” Suaranya meninggi sedikit, penuh heran. “Kenapa? Bukannya enak kerja di kantor Arjuna? Gajinya bagus, tempatnya nyaman, orang-orang juga sudah kenal kamu.”
Lidya menarik napas dalam. “Aku cuma pengin cari suasana baru, Ma. Di kantor itu … rasanya udah terlalu berat.”
Mama Riri mengerutkan kening. “Berat gimana maksudmu?”
Lidya menatap wajah ibunya yang penuh kasih itu, lalu bicara hati-hati. “Akhir-akhir ini Kak Eliza sering curhat soal Kak Arjun. Katanya Kak Arjun berubah. Dingin. Sering pulang malam. Aku jadi nggak enak, Ma … soalnya aku satu kantor sama beliau. Kadang Kak Eliza suka nanya-nanya tentang Kak Arjun di kantor, dan aku bingung harus jawab apa. Aku di sana kan kerja, bukan jagain langkah suami Kak El.”
Mama Riri terdiam. Hening sejenak menggantung di udara.
“Lid,” ucapnya pelan, “Mama ngerti perasaan kamu. Tapi apa nggak sebaiknya kamu istirahat dulu aja? Jangan buru-buru pindah kerja. Lagian, cari kerjaan itu nggak mudah sekarang. Kalau mau pindah pun, jangan jauh-jauh ya, Nak. Paling nggak masih di sekitar Jabodetabek.”
Lidya menunduk sopan. “Iya, Ma. Aku juga belum mutusin sekarang. Masih pengin mikir dulu.”
Mama Riri mengangguk, lalu menggenggam tangan putrinya. “Mama percaya kamu bisa ambil keputusan terbaik. Tapi tolong, jangan lari dari apa pun yang bikin kamu nggak nyaman, ya. Hadapi pelan-pelan.”
Senyum tipis terbit di bibir Lidya. “Iya, Ma.”
Di luar, hujan kembali turun pelan-pelan. Rintiknya terdengar seperti denting halus di atas genting. Tapi di dada Lidya, badai tak kunjung reda.
***
Keesokan Pagi — Kantor Adiwongso Group
Udara pagi di Jakarta terasa lembap. Awan masih menggantung berat, menutupi separuh langit. Gedung Adiwongso Group berdiri megah dengan dinding kaca tinggi yang memantulkan bayangan langit.
Lidya turun dari taksi dengan mengenakan blouse putih dan rok pensil abu muda. Wajahnya tampak segar, meski masih sedikit pucat. Ia sempat menarik napas panjang sebelum melangkah ke lobby.
“Selamat pagi, Mbak Lidya,” sapa resepsionis dengan senyum hangat.
“Pagi, Mbak Dita.” Lidya membalas sopan dan melangkah cepat ke lantai delapan — tempat ruang kerja Arjuna berada.
Suasana kantor masih tenang. Beberapa staf baru datang, sebagian sudah menyiapkan dokumen untuk rapat. Lidya langsung menuju mejanya, membuka laptop, mengecek email masuk, lalu menyalakan sistem jadwal kerja mingguan yang biasa ia tangani.
Semua terlihat biasa, tapi entah mengapa suasananya terasa aneh.
Biasanya Arjuna akan lewat dan menyapa singkat, sekadar menanyakan kabar atau memberi instruksi ringan. Namun pagi itu, saat lift terbuka dan langkah kaki Arjuna terdengar mendekat bersama Raffi — asisten pribadinya, Lidya justru merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
Ia menoleh sekilas.
Arjuna tampak berwibawa seperti biasa, mengenakan setelan abu tua, rambutnya disisir rapi ke belakang. Tapi yang membuat dada Lidya bergetar bukan penampilannya — melainkan tatapan dingin yang sama sekali tak berhenti pada dirinya.
Pria itu melewatinya begitu saja.
Tidak ada sapaan. Tidak ada senyum. Bahkan tidak ada lirikan sekilas.
Bersambung ... 💔
kamu pikir dengan smua yg kamu lakukan smua beres? tidak kaaan? justru kamu makin g bisa tenang karena g d sangka2 ucapan Lidya kebuktian, walaupun smua nya datang dengan kebetulan 🤭
semangat MOMMY GHINA, bikin Arjuna g bisa tenang dn g bisa tidur..item2 tuh d bawah mata,,biar panda ada temen nya 🤣
maka nya Juun kamu jangan sok2an smua bisa d selesaikan dengan uang..smua bisa selesai hanya dengan menjaga jarak dn menjauh,,klo udh begini..siapa yg panas cobaaa?? 🤣🤣🤣🤣
hareudaaaang !!!!!
air mana...aiiiiiirr 🤣🤣🤣
gimana Juun,,hati amaaan??? 🤣
aman dong tentu nya yaaaa,,kan Lidya cuma adik ipar...d tambah lg udh d transfer 2 M utk kehidupan Lidya k depan nya kaaan?
awas lhoo tuh hati jangan sampe mencelos ketika liat keakraban Lidya ama Farel..!!!
jangan sampe ada goresan d hati y Juun liat Lidya dn Farel pelukan,,karena Lidya kan HANYA ADIK IIIIPAR 🤭
ayoo lid semangat ketawa2 aja terus jgn melow2 berkepanjangan
etapi knp aku berharap Lidya nantinya sm Arjun yak, apa gegara Eliza nyebelin.. 🤣
kira2 lidya akan pergi kemana ya....hmmm...penasaran nih mom....😄