Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3
Keira berdiri di depan pagar rumahnya sambil mengipas-ngipas wajah dengan tangan. Matahari Jakarta siang ini benar-benar tidak santai. Panasnya menusuk sampai ke ubun-ubun. Sudah sepuluh menit dia menunggu jemputan sang Pangeran Kodok alias Arkan Zayden tapi batang hidung pria itu belum juga terlihat.
Tiba-tiba terdengar suara deru mesin mobil yang sangat berisik dari ujung jalan. Sebuah mobil sport berwarna merah menyala melaju kencang dan berhenti tepat di depan Keira dengan pengereman yang dramatis. Debu jalanan beterbangan membuat Keira terbatuk-batuk.
Kaca jendela mobil perlahan turun. Wajah Arkan yang tertutup kacamata hitam muncul dengan seringai lebar.
"Halo Tuan Putri. Maaf kereta kencananya agak telat. Kudanya tadi mogok minta makan rumput dulu," sapa Arkan tanpa rasa bersalah.
Keira membuka pintu mobil dan masuk dengan wajah masam. Dia membanting pintu mobil cukup keras hingga membuat Arkan berjengit.
"Pelan-pelan dong, Ra. Ini mobil mahal. Kalau pintunya copot lo mau ganti pake daun pintu kamar mandi lo?" protes Arkan sambil melajukan mobilnya.
"Bodo amat. Lo telat dua puluh menit Arkan. Gue udah jamuran nunggu di luar. Panas tau," omel Keira sambil membetulkan tatanan rambutnya di kaca spion.
"Ya namanya juga orang sibuk. Gue abis meeting penting sama klien dari Singapura. Bukan kayak lo yang kerjanya cuma gambar-gambar doang," balas Arkan meremehkan.
Keira mendelik. "Heh asal lo tau ya. Kerjaan gue itu butuh otak dan seni. Desain interior itu nggak gampang. Dasar CEO modal warisan."
"Wih pedes banget mulutnya. Awas nanti pas difoto bibir lo manyun terus. Jelek," ledek Arkan santai.
Hari ini adalah jadwal foto prewedding mereka. Tentu saja ini paksaan dari kedua ibu negara alias Mama mereka. Konsepnya pun sudah ditentukan oleh para ibu. Keira dan Arkan hanya tinggal datang dan berpose manis selayaknya pasangan paling bahagia di dunia. Padahal kenyataannya mereka seperti kucing dan anjing yang dipaksa satu kandang.
Mereka sampai di sebuah studio foto ternama di bilangan Jakarta Selatan. Studio itu milik fotografer terkenal bernama Beni yang terkenal dengan gaya fotonya yang romantis dan dreamy.
"Selamat datang Mas Arkan dan Mbak Keira! Wah pasangan viral kita akhirnya datang juga!" sambut Beni dengan gaya bicaranya yang lincah dan heboh.
Arkan menjabat tangan Beni. "Halo Mas Beni. Tolong bikin muka saya ganteng maksimal ya. Kalau calon istri saya ini terserah Mas aja mau diedit gimana biar nggak kelihatan galaknya."
Keira mencubit pinggang Arkan diam-diam. Arkan menahan teriakannya sambil tersenyum paksa.
"Aduh Mas Arkan bisa aja. Mbak Keira cantik banget kok. Cocok banget kalian berdua. Visualnya juara," puji Beni tulus.
Mereka digiring ke ruang ganti. Konsep pertama adalah tema kasual namun elegan. Keira mengenakan gaun putih sederhana selutut sementara Arkan mengenakan kemeja putih yang lengan bajunya digulung sampai siku dipadukan dengan celana chino krem.
Saat keluar dari ruang ganti Arkan bersiul pelan melihat penampilan Keira. Tapi tentu saja pujian murni tidak ada dalam kamus Arkan Zayden.
"Tumben lo kelihatan kayak manusia. Biasanya kayak singa lepas kandang," komentar Arkan.
"Diem lo. Cepetan selesaikan ini biar gue bisa pulang dan nggak liat muka lo lagi," balas Keira ketus.
Sesi pemotretan dimulai. Dan disitulah bencana yang sebenarnya terjadi.
"Oke Mas Arkan pegang pinggang Mbak Keira ya. Tatap matanya dalam-dalam penuh cinta," instruksi Beni sambil memegang kameranya.
Arkan meletakkan tangannya di pinggang Keira dengan kaku. Rasanya seperti memegang kaktus berduri. Keira juga meletakkan tangannya di dada bidang Arkan dengan ragu.
"Tatap matanya dong. Jangan liat jidatnya," teriak Beni.
Arkan menatap mata Keira. Jarak wajah mereka hanya tinggal sejengkal. Keira bisa melihat bintik cokelat di iris mata Arkan. Dia harus mengakui kalau Arkan memang tampan jika sedang diam begini.
"Apa liat-liat? Naksir?" bisik Arkan pelan tanpa menggerakkan bibirnya terlalu banyak.
"Najis," balas Keira cepat.
"Senyum dong Mas Mbak! Kok kayak mau nagih utang gitu mukanya!" protes Beni menurunkan kameranya. Dia berjalan mendekat untuk membetulkan pose mereka.
"Mas Arkan tolong lebih rileks. Anggap aja ini wanita paling cantik di dunia yang Mas cintai setengah mati," kata Beni memberi arahan.
"Susah Mas. Soalnya dia galak. Takut digigit saya," sahut Arkan asal.
Beni tertawa mengira itu candaan. "Ada-ada aja Mas Arkan ini. Ayo coba lagi. Satu dua tiga!"
Jepret. Jepret.
"Nah sekarang pose pelukan dari belakang ya. Mas Arkan peluk Mbak Keira. Dagu Mas ditaruh di bahu Mbak Keira. Terus bisikkan kata-kata manis biar Mbak Keira senyum natural," perintah Beni lagi.
Keira menahan napas saat merasakan tubuh hangat Arkan menempel di punggungnya. Lengan kekar pria itu melingkar di perutnya. Dagunya yang sedikit kasar karena brewok tipis menyentuh bahu Keira. Rasanya geli dan aneh. Jantung Keira mendadak berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
"Berat woy. Kepala lo isi batu ya," gerutu Keira pelan mencoba menutupi kegugupannya.
Arkan mendekatkan bibirnya ke telinga Keira. Beni mengira Arkan akan membisikkan kata cinta. Padahal...
"Ra lo belum keramas ya? Rambut lo bau apek. Kayak bau pasar ikan," bisik Arkan jahat.
Mata Keira melotot. Emosinya langsung naik ke ubun-ubun. Dia refleks menginjak kaki Arkan dengan high heels-nya.
"Aduh!" Arkan memekik kaget dan melepaskan pelukannya. Dia melompat-lompat memegangi kakinya.
"Kenapa Mas Arkan?" tanya Beni panik.
"Nggak apa-apa Mas. Ada semut rangrang gigit jempol kaki saya. Gede banget semutnya," jawab Arkan sambil melirik sinis ke arah Keira.
Keira tersenyum manis penuh kemenangan. "Makanya Mas. Kalau ngomong dijaga. Semut di sini emang sensitif sama orang yang mulutnya bau sampah."
Beni garuk-garuk kepala melihat tingkah pasangan aneh ini. "Oke kita istirahat dulu lima menit ya. Minum dulu biar adem."
Keira duduk di sofa sambil meneguk air mineralnya dengan kasar. Arkan duduk di sofa seberangnya sambil memijat kakinya yang malang.
Tiba-tiba ponsel Arkan yang tergeletak di meja bergetar panjang. Keira yang sedang meletakkan botol minumnya tidak sengaja melihat layar ponsel itu menyala.
Nama 'Clara' muncul lagi di sana. Panggilan masuk.
Wajah Arkan yang tadinya cengengesan menahan sakit langsung berubah tegang. Dia buru-buru menyambar ponselnya dan mematikan panggilan itu alias me-reject-nya.
Keira menatap Arkan penuh selidik. "Siapa? Kok nggak diangkat? Takut ketauan selingkuhan?"
Arkan memasukkan ponselnya ke saku celana. "Bukan siapa-siapa. Orang iseng. Udah gue blokir kok."
"Masa? Kok mukanya panik gitu? Kalau emang nggak penting angkat aja terus maki-maki. Biasanya kan lo hobi maki orang," pancing Keira.
"Udahlah Ra. Nggak usah kepo. Inget perjanjian kita pasal tiga. Privasi," potong Arkan tegas. Nada bicaranya sedikit meninggi membuat Keira terdiam.
Keira mendengus kesal. Benar dugaan dia. Pasti ada sesuatu antara Arkan dan perempuan bernama Clara itu. Tapi Keira gengsi untuk bertanya lebih lanjut. Toh dia tidak peduli. Arkan mau punya pacar sepuluh pun bukan urusannya. Yang penting pernikahan ini berjalan lancar demi Papanya.
"Ayo lanjut lagi! Tinggal satu konsep lagi nih!" panggil Beni memecah ketegangan di antara mereka.
Konsep terakhir lebih sederhana tapi intimate. Mereka harus duduk di lantai saling berhadapan dan bersentuhan hidung.
"Hidung ketemu hidung ya. Pejamkan mata. Nikmati momennya," instruksi Beni dengan suara lembut.
Keira dan Arkan duduk bersila. Lutut mereka bersentuhan. Arkan memajukan wajahnya perlahan. Keira bisa melihat pori-pori wajah Arkan yang bersih. Hidung mancung Arkan perlahan menyentuh ujung hidung Keira.
Napas hangat Arkan menyapu wajah Keira. Wangi parfum Arkan bercampur aroma tubuh aslinya menguar kuat. Wangi kayu cendana dan mint yang maskulin. Entah kenapa wangi itu membuat Keira merasa tenang.
Arkan memejamkan matanya sesuai instruksi. Keira ragu sejenak namun akhirnya ikut memejamkan mata.
Hening.
Hanya suara shutter kamera yang terdengar samar.
Untuk beberapa detik dunia terasa berhenti berputar. Keira merasakan desiran aneh di dadanya. Perasaan hangat yang menjalar dari ujung kaki hingga ke kepala. Dia tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki manapun sebelumnya. Dan sialnya laki-laki pertama yang sedekat ini dengannya adalah musuh bebuyutannya sendiri.
Arkan membuka matanya sedikit. Dia mengintip Keira yang masih memejamkan mata dengan bulu mata lentik yang bergetar. Wajah Keira terlihat sangat polos dan damai saat tidak sedang marah-marah. Bibir mungilnya yang berwarna merah muda terlihat menggoda.
Tanpa sadar tangan Arkan terangkat dan merapikan anak rambut Keira yang jatuh di pipi. Gerakan itu sangat lembut. Jauh dari kesan kasar yang biasanya dia tunjukkan.
Keira membuka matanya kaget karena sentuhan itu. Mata mereka bertemu dalam jarak yang sangat intim. Tatapan Arkan kali ini berbeda. Tidak ada ejekan. Tidak ada keusilan. Yang ada hanya tatapan intens yang sulit diartikan.
"Oke! Sempurna! Chemistry-nya dapet banget!" teriak Beni girang membuyarkan lamunan mereka.
Arkan dan Keira langsung menjauhkan diri satu sama lain seolah tersengat listrik. Mereka berdua salah tingkah. Wajah Keira memerah padam seperti kepiting rebus. Arkan pura-pura batuk dan membuang muka.
"Bagus kan Mas? Tadi tatapannya dapet banget loh. Kayak dunia cuma milik berdua," puji Beni sambil memperlihatkan hasil foto di layar kamera.
Di layar itu terlihat foto close up wajah mereka yang saling bersentuhan hidung. Tangan Arkan ada di pipi Keira. Terlihat sangat romantis dan natural. Siapapun yang melihat foto itu pasti akan mengira mereka adalah pasangan yang sedang dimabuk asmara.
"Ya lumayan lah. Untung model cowoknya ganteng. Jadi fotonya kebantu," komentar Arkan berusaha menutupi kegugupannya dengan kesombongan.
"Idih. Pede banget. Itu bagus karena angle-nya pas jadi jerawat batu lo nggak kelihatan," balas Keira tak mau kalah.
Beni hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kliennya ini. Tadi mesra sekarang berantem lagi.
Selesai sesi foto hari sudah sore. Langit Jakarta mulai berwarna jingga.
"Mau makan dulu nggak? Gue laper. Tadi siang belum makan gara-gara jemput lo," tawar Arkan saat mereka sudah di dalam mobil.
Sebenarnya Keira juga lapar. Perutnya sudah berbunyi sejak tadi.
"Terserah. Asal jangan makan ati aja," jawab Keira.
Arkan membawa mobilnya ke pinggir jalan di daerah Barito. Dia berhenti di depan gerobak bubur ayam yang ramai pengunjung.
"Makan bubur? Sore-sore gini?" tanya Keira heran. Biasanya cowok kaya seperti Arkan makannya di restoran bintang lima.
"Bubur di sini enak Ra. Langganan gue dari jaman kuliah kalau lagi bokek. Turun gih. Jangan manja," kata Arkan sambil mematikan mesin mobil.
Mereka duduk di bangku plastik pinggir jalan. Arkan memesan dua mangkok bubur ayam lengkap dengan sate usus.
"Lo tim diaduk apa nggak diaduk?" tanya Arkan serius.
"Nggak diaduk dong. Biar estetik dan rasanya nggak campur aduk kayak muntahan kucing," jawab Keira tegas.
Arkan berdecak. "Ah nggak asik lo. Bubur itu seni. Harus diaduk biar semua bumbu menyatu dalam harmoni rasa."
"Jorok tau. Bentuknya jadi aneh," Keira bergidik ngeri melihat Arkan mengaduk buburnya dengan semangat sampai warnanya berubah jadi abu-abu kecokelatan.
"Cobain dulu. Jangan judge dari penampilan. Kayak gue. Luarnya emang tengil tapi dalemnya siapa tau manis kayak gula jawa," Arkan menyodorkan sendok berisi bubur adukannya ke mulut Keira.
"Nggak mau!" tolak Keira.
"Aaa... buka mulut pesawat terbang mau mendarat," paksa Arkan kayak menyuapi balita.
Karena malu dilihat orang banyak akhirnya Keira membuka mulutnya dan menerima suapan itu. Dia mengunyah pelan. Matanya membulat.
"Enak kan?" tanya Arkan dengan alis naik turun.
Keira mengangguk pelan. "Lumayan. Asin guri nya pas."
"Tuh kan apa gue bilang. Makanya jangan liat buku dari sampulnya. Jangan benci gue dari luarnya doang. Siapa tau nanti lo malah cinta mati sama gue," goda Arkan.
Keira tersedak bubur mendengar ucapan itu. Dia terbatuk-batuk heboh.
Arkan dengan sigap menepuk-nepuk punggung Keira dan menyodorkan teh botol.
"Pelan-pelan makannya Nona Singa. Kaget banget dibilang cinta. Padahal dalam hati pasti mengiyakan," kekeh Arkan.
Keira meminum teh botol itu sampai setengah. Dia menatap Arkan tajam.
"Mimpi lo kejauhan. Gue keselek karena kaget sama tingkat kepedean lo yang di luar nalar manusia," elak Keira.
Meski mulutnya membantah tapi jauh di lubuk hatinya Keira merasa ada yang aneh. Hari ini dia melihat banyak sisi lain dari Arkan. Arkan yang menyebalkan tapi juga bisa bersikap manis di saat yang tak terduga. Arkan yang makan bubur pinggir jalan dengan lahap tanpa jaim.
Dan yang paling mengganggu pikiran Keira adalah momen di studio foto tadi. Saat tangan Arkan menyentuh pipinya. Sentuhan itu terasa begitu nyata.
Sesaat setelah mereka selesai makan ponsel Arkan berbunyi lagi. Kali ini bukan panggilan telepon tapi pesan singkat. Arkan membacanya sekilas lalu raut wajahnya berubah keruh.
"Kenapa? Clara lagi?" tembak Keira langsung.
Arkan memasukkan ponselnya kasar ke saku. "Bukan urusan lo. Ayo pulang. Gue anter lo balik."
Sikap Arkan kembali dingin dan menyebalkan. Keira hanya bisa diam. Misteri tentang Clara semakin membuatnya penasaran. Siapa sebenarnya wanita itu dan kenapa dia bisa membuat mood Arkan berubah drastis dalam hitungan detik?
Satu hal yang pasti pernikahan ini sepertinya akan penuh dengan kejutan. Dan Keira harus menyiapkan mental baja untuk menghadapinya.