Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Mau Dilamar
Akhir-akhir ini Gwen banyak memendam pikiran gara-gara disuruh menikah dengan Damian. Padahal masa depannya masih panjang, masa iya dia harus berakhir dengan Damian, dan tertular memiliki masa depan suram seperti pemuda itu.
"Nggak bisa, gue harus nolak tuh rencana Bu Jessica." Ia menggelengkan kepalanya cepat.
"Lo kenapa?" Jane yang tengah berdiri di sebelah kanan Gwen, menyenggol lengan sahabatnya. Ia tak mau orang lain menganggap Gwen aneh, padahal mereka sedang olahraga di lapangan, dan saat ini tengah berbaris menerima ceramah pagi dari Pak Agus, guru olahraga yang konon katanya bucin berat sama Bu Siska, guru Biologi yang baru di kelas Damian.
Lihat saja Pak Agus ini ceramah, tapi bola matanya jelalatan melirik Bu Siska, yang sedang mengajar di luar kelas karena kelas Damian tengah praktek memperhatikan proses fotosintesis.
"Gwen!" seru Jane.
"Apaan, Jane?"
"Lo tuh yang kenapa? Dari tadi sikap lo aneh deh."
Gwen menghela napas lelah, ia tak mungkin menceritakan masalahnya pada Jane. "Gue nggak kenapa-kenapa kok. Lagi nggak enak badan aja gue."
"Eh." Jane menempelkan telapak tangannya pada dahi Gwen. "Badan lo agak anget nih, Gwen. Mau gue ijinin sama Pak Agus?"
"Nggak usah, Jane. Gue nggak apa-apa."
"Jangan dipaksakan Gwen, kalau lo nggak enak badan," sambar Mika yang berdiri tepat di belakang tubuh Gwen.
"Beneran kok, Ka."
Keadaan menjadi hening kembali. Gwen kembali fokus mendengarkan Pak Agus yang tengah memberikan arahan tentang basket. Sampai kemudian Pak Agus memanggil nama Gwen untuk maju ke depan.
"Mariana Gwen Axelir, sini maju."
Gwen masih tak fokus, hingga bahunya ditepuk oleh Mika dari belakang.
"Eh ada apa, Ka?"
"Lo dipanggil Pak Agus suruh maju. Jangan ngelamun mulu deh, Gwen," sahut Jane.
Gwen mengangguk, lalu maju ke depan. Di depan sana tepatnya di kelas Damian, pemuda itu tengah memperhatikannya dalam diam. Entah kenapa akhir-akhir ini ia suka sekali memperhatikan Gwen.
"Jangan lihatin dia, nggak penting gitu," ujarnya. Dia mengalihkan atensi, sampai detik berikutnya terdengar jeritan dari arah lapangan.
Damian berdiri dari duduknya, ia menatap ke lapangan, di mana ia melihat sosok Gwen tengah jatuh tak sadarkan diri di sana.
Ia ingin berlari ke sana, dan menolongnya. Namun, Axel telah menggendongnya lebih dahulu ke UKS.
"Gue kenapa, sih? Bodo amat lah dia mau pingsan, bukan urusan gue," ujar Damian.
***
Gwen mengerjabkan kedua maniknya, kepalanya masih terasa pusing. Ia melihat ke sekitar, dan dia paham di mana dia sekarang.
"Eh udah sadar, Kak?" tanya seorang gadis anak kelas 10 yang bertugas di UKS pagi ini.
"Kok gue bisa ada di sini sih?"
"Iya tadi Kakak pingsan, eh tapi aku iri lho mana yang gendong Kakak ganteng banget lagi," ujarnya dengan wajah malu-malu.
Gwen sempat berpikir. Apakah yang menggendongnya adalah Damian. Ia sempat melihat Damian di depan kelasnya tadi.
"Eh, bukan Pak Agus?"
"Ih Kakak, mana ada Pak Agus. Pak Agus sih nggak ganteng. Itu loh kak Axel, teman sekelas Kakak."
Gwen hanya membalasnya dengan anggukan. Dia pikir Damian yang menggendongnya, kenapa dia kecewa.
"Oh."
"Oh iya Kak, tadi ada yang nitip nih buat Kakak." Gadis bername tag Lusi itu mengambil kantong plastik berwarna putih keruh di atas nakas, lalu menyerahkannya pada Gwen.
Gwen menerimanya, lalu membukanya. Ia melihat ada air mineral, vitamin, dan dua bungkus roti isi cokelat dan strawberry.
"Ini dari siapa?"
Lusi diam, mimik wajahnya berubah aneh. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, lalu mendekat ke arah Gwen, dan berbisik di depan telinganya.
"Itu Kak, yang ngasih Kak Damian, preman sekolah itu."
Bola mata Gwen agak membola mendengarnya. "Lo yakin Damian yang ngasih?"
"Yakin lah Kak, orang Kak Damian sendiri yang naruh di atas meja tadi. Tapi diem-diem sih, naruhnya. Aku sih nggak berani negur, tahu sendiri lah reputasi dia di sekolah kaya apa. Mana berani aku."
"Ya udah, tapi makasih ya." Gwen beranjak dari atas ranjangnya, ia kembali ke kelas saja. Daripada di sini nanti dia ketinggalan pelajaran matematika favoritnya.
"Loh Kakak mau ke mana?" tanya Lusi.
"Balik ke kelas, gue udah enakan kok."
"Yakin?"
Gwen mengangguk, meski sebenarnya ia masih lemas.
Ini semua gara-gara dia banyak pikiran, karena memikirkan keluarga Damian yang akan melamarnya.
***
Gwen berjalan ke arah halte bus, ia pulang terlambat karena bertemu dengan Pak Yus dulu di ruangan BK.
Ia berjalan lesu, namun langkahnya harus terhenti karena melihat sosok Damian duduk di atas motor sportnya di depan gerbang.
"Ngapain tuh si kampret di sana?" gumamnya.
Gwen berjalan menjauh, ia mencoba menghindari
Damian dengan berjalan cepat. Namun sial, Damian melihatnya dan berteriak. "Hei, cewek gila!"
Gwen memilih abai, ia mempercepat langkahnya.
Tetapi, Damian kemudian menaiki motornya, dan berhenti menghadang langkah Gwen.
"Naik."
"Gue mau nunggu bus aja."
Si tampan yang katanya mirip LinYi itu berdecak. "Lo nggak alergi motor mahal juga, 'kan? Penyakit orang miskin aneh, ya."
Ingin sekali Gwen mengumpat.
"Sembarangan aja lo ngomong, gue nggak mau nebeng lo. "
"Kenapa? Tuh banyak yang ngantri pengen nebeng orang ganteng macam gue. "
Gwen memutar bola matanya jengah. "Narsis, nggaklah gue nggak mau. Gue nggak mau disebut pelakor. Gue takut kena azab kaya sinetron yang booming di chanel ikan kerapu melayang."
"Siapa yang nyebut lo kaya gitu, gue udah putus sama Alicia."
Entah kenapa Gwen ingin bersorak gembira kali ini.
"Terus, lo mesti ngasih tahu gue gitu? Nggak penting. Balik sono lo, gue mau naik bus aja."
Damian kesal. Ia menurunkan standart motornya, larku turun dan menyeret lengan gadis itu untuk naik ke atas motornya.
"Hei, apaan sih lo. Jangan paksa gue dong."
"Nggak ada penolakan. Mama nyuruh gue bawa lo balik ke rumah. Kalau Mama nggak nyuruh sih gue ogah banget," dengusnya.
Gwen terpaksa menggiyakan. Ia sudah duduk tenang di atas boncengan motor Damian. Saat ia teringat di UKS tadi, bibirnya tiba-tiba tersenyum.
"Dam."
"Apaan?"
"Makasih buat vitamin, dan roti pemberian lo tadi."
Damian terdiam, ah sialan dia ketahuan.
'Kenapa tuh cewek malah ngadu ke si Gwen sih kalau gue yang ngasih, tahu gitu gue ancam aja tadi.'
"Nggak usah terima kasih. Gue cuma takut lo mati karena pingsan tadi. Gue tahu lo kelaparan. Gue nggak mau Mama gue sedih karena calon menantunya tewas karena kelaparan, kan nggak lucu calon menantu keluarga kaya raya Pranata ditemukan tewas karena lapar."
Sret
"Aduh!" teriak Damian karena pinggangnya dicubit oleh Gwen.
"Bicara yang bener lo. Siapa yang Lo sebut calon menantu, emang gue udah setuju gitu nikah sama lo.
Ngadi-ngadi aja nih orang."
"Gue juga males nikah sama lo. Tapi Mama tuh yang ngebet pen punya mantu modelan lo gini. Udah kurus kerempeng, muka biasa aja, bukan tipe gue banget sih."
Gwen kesal, dari tadi Damian suka sekali memancing emosinya. Kalau tidak ingat ini di pinggir jalan, ingin rasanya Gwen mencekik Damian. Tetapi, ia tak mau disangka sebagai kriminalitas, dan masuk penjara.
"Bicara lagi, gue cekik beneran lo. Udah cepeten jalan!" sentaknya.
"Iya-iya bawel." Damian menggerutu, lalu menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi. Gwen hampir saja terjatuh, dan ia langsung reflek memeluk pinggang Damian.
Damian reflek melirik ke arah perutnya, di mana lengan Gwen melingkar di sana. Ada perasaan aneh menjalar di sekitar dada. Sampai ia tak sadar jika bibirnya tersungging senyum tipis di balik helm full face yang ia kenakan.
***
"Hei kampret, lo bener-bener ya. Naik motor ugal-ugalan baget, mau mati jangan ngajak-ngajak." Gwen menggerutu sejak turun dari motor Damian.
Damian kesal, namun hatinya tengah senang. Jadi ia bersikap biasa saja. "Halah, lo juga kesenangan sampai meluk-meluk gue segala lo."
Wajah Gwen langsung merona
parah saat itu. Ia cepat-cepat membuang wajahnya ke arah lain, jangan sampai si Damian melihat wajahnya yang memerah. Bisa habis dia ditertawakan oleh si manusia dakjal model Damian.
"Karena gue belum ingin mati."
"Alesan aja lo, udah buruan masuk. Mama udah nunggu di dalem."
Damian masuk lebih dahulu, dan Gwen mengekornya di belakang.
"Ma, ini aku udah bawa si Gwen ke mari!" seru Damian, yang kepalanya langsung digeplak Gwen dari belakang.
"Apaan sih. Sakit, bego."
"Pulang itu ucapin salam kek, nggak teriak-teriak gitu. Lo pikir ini hutan, nggak ada tata kramanya sih lo."
"Ini rumah gue, ngapain lo bawel."
Jessica yang melihat pertengkaran keduanya hanya bisa tersenyum.
"Gwen sini duduk bareng Tante."
Gwen mengangguk, lalu berjalan ke arah Jessica.
Sebelum duduk ia mencium tangan kanan wanita itu.
"Sudah makan?" tanyanya.
"Udah Tante tadi di sekolah. Ada apa ya, Tante kok nyuruh saya ke mari?" tanya Gwen.
Jessica menyerahkan paper bag berwarna cokelat pada Gwen.
"Ini apa Tante?"
"Itu pakaian yang Tante beli khusus buat kamu."
Gwen mengeryit heran. "Kenapa sampai dibeliin sih, Tan."
"Hei, itu khusus Tante pilihin loh buat kamu. Nanti malem dipakai, ya."
Sekali, Gwen mengerutkan dahi.
"Eh, nanti malem?"
"Iya, Damian nggak bilang ya? Kalau nanti malem Tante sama Om mau melamar kamu ke rumah."
Jederr
Bagai tersambar petir di musim kemarau, Gwen shock. Meskipun ia sudah tahu, tapi ia pikir tidak secepat ini.
'Mampus gue.'
...***Bersambung***...