Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wajah yang Ditinggalkan Buddha
Menggali keluar dari kuburan batu tidak seperti menggali tanah di ladang. Tidak ada irama. Tidak ada istirahat.
Liang Wu menggunakan batu tajam untuk mengikis celah di antara reruntuhan dada Patung Maitreya dan balok kayu yang menghimpitnya. Setiap inci kemajuan dibayar dengan harga mahal. Kuku-kukunya yang tersisa patah satu per satu. Ujung jarinya menjadi bubur daging yang membalut tulang.
Namun, dia tidak berhenti.
Dia didorong oleh dua hal: rasa lapar yang tidak bisa dipuaskan oleh tikus, dan janji yang dia bisikkan pada kepala yang membusuk di sampingnya.
Krak.
Batu pengganjal itu bergeser.
Seberkas cahaya menyusup masuk. Itu bukan cahaya matahari yang hangat, melainkan cahaya bulan yang pucat dan dingin. Udara segar—meski masih berbau arang basah—menerpa wajahnya.
Liang Wu menghirup udara itu dalam-dalam, paru-parunya yang selama berhari-hari hanya menghirup debu dan bau mayat kini serasa terbakar oleh kesegaran malam.
"Jalan..." bisiknya parau.
Dia mendorong tubuhnya melalui celah sempit itu. Bahunya tergores, kulit punggungnya robek bergesekan dengan batu kasar, tapi dia terus merangkak. Seperti bayi yang memaksa keluar dari rahim yang keras, Liang Wu menyeret tubuhnya keluar dari perut reruntuhan.
Akhirnya, tangannya menyentuh rumput basah.
Dia menarik tubuhnya keluar sepenuhnya dan terguling ke tanah yang dingin.
Liang Wu terbaring di sana, menatap langit malam yang luas. Bintang-bintang berkelip acuh tak acuh, sama seperti malam pembantaian itu.
Dia mencoba duduk, tapi kepalanya berputar hebat. Dia berada di tengah-tengah reruntuhan Halaman Utama. Di sekelilingnya, Kuil Teratai Emas yang megah kini hanyalah gundukan arang hitam, kayu yang hangus, dan sisa-sisa tembok batu yang runtuh. Patung Maitreya perunggu yang menindihnya tampak miring, separuh wajahnya tertanam di tanah, seolah-olah dewa itu sendiri jatuh tersungkur karena malu melihat kekejaman manusia.
Tidak ada mayat.
Aliansi Ortodoks atau hewan liar pasti sudah membereskannya. Atau mungkin api telah mengubah saudara-saudaranya menjadi abu yang kini dia hirup.
Liang Wu meraba sakunya. Tulang jari Han masih ada. Dia menoleh ke lubang tempat dia keluar. Dia merogoh ke dalam dan menarik keluar kepala Guru Besar Xuan.
Kepala itu kini dalam kondisi yang buruk. Liang Wu melepas jubah luarnya yang compang-camping, membungkus kepala gurunya dengan hati-hati.
"Kita sudah di luar, Guru," katanya pada bungkusan itu.
Dia memaksakan kakinya untuk berdiri. Langkahnya goyah. Dia berjalan tertatih-tatih menuju satu-satunya tempat yang mungkin masih memiliki air bersih—Kolam Teratai di halaman belakang, tempat Mei biasa mengambil air.
Kolam itu keruh, penuh abu dan potongan kayu. Bunga-bunga teratai yang dulu indah kini layu dan hitam. Tapi airnya masih ada.
Liang Wu menjatuhkan dirinya di tepi kolam. Dia meminum air itu dengan tangan, tidak peduli pada rasanya yang lumpur. Setelah dahaganya hilang, dia membasuh wajahnya.
Rasa perih yang menyengat menyerangnya saat air menyentuh pipi kirinya.
Liang Wu berhenti. Dia menunggu riak air tenang kembali. Awan bergeser, membiarkan cahaya bulan menerangi permukaan kolam.
Dan untuk pertama kalinya, Liang Wu melihat dirinya sendiri.
Orang yang menatap balik dari air itu bukan lagi biksu muda yang tampan dan polos.
Separuh wajah kirinya adalah mimpi buruk. Damar yang meleleh telah menyatu dengan kulit, menciptakan jaringan parut tebal, merah, dan bergelombang yang menarik sudut mata dan bibir kirinya ke bawah dalam seringai permanen yang mengerikan. Kulit di sekitar mata kirinya melepuh, membuat mata itu terlihat lebih besar dan liar, dikelilingi daging merah mentah.
Wajah kanannya masih utuh, masih menyisakan jejak ketenangan masa lalu.
Dua wajah. Satu manusia, satu iblis.
Tangan Liang Wu gemetar saat menyentuh pantulan itu. Dia menyentuh pipi kirinya yang kasar dan mati rasa.
Dia mengira dia akan menangis. Dia mengira dia akan menjerit ngeri.
Tapi yang keluar dari tenggorokannya adalah tawa.
"Hahaha..."
Tawa itu kecil awalnya, lalu membesar. Kering, serak, dan gila.
"Hahahaha! Lihat, Guru! Lihat!" Liang Wu berbicara pada bungkusan kepala di sampingnya. "Inilah wajah asliku! Inilah wajah yang Guru sembunyikan di balik sutra-sutra itu!"
Dia tertawa sampai air mata keluar dari mata kanannya, sementara mata kirinya tetap kering dan melotot.
"Kau benar, Duan," bisik Liang Wu, menatap bayangannya dengan tatapan tajam. "Serigala butuh taring. Dan iblis butuh topeng."
Dia merobek sisa lengan jubahnya, merendamnya dalam air lumpur, lalu melilitkannya ke kepala dan separuh wajah kirinya. Bukan karena malu, tapi karena rasa sakit udara dingin yang menyentuh luka terbuka itu.
Dia berdiri. Kali ini lebih tegak. Qi di dalam tubuhnya—yang kini telah mencapai Tingkat 7—mengalir lebih lancar.
Dia mengambil bungkusan kepala Guru Xuan dan berjalan ke arah pohon beringin yang hangus. Di sanalah Mei dimakamkan.
Liang Wu tidak memiliki alat untuk menggali kuburan baru. Jadi dia menggunakan tangannya. Dia menggali lubang kecil tepat di atas gundukan tanah Mei.
Dia meletakkan bungkusan kepala Guru Xuan di sana.
"Jaga dia, Guru," kata Liang Wu datar. "Guru gagal melindunginya saat hidup. Setidaknya lindungi dia dalam kematian."
Dia menimbun lubang itu. Dia tidak berdoa. Dia tidak membakar dupa.
Dia berbalik, memunggungi kuburan itu, dan menatap ke arah hutan gelap yang membentang di bawah gunung. Hutan yang penuh dengan penjarah makam, binatang buas, dan jalan menuju dunia manusia yang busuk.
Liang Wu meraba gagang pedang kayu di pinggangnya—pedang yang masih terikat simpul tali merah Mei.
"Abu sudah menjadi abu," gumamnya.
Dia melangkah masuk ke dalam kegelapan hutan. Anjing liar itu telah meninggalkan kandangnya.
Alurnya stabil...
Variatif