Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kepergian ayah dan fitnah
Langkah kaki Emelia terhenti tepat di ambang pintu paviliun yang baru saja dikosongkan. Namun, ketenangan fajar yang ia harapkan terus terusik oleh suara derap kuda yang datang dengan tergesa-gesa dari arah gerbang depan kastil.
Seorang kurir dari desa perbatasan melompat turun dari kudanya, napasnya memburu dan pakaiannya berlumuran debu. Ia membawa sepucuk surat dengan segel yang hancur.
"Tuan Duke! Nyonya Duchess!" teriak kurir itu sambil berlutut. "Kabar duka... Ayah Anda, Tuan Thomas dari desa perbatasan, telah berpulang."
Emelia merasa dunianya seolah berhenti berputar. Kunci perak di tangannya terjatuh ke lantai kayu, menimbulkan suara denting yang menyayat keheningan. Gideon dengan sigap menangkap tubuh istrinya yang nyaris ambruk.
"Ayah...?" bisik Emelia lirih. "Tidak mungkin. Dia baru saja mengirimiku kabar bahwa dia sedang mencoba berhenti berjudi dan ingin menemuiku..."
"Maafkan saya, Nona," kurir itu menunduk dalam. "Rumah Tuan Thomas dibakar oleh orang-orang bertopeng tak lama setelah Anda berangkat berlibur. Beliau tidak berhasil menyelamatkan diri. Penduduk desa menemukan ini di dekat tempat tidurnya."
Kurir itu menyerahkan sebuah jam saku tua yang sudah gosong terkena api. Di dalamnya terdapat foto kecil Emelia dan ibunya yang masih utuh.
Tangis Emelia pecah. Ia tidak lagi peduli dengan kemegahan gaunnya atau statusnya sebagai Duchess. Di pelukan Gideon, ia meraung meratapi satu-satunya keluarga yang ia miliki, yang kini telah pergi menyusul ibunya. Rasa bersalah menghantamnya—ia merasa kematian ayahnya adalah akibat dari identitas aslinya yang mulai terungkap.
Gideon mengeratkan pelukannya, matanya berkilat penuh amarah yang tertahan. Ia tahu ini bukan kecelakaan. Raja telah bergerak lebih cepat dari yang ia duga. Ayah Emelia adalah saksi kunci terakhir tentang pelarian ibunya dua puluh tahun lalu, dan kini saksi itu telah dibungkam.
"Mereka mengambil segalanya dariku, Gideon," isak Emelia di sela tangisnya yang mulai berubah menjadi kemarahan yang dingin. "Ibuku... Gerya... dan sekarang Ayah."
Emelia berdiri mematung di lorong kastil yang dingin. Kabar kematian ayahnya yang tragis akibat kebakaran rumah baru saja menghancurkan hatinya, namun kemunculan Bibik Lian—satu-satunya tetangga lama yang paling ia percayai dari desa—membawa badai yang jauh lebih besar.
Bibik Lian menarik Emelia ke balik pilar besar, wajahnya pucat dan suaranya bergetar hebat saat berbisik tepat di telinga Emelia.
"Emelia, dengarkan aku baik-baik. Thomas tidak mati karena kecelakaan atau agen Raja," bisik Bibik Lian dengan mata ketakutan. "Aku melihatnya sendiri dari balik semak. Pria-pria yang membakar rumah itu adalah pasukan berseragam hitam tanpa lencana, dipimpin oleh tangan kanan suamimu. Tuan Duke Jasper Gideon yang memerintahkannya."
Jantung Emelia seakan berhenti berdetak. "Apa yang Bibi katakan? Itu tidak mungkin!"
"Itu benar, Nak! Tuan Duke tidak terima karena ayahmu terus-menerus memohon agar kau dikembalikan ke desa. Thomas tidak pernah ikhlas melepaskanmu hanya demi uang judi. Dia mengancam akan membongkar rahasia asal-usul ibumu ke publik jika Duke tidak membebaskanmu. Duke membungkamnya agar kau tetap menjadi miliknya selamanya."
Emelia melepaskan pegangan Bibik Lian dengan tubuh gemetar. Ia menoleh ke arah ruang tengah, di mana Gideon sedang berdiri membelakanginya, tampak sibuk memerintahkan pasukan untuk persiapan keberangkatan ke ibu kota. Sosok yang tadinya ia anggap sebagai pelindung, kini tampak seperti monster yang mengerikan.
Semua perhatiannya, cintanya, dan perlindungannya... apakah itu semua hanya cara untuk mengurungku? batin Emelia hancur.
Emelia melangkah mendekati Gideon dengan kaki yang terasa berat. Gideon mendengar langkahnya dan berbalik dengan senyum lembut yang biasanya menenangkan hati Emelia.
"Kau sudah siap, sayang? Kita akan berangkat begitu fajar menyingsing," kata Gideon sambil hendak menyentuh pipi Emelia.
Emelia menghindar dengan sentakan kasar. Matanya yang sembab kini menatap Gideon dengan kebencian yang mendalam. "Jangan sentuh aku, Jasper Gideon."
Senyum Gideon memudar, digantikan oleh kerutan bingung. "Emelia? Ada apa? Kau masih syok karena kabar ayahmu—"
"Ayahku mati karena kau ingin memilikiku sepenuhnya, bukan?" potong Emelia, suaranya melengking tajam di aula yang sunyi. "Kau membunuhnya karena dia tidak ikhlas menyerahkanku padamu! Kau membungkamnya agar rahasia ibuku tetap menjadi senjatamu untuk mengendalikan aku!"
Suasana di aula itu mendadak mencekam. Para prajurit The Night Hawks yang berada di sana tertunduk diam, dan rahang Gideon mengeras seketika. Ruangan itu menjadi begitu sunyi hingga suara napas Emelia yang memburu terdengar jelas.
Gideon tidak membantah dengan cepat. Ia hanya menatap Emelia dengan pandangan gelap yang sulit diartikan. "Siapa yang memberitahumu hal itu, Emelia?"
"Jadi itu benar?!" teriak Emelia histeris. Ia mengangkat kunci perak dan kalung ibunya tinggi-tinggi. "Kau ingin aku menjadi ratumu agar kau bisa menguasai kerajaan melalui aku! Kau sama saja dengan Raja! Kau sama saja dengan Nyonya Bernie!"
Emelia melempar kunci perak itu ke arah dada Gideon. "Aku membencimu! Aku lebih baik mati di tangan agen Raja daripada hidup sebagai tawanan seorang pembunuh!"
Emelia berbalik dan berlari menuju kegelapan fajar, meninggalkan kastil dan pria yang ia cintai—pria yang ternyata adalah ular paling berbisa dalam hidupnya.
Gideon hanya berdiri diam, menatap kunci perak yang tergeletak di lantai. Ia tidak mengejarnya. Ia hanya berbisik pelan pada komandannya, "Pastikan dia tetap dalam pengawasan. Jangan biarkan dia tahu... bahwa dunia luar jauh lebih kejam daripada kebenaran yang baru saja ia dengar."
Dendam Emelia kini bukan lagi tertuju pada Raja atau Anna, melainkan pada pria yang memegang seluruh hatinya.