Lolly Zhang, seorang dokter muda, menikah dengan Chris Zhao karena desakan keluarga demi urusan bisnis. Di balik sikap dingin, Chris sebenarnya berusaha melindungi istrinya. Namun gosip perselingkuhan, jarak, dan keheningan membuat Lolly merasa diabaikan.
Tak pernah diterima keluarga suaminya dan terus disakiti keluarganya sendiri, Lolly akhirnya nekat mengakhiri pernikahan tanpa hati itu.
Akankah cinta mereka bersemi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
“Lolly, jangan melawan Mama!” suara berat itu terdengar dari arah jendela.
Pria muda yang menatap tajam ke arah Lolly. Dialah Dicky, kakak kedua Lolly.
“Anak pembawa sial! Kalau bukan karena kau, semua ini tidak akan terjadi! Kakakmu tidak akan meninggal, dan aku tidak akan kehilangan seorang putra!” bentak Nacy dengan suara bergetar.
“Dua puluh tahun sudah berlalu, Ma. Sampai kapan harus seperti ini? Setiap kali Mama marah, Mama selalu berakhir di rumah sakit. Kesehatan Mama lemah, tapi Mama sendiri yang tidak mau menjaga diri.”
Suaranya bergetar, namun jelas.
“Aku lelah, Ma. Hidupku tidak santai seperti yang Mama pikir. Aku juga dihantui kejadian itu setiap hari!”
Nacy menatapnya tajam. “Dihantui? Kau pikir aku tidak? Aku yang kehilangan anak, Lolly! Aku yang menyesal seumur hidup! Dan sekarang setelah menikah dengan pria kaya, kau jadi sombong dan melupakan keluarga sendiri!”
Lolly menggeleng perlahan, tersenyum pahit.
“Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Mama yang selalu berpikiran buruk tentangku.”
“Lolly, cukup! Jangan melawan mamamu lagi!” suara Eric, ayah mereka, menggelegar memecah ketegangan.
Lolly menatap ayahnya, suaranya mulai pecah.
“Aku hanya bicara jujur, Pa. Selama ini Mama selalu menuduhku atas sesuatu yang bukan salahku. Hanya karena kecelakaan itu… aku harus hidup dalam rasa bersalah seumur hidup!”
Dicky mendengus sinis.
“Jangan merasa besar hanya karena jadi dokter dan menikah dengan pria kaya. Kau pikir kau sudah di atas langit?”
Lolly menatapnya dengan tatapan getir.
“Memang benar. Anak kesayangan Mama seperti kau—sangat mirip dengannya.” Ia menghela napas berat. “Iya, aku orang luar. Kalian bertiga satu keluarga."
Ia berbalik, melangkah menuju pintu. Namun langkahnya tertahan oleh suara ayahnya yang berat dan berwibawa.
“Berdiri di sana!” titah Eric dengan nada tegas.
Lolly berhenti di ambang pintu, tapi tak menoleh.
“Di mana Chris? Kenapa dia tidak datang di hari ulang tahunku? Dan bagaimana kau bisa menjadi seorang istri kalau suamimu malah berkencan dengan artis?” nada suaranya dingin dan penuh sindiran.
Lolly menarik napas panjang, menahan getir.
“Dia pria dewasa, Pa. Ingin berpacaran dengan siapa pun, itu bukan urusanku.”
Dicky tersenyum miring sambil mengeluarkan ponsel dari saku jasnya.
“Lihat ini, Pa, Ma. Artis itu cantik dan seksi. Lolly bahkan tidak bisa menyaingi ujung rambutnya. Siapa yang tidak tertarik pada wanita seperti itu—terutama pria seperti Chris Zhao.”
“Terserah kalian mau berkata apa. Kalau ingin menemuinya, silakan saja," jawab Lolly.
“Karena aku akan segera memutuskan hubungan ini.”
“Lolly!” Nacy membentak keras, wajahnya memerah.
“Kau tidak bisa melakukan itu! Bisnis di antara kedua keluarga sudah berjalan bertahun-tahun. Aku tidak peduli kalau dia berselingkuh atau membawa wanita lain ke rumah! Kau tetap tidak boleh berpisah dengannya. Kau harus mendapatkan hatinya kembali!”
Lolly menatap ibunya dengan mata basah namun penuh tekad.
“Sejak kecil Mama suka mengatur hidupku. Bahkan pernikahanku pun bukan pilihanku. Tapi kali ini aku tegaskan—aku tidak akan mempertahankan pria yang tidak setia. Kalau Mama mau, Mama saja yang menikah dengannya!”
“Diam di sana!” bentak Nacy lagi.
"Ingat kataku, kalau lain kali Mama masih menyakitiku, aku sebagai dokter akan menuntutmu atas penyerangan," kecam Lolly
Ia berbalik dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban.
Dicky yang marah bergegas mengejarnya.
“Lolly Zhang!” serunya keras, suaranya bergema di sepanjang koridor putih yang sunyi.
Namun Lolly terus berjalan tanpa menoleh, menahan air mata yang hampir jatuh.
Langkah sepatu Dicky bergema cepat di koridor rumah sakit yang mulai sepi.
“Lolly!” suara itu tegas, dingin, dan sarat emosi.
Lolly berbalik dengan wajah lelah, matanya memerah karena menahan amarah.
Dicky berdiri di hadapannya, napasnya sedikit memburu.
“Kematian kakak pertama adalah karena ulahmu,” ucapnya tanpa basa-basi. “Kau berhutang pada keluarga ini. Kau harus melunasi hutangmu!”
“Apakah belum cukup aku membayar semua itu?” tanya Lolly.
“Sejak kecil bagaimana perlakuan kalian padaku? Aku sudah menanggung rasa bersalah seumur hidup, berkorban demi keluarga ini, bahkan mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Apa lagi yang harus kulakukan, Dicky?”
Namun Dicky tidak tampak tergerak. Tatapannya tajam, suaranya menekan seperti perintah.
“Jangan pernah berpikir untuk bercerai dengan Chris. Kau harus mendapatkan hatinya... dan asetnya. Itu satu-satunya hal yang bisa menebus kesalahanmu.”
Lolly menatapnya tak percaya, lalu menepis tangan kakaknya dari lengannya.
“Aku tidak selicik itu. Aku tidak sehebat Mama atau kau dalam hal merebut yang bukan milik sendiri. Selama ini aku menggunakan semua tabunganku untuk membantumu masuk ke universitas. Semua biaya hidupmu, kebutuhanmu, bahkan biaya pengobatan Mama—aku yang menanggungnya. Kau disebut anak kebanggaan keluarga, tapi apa yang sudah kau lakukan, Dicky? Selain terus menekan dan mempermalukanku, apa?”
Dicky terdiam. Tatapannya goyah sesaat, tapi segera kembali dingin.
“Kau tetap berhutang, Lolly. Seberapa banyak pun yang kau lakukan, itu tidak akan pernah cukup untuk menebus nyawa kakak kita.”
“Apa kau yakin… kematian kakak pertama karena aku?” suaranya rendah.
Dicky tampak terkejut. Wajahnya memucat seketika, langkahnya refleks mundur satu langkah, seolah tersudut oleh tatapan adiknya sendiri.
Lolly melangkah mendekat, darah masih menetes perlahan dari luka di dahinya, namun ia tak peduli.
“Setiap saat kau mengingatkanku tentang kematiannya. Saat itu aku baru enam tahun, Dicky! Enam tahun!” suaranya bergetar hebat. "Dan kau—kau sudah sepuluh tahun. Katakan, apa kau benar-benar yakin anak berusia enam tahun mampu membunuh kakaknya sendiri?”
saya sudah vote
😄😄