Chen Tian, seorang pemuda dari Bumi yang lelah dengan hidup, terbangun dalam kegelapan. Ia terkejut menemukan dirinya terperangkap dalam tubuh seorang bocah enam tahun di dunia yang ia kenal dari cerita fantasi: Benua Douluo.
Awalnya ia bahagia karena terbebas dari beban hidup lamanya. Namun, Chen Tian menyadari bahwa ia tiba di Desa Roh Suci, tempat kelahiran sang protagonis, Tang San. Ia berada tepat di awal cerita.
Alih-alih mengikuti alur, Chen Tian memilih jalur mandiri. Selama setahun, ia menempa fisik kecilnya dengan latihan brutal dari kehidupannya yang lalu, membangun fondasi yang jauh melampaui Master Roh pemula.
Pada Upacara Kebangkitan Roh Bela Diri, takdir Chen Tian meledak:
Roh Bela Diri Ganda yang sangat tersembunyi: Monyet Batu Ling Ming dan senjata dewa, Tongkat Ruyi Jingu Bang.
Kekuatan Roh Bawaan Tingkat 20
serta warisan teknik sembilan misterius xuangong.
berbekal warisan dan wuhun tingkat dewa apakah Chen Tian bisa menjadi legenda baru ???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kentut bulu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kematian sunyi dikamar yang sempit
Udara di kamar sewanya terasa pengap, lembap, dan dingin.Tirai jendela yang sudah usang tidak mampu menghalangi cahaya matahari, membuat ruangan gelap dan suram, hanya diterangi seberkas cahaya redup yang masuk melalui celah pintu.
Di tengah kegelapan itu, di atas kasur tipis dengan pegas yang sudah keluar, terbaring Chen Tian.Tubuhnya terlihat kurus, tulangnya tampak menonjol di balik kulitnya yang kendur. Wajahnya tampak lelah, matanya cekung, mencerminkan kelelahan fisik dan mental yang telah lama dirasakannya. Ia tampak seperti seorang pemuda yang baru saja mengalami kekalahan besar dalam hidup.
Dua tahun lalu, Chen Tian datang ke kota besar ini dengan harapan tinggi dan membawa ijazah dari salah satu universitas terbaik dan ternama di wilayah tersebut, sebuah pencapaian yang seharusnya menjamin masa depannya.
Dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang cukup baik, ia yakin banyak perusahaan akan membuka pintu untuknya.Namun, kerasnya kehidupan di ibu kota segera membuatnya terpukul.Setelah lulus, mencari pekerjaan yang layak bukan lagi sekadar tantangan, melainkan rangkaian kekecewaan yang tak berujung. Ia tidak terlalu pilih-pilih, selama ada lowongan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya, bahkan yang sedikit berbeda, ia selalu mendaftar.
Dari perusahaan multinasional yang megah di gedung pencakar langit hingga kantor kecil di kawasan industri yang kumuh, Chen Tian telah mencoba semuanya. Puluhan lamaran, belasan wawancara, namun setiap kali ia hampir berhasil, selalu ada hambatan tak terlihat yang menghalanginya.Hambatan itu sering kali berupa koneksi atau orang dalam, atau kebutuhan untuk menyuap.
Dalam beberapa wawancara, ia sempat merasa optimis ketika pewawancara terkesan dengan pengetahuannya.Namun, optimisme itu selalu sirna ketika ia diminta membayar biaya administrasi tambahan atau mendengar kabar bahwa posisi tersebut sudah diisi oleh kerabat seorang direktur.
Harga dirinya terus terkikis setiap kali ia harus menerima kenyataan bahwa kemampuan dan prestasi akademisnya hampir tidak berarti dibandingkan dengan jaringan pertemanan atau kekayaan.Keputusasaan perlahan merayap, memadamkan semangatnya.Awalnya, ia penuh harapan dan sering menelepon orang tuanya di kampung halaman, meyakinkan mereka bahwa ia akan segera mendapatkan pekerjaan impian dan mengirimkan uang.Sekarang, teleponnya jarang berdering, dan jika ia mengangkatnya, ia berbohong dengan senyum palsu, mengatakan bahwa ia sedang dalam proses finalisasi kontrak.Namun, kebohongan itu menyakiti dirinya sendiri dan orang tuanya.
Masalah yang dihadapinya sekarang jauh lebih mendesak: kemiskinan. Uang tabungannya hampir habis, bahkan tabungan darurat yang ia kumpulkan selama kuliah pun telah terkuras.Biaya mencari kerja di kota ini ternyata sangat besar. Setiap kali ia pergi, ada biaya transportasi, fotokopi dokumen, membeli pakaian yang pantas untuk wawancara, dan yang terpenting, biaya makan sehari-hari.Sebagai seorang perantau, ia tidak memiliki jaminan sosial.
Chen Tian menyewa kamar di pinggiran kota, jauh dari pusat bisnis, untuk menghemat biaya sewa.Akibatnya, ia harus menghabiskan banyak waktu dan uang untuk naik bus bolak-balik. Sejak kedatangannya, ia tidak memiliki teman dekat atau kerabat di sini.Lingkungan kosnya dipenuhi oleh para pekerja yang sibuk dengan urusan masing-masing, membuatnya merasa semakin terisolasi.Ia membalikkan tubuh di kasur, merasakan sakit di punggungnya akibat beban hidup.
Pandangannya kosong menatap langit-langit yang kusam.“Haaah,” desahnya berat, suaranya serak. “Sungguh menyedihkan hidup di negeri ini. Apakah ini balasan atas semua kerja kerasku selama ini?”
Chen Tian selalu menjadi siswa yang rajin. Ia percaya pada sistem belajar keras, mendapatkan nilai bagus, lulus dari universitas terkemuka, dan mendapatkan imbalan yang setimpal. Keyakinan itu mulai goyah.
Ia berpikir bahwa dengan lulus dengan predikat cum laude atau setidaknya dengan nilai yang baik, pintu kesuksesan akan terbuka lebar.
Namun, ia sangat keliru. Di pasar kerja yang kompetitif ini, nilai di ijazah hampir tidak berarti jika tidak didukung oleh pengalaman yang relevan atau, yang lebih penting, koneksi yang kuat. Sebagai lulusan baru tanpa pengalaman kerja profesional, Chen Tian merasa berada di posisi yang sangat lemah.Kepalanya terasa sakit. Rasa lapar yang selama ini ia abaikan kini terasa semakin kuat. Ia bangkit perlahan dari kasur. Kakinya gemetar, namun ia memaksakan diri.
Kepala Chen Tian terasa berdenyut nyeri. Rasa lapar yang telah lama diabaikan kini terasa semakin menyiksa. Ia bangkit dengan susah payah dari tempat tidur. Kaki-kakinya bergetar, namun ia tetap memaksa diri untuk menuju sudut ruangan, tempat ia menyembunyikan minuman penenang.
Di bawah tumpukan pakaian kotor, ia menemukan sebotol minuman keras yang dibelinya dua hari lalu di warung dekat sini. Cairan jernih dengan aroma menyengat itu adalah cara cepatnya untuk meredakan beban pikiran.“Meskipun tidak memecahkan masalah apa pun,” gumamnya pada botol itu, seolah-olah botol itu adalah tempat ia berkeluh kesah, “setidaknya ini bisa sedikit meringankan perasaan sesak di dada.”
Ia membuka tutup botol itu dengan gerakan yang sudah sangat terbiasa.Cairan panas itu mengalir di tenggorokannya. Tegukan pertama terasa perih, namun tegukan berikutnya mulai menghangatkan perutnya. Alkohol mulai bekerja, menenangkan saraf-sarafnya yang tegang. Saat ia terus meneguk, wajahnya yang pucat mulai merona, dan bayangan penderitaan perlahan memudar.Dalam sekejap, kekecewaan karena gagal wawancara, tunggakan sewa, dan rasa lapar yang melanda, semuanya terasa kabur.
Hampir satu botol habis dalam waktu kurang dari lima belas menit. Perutnya terasa mulas, tetapi pikirannya terasa ringan, seolah beban berat telah terangkat.Setelah botol itu kosong, Chen Tian limbung. Ia tidak mampu lagi menopang tubuhnya dan ambruk kembali ke kasur dengan suara pelan.Kepalanya terasa berat dan berdenyut. Penglihatannya kabur, benda-benda di sekitarnya tampak meleleh, dan dunia terasa berputar kencang. Ia mencoba memejamkan mata, berharap pusing itu segera hilang. Tubuhnya terasa kebas, dan pikirannya semakin tenggelam dalam kegelapan.
Dalam keadaan lelah yang luar biasa, di bawah pengaruh alkohol yang membius kesadarannya, ia pun tertidur pulas. Napasnya terdengar berat dan teratur.
Di tengah kegelapan pekat, sebuah kejadian aneh terjadi.Gelombang energi dingin yang tak kasat mata menjalar dari ujung jari kakinya, meliputi seluruh tubuhnya. Kondisi kamarnya yang kotor dan suram tidak berubah.Namun, jiwa Chen Tian, yang telah kelelahan menanggung penderitaan di dunia nyata, secara diam-diam dan tanpa ia sadari, telah meninggalkan tubuhnya, dan melintasi dimensi menuju alam yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan.