Adaptasi dari kisah nyata sorang wanita yang begitu mencintai pasangannya. Menutupi segala keburukan pasangan dengan kebohongan. Dan tidak mau mendengar nasehat untuk kebaikan dirinya. Hingga cinta itu membuatnya buta. Menjerumuskan diri dan ketiga anak-anaknya dalam kehidupan yang menyengsarakan mereka.
Bersumber, dari salah satu sahabat yang memberi ijin dan menceritakan masalah kehidupannya sehingga novel ini tercipta untuk pembelajaran hidup bagi kaum wanita.
Simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Pinjam Uang
Bab 3. Pinjam Uang
POV Lola
Seminggu kemudian.
Jemin sudah diterima bekerja di sebuah Hotel, dan sudah berjalan satu minggu lamanya dia bekerja disana. Aku senang dia mendapat pekerjaan, tapi aku jadi sedikit repot karenanya.
Jemin bekerja dengan menggunakan motorku karena motornya belum selesai di perbaiki dengan alasan menunggu sperpat datang dari luar kota seminggu lamanya. Akibatnya, aku sering datang terlambat ke tempat kerja ku karena menyesuaikan jam kerja Jemin.
Aku ditegur oleh pemilik kafe karena sering terlambat. Dan demi bisa ke tempat kerja tepat waktu, aku terpaksa naik ojol. Dan akibatnya, uang ku yang harusnya untuk bisa bertahan seminggu lagi, kini sudah nggak bersisa.
"Kenapa La, muka mu kok murung lagi? Aku dengar kamu di tegur sama Pak Dino ya? Kenapa sih La, belakangan ini kamu sering terlambat?"
Yuni teman kerjaku bertanya padaku.
"Jemin meminjam motorku buat bekerja. Jadi aku dan dia kesulitan mengatur waktu, apalagi kadang jadwal shift kami berbeda-beda."
" Loh, motor Jemin kemana?"
"Belum selesai di bengkel."
"Kenapa dia nggak minta di antar keluarganya saja?"
Aku terdiam sejenak. Seharusnya sih Suly bisa mengantar Jemin bekerja bergantian dengan ku. Tapi aku juga nggak mengerti hubungan kakak beradik itu. Suly tampak acuh kepada Jemin. Dia hanya memperhatikan adik bungsu mereka saja yang masih duduk di kelas 4 SD, si Lily.
Jadi aku merasa kasihan dengan Jemin. Hanya ibunya saja yang masih memperhatikan selayaknya seorang Ibu menyayangi anak-anak mereka. Tetapi ibunya juga nggak bisa menggunakan kendaraan, dan Ayahnya pun sudah tiada. Karena itu, aku nggak bisa mengharapkan orang lain untuk membantu Jemin, meskipun itu keluarganya.
Tentunya, masih ada sanak saudara Jemin yang lain dari sebelah Ibu maupun Ayahnya. Tetapi sekali lagi, mereka juga punya urusan dan hal penting lainnya karena mereka masing-masing sudah punya keluarga. Dan mereka juga nggak tinggal serumah maupun berdekatan dengan tempat tinggal Jemin.
Dan lagi pula pastinya, nggak bisa juga selalu meminta bantuan saudara. Apalagi dalam hal urusan pribadi seperti pekerjaan. Karena mereka pun juga harus berkerja.
Ini adalah kondisi umum dan hampir sebagian banyak orang mengalaminya.
"Saudara juga sibuk." Jawabku.
"Susah juga ya. Tapi bagaimana pun, sebaiknya Jemin pakai motor sendiri. Kalau nggak, bisa-bisa kamu di pecat loh La kalau keseringan terlambat."
"Iya, aku tahu. Terima kasih sudah mengingatkan."
Namun aku hanya bisa mendengar nasehat temanku tanpa bisa merealisasikannya. Sudah aku tanyakan lagi kepada Jemin perihal motornya yang terlalu lama berada di bengkel. Tapi lagi-lagi kata Jemin masih ada kerusakan lain yang harus di perbaiki.
Karena Jemin terus-menerus menggunakan motorku, akhirnya pengeluaran pun nggak bisa di hindarkan. Jemin yang baru bekerja dan belum gajian setiap hari meminta uang padaku untuk mengisi bahan bakar motorku.
Aku serba salah, aku kesal tapi aku tidak nggak bisa marah dan takut dia kecewa padaku. Aku nggak ingin dia marah, yang dapat memicu kami bertengkar dan saling diam membisu. Apalagi sampai nggak bertemu, bisa mati aku menahan rindu. Karena jujur, merindu dan takut kehilangan Jemin adalah hal besar yang bisa membuat goyah hari-hari ku dan kehilangan semangat untuk beraktivitas.
Lalu hari ini, ku putuskan mendatangi rumah Airin. Hari ini sengaja aku mengantar Jemin dan menjemputnya esok pagi karena kebetulan dia dapat giliran shift malam. Sedangkan aku, baru saja selesai bekerja karena bertugas di shift pagi.
Aku tahu Airin nggak suka Jemin. Akan ribet urusannya bila datang bersama Jemin karena sejujurnya saat ini aku butuh bantuan sepupu ku itu untuk meminjam uang padanya.
"Assalamualaikum..."
Aku masuk setelah mengucapkan salam. Malam itu pintu rumah sedang terbuka dan ada Airin serta Umi nya sedang menonton televisi di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang bersantai di rumah itu beserta anak-anak.
"Waalaikumsalam..." Jawab mereka secara serempak.
"Lola, sini duduk. Sudah makan?"
Umi selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap kali aku datang kesini.
"Sudah Umi."
Padahal aku belum makan malam. Aku terpaksa berbohong. Lalu aku pun duduk di dekat mereka.
"Bang Herlan kemana? Nggak kelihatan."
Tanyaku berbasa basi. Akan malu bila aku ketahuan meminjam duit pada istrinya. Jadi ku pastikan dulu keadaan rumah ini.
"Abang lagi keluar. Nganterin sablon pesanan orang." Jawab Airin.
Baguslah. Aku sedikit tenang mendengarnya.
"Lola, di tempat kerja mu ada toko pakaian yang baru buka kan? Aku lihat di medsos. Banyak yang sudah pergi ke sana, komentar mereka pada bilang murah dan kualitas juga lumayan bagus. Kapan-kapan kita kesana yuk? Aku mau cari kemeja buat ganti-ganti untuk bekerja." Ajak Airin.
Ah, boro-boro aku bisa belanja. Sekarang saja aku datang kesini mau pinjam uang karena kekurangan. Mana gajian masih 6 hari lagi.
"Tunggu pas gajian ya. Kalau dalam minggu ini, dompet ku sekarat perlu asupan. Hehehe..."
"Beras mu masih Lola?" Tanya Umi.
"Kayak masih Umi. Tapi kalau boleh, mau pinjam uang aja. Sampai gajian nanti baru Lola ganti."
Meski malu tapi aku sudah lama membuang harga diriku karena aku sudah menganggap Airin dan Umi bukan orang lain karena hanya mereka keluarga ku yang paling dekat di kota ini. Dan juga paling dekat di hatiku.
Umi yang merupakan Kakak dari ibuku sudah ku anggap sebagai pengganti ibuku juga.
"Gajian ya La nanti kita pergi ke toko itu." Ajak Airin.
Aku sebenarnya juga ingin kesana. Dan kalau sudah gajian, aku pun setuju dengan ajakan Airin.
"Boleh." Jawabku.
"Makan gih La, Umi masak banyak tadi. Rin, ajak Lola makan." Ujar Umi, kemudian beliau berdiri dan meninggalkan kami.
"Ayo La, Umi tadi ada masak pepes ikan sama ayam goreng. Kamu kan suka pepes ikan." Ajak Airin.
"Beneran aku sudah makan. Aku masih kenyang." Lagi-lagi aku berbohong. "Tapi bungkus aja deh, siapa tahu nanti malam mau tidur lapar lagi. Hehehe..."
"Ya sudah, aku cari tempat dulu."
"Nggak usah pakai tempat Rin. Plastik aja, biar nggak repot cuci, tinggal buang aja." Ujar ku.
Aku malas cuci piring. Di rumah saja bekas kemarin masih numpuk.
"Ada nggak ya, plastik es batu? Bentar aku cari dulu."
Aku dan Airin menuju ke dapur. Airin mencari plastik sedangkan aku melihat lauk di bawah tudung saji. Benar-benar ada pepes ikan kesukaan ku. Rasanya cacing dalam perut seketika meronta-ronta mencium aroma khas pepes ikan.
Aku duduk di meja makan, dan mencomot tahu goreng.
"Beneran ini nggak mau makan? Aku ambilkan piring ya?" Tanya Airin melihat aku mengunyah tahu goreng.
"Nggak usah, aku masih kenyang."
"La, ini. Umi punya segini aja belum narik ATM. Cukup nggak sampai gajian?" Tanya Umi sambil meletakkan uang 200 ribu di atas meja.
"Cukup Umi." Jawabku.
"Jangan boros-boros La. Jangan banyak jajan apalagi traktir orang. Kalau ada uang lebih, baiknya di tabung saja. Punya tabungan kan bagus, sewaktu-waktu ada keperluan mendadak juga nggak perlu khawatir." Ujar Umi.
"Bener La, apalagi kamu ini paling sering traktir Jemin. Biar aja dia bayar sendiri La. Dia kan laki-laki, masa terus di traktir perempuan! Aku aja jalan sama Abang dulu nggak pernah Abang biarin aku bayar sendiri. Apalagi bayar makan kami berdua." Ujar Airin sembari membungkuskan makanan untukku.
Airin memang ceplas-ceplos. Sudah terbiasa aku dengan sikapnya ini. Apa yang dibilang Airin memang benar. Hanya saja, kondisi Abang dan Jemin berbeda. Jadi nggak ada salahnya kan bila aku terkadang membayar makanan dan minuman kami?
"Kamu sih enak Rin. Abang pekerjaannya mapan."
"Nggak juga kok, Abang masih berstatus kontrak. Tapi yang namanya laki-laki, kalau dia baik itu benar-benar bertanggung jawab. Bukan hanya lewat ucapan, tapi lihat dari sikap sama perbuatannya. Kalau kamu sering manjain pacarmu, lama-lama dia terbiasa dan sudah pasti kamu nggak akan bisa punya tabungan nanti."
Aku hanya diam seperti biasa kalau sudah mendengar mereka menasehati. Aku nggak boleh marah, karena mereka sebenarnya peduli padaku dan mereka lah selama ini yang selalu membantuku tiap kali aku kesusahan. Tapi ya gitu, aku kadang masih dengan jalan pikiran ku sendiri. Yah, tahan sedikit lagi saja.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
mayan buat iklan biar gk sepaneng kebawa pikiran yg lg ruwet🤭🤣