NovelToon NovelToon
Cinta Suci Aerra

Cinta Suci Aerra

Status: sedang berlangsung
Genre:Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:698
Nilai: 5
Nama Author: manda80

Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Butuh Ahli Waris

Setiap anak tangga yang kupijak terasa seperti sebongkah es yang menusuk telapak kakiku. Dingin, kaku, dan berat. Udara di sekelilingku seolah menipis, membuat setiap tarikan napas terasa sia-sia. Di ujung tangga, di balik pintu kamar yang sedikit terbuka itu, neraka pribadiku telah disiapkan. Aldo, pria yang beberapa jam lalu kusumpahi di hadapan Tuhan untuk menjadi pendamping hidupku, kini menjelma menjadi penjara paling kejam.

Langkahku terhenti di depan pintu kayu jati yang menjulang tinggi. Keraguan dan ketakutan berperang hebat di dalam dadaku. Haruskah aku masuk? Atau haruskah aku berbalik, berlari sejauh mungkin dari rumah megah yang terasa seperti sangkar emas ini?

“Aku tahu kamu sudah di sana, Aerra.”

Suara beratnya menembus daun pintu, menghancurkan sisa-sisa keberanianku. Tidak ada pilihan lain. Dengan tangan gemetar, kudorong pintu itu hingga terbuka sepenuhnya.

Ia sudah di sana, berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Jas pengantinnya sudah tanggal, menyisakan kemeja putih yang lengannya ia gulung hingga ke siku, memperlihatkan jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia tampak santai, seolah percakapan penuh ancaman beberapa menit yang lalu tidak pernah terjadi.

“Mas…” suaraku nyaris tak terdengar.

“Masuk,” perintahnya tanpa menoleh. “Dan tutup pintunya.”

Aku menelan ludah, melakukan persis seperti yang ia perintahkan. Suara pintu yang tertutup dengan bunyi ‘klik’ pelan terdengar seperti vonis mati di telingaku. Kini hanya ada kami berdua.

“Kemarilah,” ujarnya lagi, kali ini ia berbalik menatapku. Tatapannya masih sama, tajam dan menilai, seolah aku adalah sebuah properti yang sedang ia inspeksi kecacatannya.

Aku berjalan mendekat dengan langkah ragu. Setiap inci dari diriku menjerit untuk menjauh, tetapi bayangan Lika yang terjebak dalam genggamannya membuat kakiku terus bergerak maju.

“Duduk,” katanya, menunjuk tepi ranjang berukuran raksasa yang dihiasi kelopak mawar putih. Hiasan kamar pengantin yang seharusnya romantis kini terlihat seperti dekorasi di altar pengorbanan.

Aku menurut tanpa suara. Duduk di ujung ranjang, merasakan betapa dinginnya seprai sutra di kulitku. Aldo berjalan menghampiriku, lalu berjongkok di hadapanku. Posisi yang seharusnya intim itu justru terasa sangat mengintimidasi.

“Kamu takut padaku?” tanyanya dengan nada rendah.

Aku tidak menjawab, hanya menundukkan kepala. Aku tidak bisa menatap matanya.

“Aku tanya, apa kamu takut padaku, Aerra?” Ia mengulang, kali ini jarinya mengangkat daguku dengan paksa, membuat kami saling bertatapan.

“I-iya…” cicitku jujur.

Bukannya marah, ia malah tersenyum tipis. Senyum yang tidak membawa kehangatan sama sekali. “Bagus. Rasa takut itu perlu. Rasa takut akan membuatmu ingat posisimu. Ingat aturan mainnya.”

“Aturan apa?” tanyaku bingung.

“Aturan dalam pernikahan kita,” jawabnya, bangkit berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir di hadapanku seperti singa yang mengitari mangsanya. “Aturan pertama, Di depan umum, di depan keluarga, di depan siapa pun, kita adalah pasangan paling bahagia di dunia. Kamu adalah Nyonya Aldo yang sempurna, yang memuja suaminya. Tidak ada lagi insiden garpu jatuh atau tatapan kaget. Mengerti?”

Aku mengangguk cepat. “Mengerti, Mas.”

“Aturan kedua,” lanjutnya, berhenti tepat di depanku. “Tidak ada nama Windu di rumah ini. Tidak dalam percakapan, tidak dalam pikiranmu, tidak di hatimu. Pria itu sudah jadi masa lalu. Anggap dia sudah mati. Apa itu juga jelas?”

Dadaku terasa sesak mendengar namanya disebut dengan begitu enteng oleh Aldo. “Tapi…”

“Tidak ada tapi, Aerra!” bentaknya, suaranya yang tiba-tiba meninggi membuatku tersentak kaget. “Aku tidak membeli istri yang hatinya masih disewakan untuk pria lain! Investasiku terlalu besar untuk itu.”

“Aku bukan barang yang bisa Mas beli!” seruku, emosi yang tertahan akhirnya meledak juga.

Ia tertawa sinis. “Oh, ya? Lalu perjodohan ini apa namanya kalau bukan transaksi? Ibumu menjualmu padaku demi status dan kekayaan, dan aku membelimu untuk mendapatkan istri. Kita berdua tahu itu.”

Kata-katanya menamparku lebih keras dari tamparan fisik. Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga.

“Kenapa Mas lakukan ini? Kenapa Mas harus sekejam ini?” isakku.

“Karena aku benci pengkhianatan,” ucapnya, kembali berjongkok di hadapanku. Kali ini, ia mengusap air mataku dengan ibu jarinya, sentuhan yang terasa seperti sengatan listrik. “Aku memberimu segalanya, Aerra. Kemewahan, kehormatan, nama baik. Dan sebagai balasannya, aku hanya minta satu hal, kesetiaan. Bukan hanya tubuhmu, tapi juga citramu. Pertunjukanmu hari ini adalah bentuk pengkhianatan kecil. Dan aku tidak menoleransi itu.”

“Aku nggak bermaksud begitu, Mas. Aku cuma…”

“Cukup,” potongnya. “Aku tidak tertarik dengan alasanmu. Aku hanya tertarik pada solusinya. Dan solusinya adalah memastikan kamu tidak akan pernah mengulanginya lagi.”

Ia bangkit, lalu mengulurkan tangannya padaku. “Sekarang, aturan ketiga dan yang paling penting.”

Aku menatap tangannya dengan nanar, tidak mengerti apa maksudnya.

“Kamu adalah istriku. Kamu punya kewajiban. Dan malam ini, kamu akan mulai membayar kewajiban pertamamu,” katanya dengan nada final.

Jantungku serasa berhenti berdetak. “Nggak… Kumohon, Mas… Jangan malam ini. Aku… aku belum siap.”

“Kapan kamu akan siap? Setahun? Dua tahun? Menunggu gembel itu kembali dari luar negeri?” cibirnya.

“Bukan begitu! Aku cuma… lelah…” elakku lemah.

“Aku juga lelah, Aerra. Lelah bersandiwara seharian ini,” sahutnya dingin. “Pernikahan ini butuh ahli waris. Asetku butuh penerus. Dan itu adalah tugasmu untuk memberikannya padaku. Cepat atau lambat. Jadi kenapa tidak kita mulai saja dari sekarang?”

Ia menarik tanganku dengan kasar, memaksaku untuk berdiri. Tubuhku gemetar hebat. Ini bukan malam pertama yang pernah kubayangkan.

“Aku mohon, Mas… Beri aku waktu…” pintaku sekali lagi, suara bergetar karena tangis.

Aldo menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Matanya menatapku lekat, seolah ingin menelanjangi jiwaku. “Waktumu sudah habis sejak kamu menjatuhkan garpu itu, Sayang. Malam ini, kamu akan belajar bahwa setiap tindakan ada konsekuensinya. Terutama tindakan yang mempermalukan suamimu.”

Ia tidak memberiku kesempatan untuk melawan lagi. Ia mendorongku perlahan ke ranjang, tubuhnya yang besar dan kokoh mengurungku tanpa ampun. Aroma parfumnya yang mahal terasa menyesakkan, mematikan seluruh inderaku kecuali rasa takut.

Malam itu, di atas ranjang yang seharusnya menjadi saksi cinta, aku kehilangan segalanya. Aku bukan lagi Aerra. Aku hanyalah Nyonya Aldo, sebuah boneka pajangan yang harus membayar lunas harga untuk kehidupan mewah yang tidak pernah kuinginkan.

Ketika semua berakhir, ia bangkit dan mengenakan kembali kemejanya dengan tenang, seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Sementara aku hanya bisa meringkuk di bawah selimut, memeluk tubuhku yang terasa asing, menahan isak tangis yang mengancam akan merobek kerongkonganku.

Ia berjalan menuju pintu, sepertinya akan keluar dari kamar. Aku sempat merasakan suatu harapan bahwa siksaan ini telah usai untuk malam ini.

Namun, tepat di ambang pintu, ia berhenti dan menoleh ke arahku yang masih terbaring tak berdaya. Wajahnya diselimuti bayangan, hanya matanya yang berkilat di bawah cahaya lampu yang temaram.

“Oh, satu hal lagi, Aerra,” ujarnya dengan nada ringan yang mengerikan. “Lain kali kalau kita bicara tentang Windu, tolong beri tahu aku detail yang benar.”

Aku menatapnya dengan bingung, tidak mengerti.

“Dia tidak di luar negeri untuk mengejar karir,” lanjut Aldo, sebuah senyum miring terukir di bibirnya. “Dia di Jerman, mengambil beasiswa S2 Teknik Mesin di Universitas Teknik Munich. Benar, kan?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!