Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.
Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.
Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diluar Pusat Hutan
Setelah tiba di garis pemisah antara daratan dan perairan, kera berlengan empat itu melempar Hao dengan kasar ke dalam danau.
Kera itu berteriak, “Bocah, berenang ke arah matahari terbit!....semoga masih hidup”
Hao, yang dilempar dengan kasar, mulai ingin mengeluh. Namun ketika melihat kera berlengan empat itu berjalan di atas air, ia sontak terkejut seolah menemukan hal baru.
Hao mendekat dengan bersemangat dan bertanya : “Ibu kera yang baik hati, ajari aku caranya berjalan di atas air”
Bugh!
Suara pukulan membuat Hao hampir tenggelam. Ia tidak bertanya lagi dan langsung berenang ke arah matahari terbit.
-----
Setelah satu jam berenang tanpa henti. Ia akhirnya sampai di bagian lain hutan iblis dan ebelum sempat berbaring,
Plak! Thok! Plup!
Suara berbagai jenis buah-buahan mulai menghujani dan menabrak tubuhnya yang masih kelelahan.Tiba-tiba sebuah suara akrab masuk ke telinganya.
“Cepat makan, perjalanan kita masih jauh. Jangan terkejut… ini Ibu kera. Setelah selesai makan, pergilah ke arah utara.”
Mendengar itu, Hao menghela napas panjang, lalu dengan rakus mulai melahap semua buah-buahan yang ada.
Setelah makan, Ia mengamati lingkungan sekitar dengan teliti, namun tidak menemukan kera berlengan empat yang dikenalnya.
Hao sendiri bukan orang bodoh; ibu keranya pasti sedang mengamati dari kejauhan. Oleh karena itu, Ia langsung melompat ke atas pohon. Dengan memanfaatkan ranting-ranting pohon, ia bergerak ke arah utara.
Sejak usia dua tahun, ia sering berlatih menggunakan tangannya untuk berayun dari satu cabang ke cabang lain seperti ibu keranya. Seiring bertambahnya usia, ia menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari dengan melompat cepat di atas puncak pohon sendirian.
Selama proses latihan itu, Hao sering terluka, namun karena aura kehidupan yang pekat dan murni, lukanya cepat sembuh dan tubuhnya bertambah kuat dari hari ke hari.
Dalam perjalanan, Hao menyaksikan seekor serigala tengah mengejar kelinci—kejar-mengejar yang menegangkan antara predator dan mangsa.
Di rawa-rawa, seekor buaya bersembunyi menunggu mangsa yang lengah. Tak jauh dari situ, pertarungan sengit terjadi antara ular dan macan. Sementara dilangit, burung-burung beterbangan dengan panik, seolah menyingkir dari ancaman yang akan datang.
Hao menatap semua itu dengan mata terbuka lebar. Ia perlahan berhenti dan mulai mengamati setiap gerakan dan suara dengan seksama. Ia tampak terpaku oleh ketegangan dan keindahan alam yang terpampang di hadapannya. Setelah cukup puas, ia bergerak melanjutkan perjalanannya.
Waktu berlalu, matahari mulai bergeser ke barat. Akhirnya, Hao tiba di puncak sebuah bukit. Setelah merasa cukup aman, ia duduk di atas batu, beristirahat, menunggu kedatangan ibu keranya.
Grrrr! Kruk-kruk!
Tiba-tiba perutnya menderu tanpa henti, seolah menuntut sesuatu yang nyata untuk diisi. Namun, setelah menunggu cukup lama, ibu keranya tidak kunjung datang.
Hao hanya bisa menghela napas kecewa, lalu berjalan menuruni bukit untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan.
Setelah cukup lama mencari, ia tidak mendapatkan apapun berdasarkan kemampuan yang dimilikinya saat ini.
Dengan langkah berat, ia berjalan menghindari daerah-daerah yang dihuni beberapa binatang ganas dan akhirnya sampai di sebuah sungai kecil dan minum dengan rakus.
Setelah cukup puas, ia kembali ke puncak bukit sebelumnya.
Sesampainya disana, Hao akhirnya melihat ibu keranya yang duduk santai menikmati buah-buahan yang ia kumpulkan.
Mata Hao tiba-tiba memerah. Tanpa sadar, ia melompat ke dalam pelukan kera itu, lalu mulai mengeluh tentang betapa susahnya hidup di alam liar.
Mendengar keluhan-keluhan itu, kera berlengan empat hanya bisa menghela napas. Ia menyerahkan beberapa buah-buahan dan mulai menasihatinya.
“Bocah… tidak… Hao, bukankah aku sudah memberitahumu tentang cara bertahan hidup di hutan ini?”
“Tubuhmu memang lemah dan kecil, tapi kecerdasanmu berkembang lebih baik dari spesies lain. Kenapa tidak menyimpan beberapa makanan? Kenapa tidak memetiknya? Ketika ada seekor kelinci, kenapa tidak memburunya? Selama perjalanan, kamu tenggelam dalam hal-hal baru sampai lupa akan kebutuhanmu sendiri. Aku tidak bisa menyalahkanmu, mungkin ini sifat bawaan manusia, tapi ini hutan iblis, di mana kelemahan adalah dosa. Tidak ada baik dan buruk, hanya ada hidup dan mati. Paham?”
Hao mengangguk perlahan, meskipun mulutnya penuh dengan makanan. Ia menatap ibu keranya dengan mata yang mulai menyala, lalu berkata : “Paham,…Hao akan berusaha. Aku akan belajar bertahan hidup… untuk diriku sendiri” suaranya tegas dan penuh keyakinan.
Waktu berlalu, kegelapan mulai melahap cahaya.
Kera berlengan empat itu membawa Hao yang tengah tertidur akibat terlalu banyak makan.
Setelah sampai di wilayah para kera, ia masuk ke dalam gua, lalu meletakkan Hao di atas batu dengan hati-hati.
Sejak hari itu, Hao dirawat dengan penuh perhatian dan pengawasan. Setiap pagi, ia dibangunkan dengan lembut oleh sinar matahari yang menembus celah-celah daun hutan yang diiringi nyanyian burung yang seolah menyambutnya.
Hari-harinya diisi dengan perjalanan kecil menelusuri hutan yang rimbun, berburu, memetik buah-buahan dari wilayah lain, mempelajari suara angin di antara pepohonan, aroma tanah basah setelah hujan, dan kicau burung yang beraneka ragam. Selain itu, ia juga sering bermain dengan beberapa kera muda. Namun, ketika ia mengikuti kebiasaan kera muda tersebut, ibunya atau kera berlengan empat itu sering memukulnya dengan kasar, lalu memarahi nya.
Kini usia Hao hampir genap enam tahun.
Selama satu bulan terakhir, ia sering datang ke pinggiran hutan iblis, mengamati kehidupan manusia di sebuah desa kecil. Ia sangat tertarik terhadap seorang gadis kecil berusia lima tahun yang selalu ceria setiap hari.
Meskipun telah mengamati cukup lama, Hao hanya menganggap mereka musuh. Namun, ketika menatap wajah ceria gadis kecil itu, ada perasaan aneh yang muncul, membingungkan dirinya sendiri.
-----
Suatu pagi, saat Hao ingin mengamati desa dari kejauhan, ia menyadari ada kepulan asap tebal membumbung ke langit. Dengan cepat ia melompat dari pohon ke pohon, mendekati desa tersebut.
Sesampainya di sana, pemandangan yang ia lihat membuatnya terhenti sejenak: rumah-rumah yang hancur, atap yang runtuh, dan orang-orang berlarian panik menghindari kehancuran yang baru saja menimpa mereka.
Dengan hati-hati, Hao menelusuri reruntuhan desa tersebut. Bau debu dan asap menyengat hidungnya, namun hatinya menuntun untuk bergerak lebih jauh. Di antara puing-puing, terdengar banyak tangisan lemah anak-anak dari berbagai arah.
Hao segera melompat turun dan menemukan gadis kecil yang selalu ia amati terbaring di tanah, tubuhnya lemah dan berlumuran darah.
Mata gadis kecil itu terbuka lemah, ketika melihat tatapan Hao, ia merasakan sesuatu yang tidak asing.
Gadis itu menatapnya. “Perasaan ini… ternyata itu kamu… kera… tidak… kamu manusia,” suaranya hampir tak terdengar, terputus-putus di antara nafas yang tersisa.
Hao menunduk dan menatap gadis itu. Ia tidak menangis, tidak ada rasa takut atau simpati, karena hidupnya di hutan iblis telah membuatnya terbiasa dengan kematian. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang bergerak dalam hatinya—sebuah perasaan yang asing, getir, dan menekan dada.
“Bisakah kamu… membantuku?” suara gadis itu terdengar lemah, nyaris seperti bisikan.
Hao menatapnya dalam diam, alu ia mengangguk perlahan sebagai tanda persetujuan.
Gadis kecil itu tersenyum tipis, meskipun nafasnya kian lemah, dan menunjuk ke arah jasad orang tuanya yang tergeletak tak bernyawa, “Tolong kubur aku… bersama ayah dan ibuku. Bisakan?”
Hao tidak mengatakan apapun. Ia hanya mengangguk dan terus menatapnya.
Gadis kecil itu perlahan menutup mata sejenak, menarik napas terakhir dengan lemah, lalu tersenyum ceria seperti yang selalu ia lakukan setiap hari.
“Terima kasih… Namaku Su Liqing. Semoga… di kehidupan selanjutnya… kita bisa berteman. Selamat—” Suaranya tiba-tiba terhenti. Rasa sakit menjalar ke setiap bagian tubuhnya, membuat napasnya tersengal. Seketika, air mata mengalir di pipinya.
“Sakit…aku...takut… aku tidak ingin mati…” suaranya serak penuh penderitaan.
Hao masih menunduk dan menatapnya dengan tenang. Meskipun hatinya terbiasa melihat kematian, ketika melihat ketakutan murni di mata itu. Ia secara tidak sadar duduk disamping gadis kecil itu, lalu mulai mengusap kepalanya dengan lembut.
Su Liqing terus mengerang lemah, “Aku… aku takut… aku tidak ingin mati…sakit...aku....tida...mau” suaranya serak dan air mata terus menetes di pipinya.
Hao menatap gadis kecil itu dengan datar dan untuk pertama kalinya dia berkata.
“Tenanglah…Aku di sini, kamu tidak sendirian.Pergilah dengan tenang” dari nadanya ada sedikit kehangatan.
Mendengar itu, gadis kecil itu mulai tenang dan menutup mata sejenak, menarik napas panjang yang tersisa, lalu tersenyum samar di tengah rasa sakit yang mencekam.
"Terima kasih… semoga… kamu hidup… bahagia,” bisiknya pelan.
Detik berikutnya, cahaya kehidupan di matanya perlahan padam, dan tepat saat itu, hujan turun deras, seakan langit ikut berduka atas kemalangan manusia, perlahan tetesannya memadamkan api yang menghanguskan desa.
Disisi lain, Hao masih menatap kematian gadis dengan perasaan campur aduk.