NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:208
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

misi penyergapan (1)

Malam itu bulan hampir bulat, cahayanya pucat tapi cukup untuk menyingkap bayangan gedung dan jalanan. Angin malam berhembus kencang, menyibak daun-daun kering dan menimbulkan desis di antara tiang listrik. Aroma bensin, asap kendaraan, dan sedikit uap hujan yang tersisa dari sore bercampur, menciptakan bau kota yang khas.

Jalan Semar Mesem, biasanya lengang, kini berubah sibuk dan tegang. Satu kilometer di utara gang diblokir oleh mobil polisi. Lampu sorot mereka menembus gelap, memantul di dinding-dinding gedung tua dan kendaraan yang melintas. Para petugas berjaga, tangan sesekali menempel di senjata, mata tajam menelusuri setiap gerakan. Di tengah kota, suara klakson mobil, sepeda motor yang melintas, dan percakapan samar warga terdengar dari gang samping.

Di sisi selatan blokade, kendaraan lain menepi, lampu rem dan sein berkelap-kelip. Suara langkah kaki dan pintu kendaraan terdengar jelas, bercampur suara ranting pohon yang terhempas angin. Suasana ramai tapi tegang—kota tidak pernah tidur, tapi malam ini terasa seperti menahan napas.

Langit-langit gang menahan gema suara kota. Teriakan sopir yang kesal karena macet, dentuman musik dari kendaraan yang lewat, bahkan gonggongan anjing dari pekarangan samping terdengar jelas. Semua suara itu menciptakan kontras: ramai tapi penuh tekanan, menambah rasa waspada setiap detik.

Bulan yang hampir bulat menyinari jalan, sementara lampu jalan dan kendaraan menciptakan bayangan yang bergerak liar di aspal. Angin malam membawa dingin, debu, dan aroma logam, menyatu dengan suara ramai kota, memunculkan ketegangan yang terasa nyata. Setiap orang yang melintas di gang tampak waspada, langkah kaki dan suara percakapan seperti saling bersaing dengan bisingnya kota.

Meski ramai, setiap detik terasa menahan napas. Bayangan bisa bergerak di pinggir gang, kendaraan berhenti mendadak menambah ketegangan, dan lampu sorot polisi memantul di permukaan kendaraan, memecah gelap dengan kilatan cepat. Kota malam ini terasa hidup sekaligus mengancam—setiap suara, gerakan, dan bayangan bisa menjadi pertanda sesuatu yang serius.

Di atas semua itu, bulan menyinari malam yang sibuk. Ramai tapi menegangkan, bercampur aroma, cahaya, dan suara kota yang tidak pernah tidur. Semuanya menciptakan atmosfer yang memaksa siapa pun untuk tetap waspada, menahan napas, dan siap menghadapi kemungkinan tak terduga di Jalan Semar Mesem.

Di bagian tengah blokade Jalan Semar Mesem, gedung apartemen 60 lantai, gedung Semar Mohawk, menjulang menakutkan di atas kerumunan kendaraan polisi dan ambulans yang berjajar rapi. Lampu sorot mobil polisi memantul di dinding kaca gedung, membentuk bayangan bergerak liar yang seakan menonton semua yang berada di jalan. Suara sirene bersahutan dengan klakson kendaraan, menciptakan hiruk-pikuk yang ramai tapi menegangkan.

Ambulans bergantian mengevakuasi rakyat sipil. Dari salah satu pintu, seorang wanita berhanduk berlari tergesa-gesa masuk, napasnya tersengal-sengal. Tangannya memeluk handuk erat, langkahnya cepat tapi canggung, seolah setiap detik bisa menjadi ancaman. Pintu ambulans menutup dengan keras, sirene meraung, kendaraan mundur perlahan di jalan penuh bising.

Dari dalam gedung terdengar suara beberapa peluru—“tak-tak-tak”—bergema di lorong beton. Suara itu menembus bisingnya kota, membuat orang menunduk dan mencari perlindungan. Bau logam dan debu mengisi udara, menciptakan ketegangan yang nyata.

Di pinggir jalan, mobil tentara MegatrucX bertulisan Jakartapolice berhenti mendadak. Lampu depan menyorot ke aspal basah, menciptakan garis cahaya yang bergerak mengikuti bayangan. Dari bak belakang truk, Juliar December turun. Logo segi lima menempel di lehernya, memantulkan cahaya lampu sorot dengan kilatan dingin.

Tubuhnya gemuk dan tinggi, seperti raksasa—atau sebut saja : Juliar pria gorila. Matanya tajam seperti pucuk busur, kepala hampir botak, kulitnya lebih gelap ketimbang Rom. Jenggot kriting panjang menutupi leher, bibir tebal menambah kesan galak. Setiap gerakan, setiap langkahnya, bergema di jalan, memberi aura dominasi yang membuat orang di sekitarnya menahan napas.

Ia mengarahkan pasukan dengan tegas, suara perintahnya berat dan penuh wibawa. Tangan menunjuk, tubuh bergerak mantap, setiap gerakan seperti menghitung detik, menyusun strategi dalam keheningan yang penuh tekanan.

Dari truk, sosok—Rom, Prakai, Shadaq, dan 12 orang teman-temannya—berpakaian militer gelap, lengkap dengan rompi anti peluru, turun tergesa-gesa. Mereka melompat dari kendaraan, mendarat mantap di aspal, kaki menekuk menyerap benturan. Napas terdengar berat, jantung berdebar, tapi mata tetap waspada, menelusuri setiap gerakan di sekitar blokade.

Tangannya menyentuh pergelangan, arloji menampilkan jam 11 lewat, cahaya angka memantul di lampu sorot, memberi penanda waktu yang menambah tegang suasana.

Langkah kaki mereka bergema di aspal, gesekan rompi anti peluru menghasilkan suara mendesing halus. Sirene, langkah kaki, suara evakuasi warga, tembakan dari gedung—semua berpadu menciptakan atmosfer ramai tapi menakutkan. Bayangan panjang menari di gedung, cahaya lampu sorot menambah kesan seram. Setiap gerakan bisa menjadi ancaman, setiap suara terasa signifikan.

Angin malam berhembus kencang, menyibakkan pakaian dan rambut. Aroma logam, debu, dan bensin memenuhi udara, bercampur dengan hiruk-pikuk kota yang ramai. Malam itu hidup, menegangkan, dan menyeramkan—seakan setiap detik bisa menentukan nasib yang tak terduga, di tengah blokade yang penuh tekanan dan misteri.

Gedung itu gelap gulita, dinding dan lorongnya nyaris terselimuti kegelapan. Lampu-lampu mati, mungkin listrik gedung dimatikan polisi untuk mencegah korban lebih banyak. Hanya suara langkah kaki mereka yang memecah sunyi, bergema di lorong panjang, menimbulkan gema seram di setiap sudut.

Tanpa basa-basi, suara tegas Juliar memecah kegelapan:

“Masuk bantu polisi, musuh di lantai 39!”

Rom dan pasukan tentara langsung bergerak, tubuh mereka bergerak sinkron. Pijakan kaki menapak di lantai beton, setiap detik terdengar jelas di lorong sunyi. Napas berat terdengar di balik masker dan helm mereka, adrenalin memenuhi setiap urat.

Mereka masuk ke tangga darurat, berlari cepat menanjak ke lantai 39. Tangan menempel di pegangan besi, kaki mendarat mantap di anak tangga. Bayangan bergerak liar di dinding akibat lampu senter yang mereka bawa, menciptakan siluet menakutkan.

Ruang tangga terasa sempit, dingin, dan lembap. Angin malam dari jendela darurat menghempas, membawa aroma logam dan debu. Setiap langkah terasa berat karena ketegangan, setiap detak jantung terasa lebih keras daripada suara langkah sendiri.

Rom dan Shadaq berada di posisi terdepan, napas mereka mulai terengah-engah meski baru menapaki lantai sepuluh. Tangan Rom mengusap matanya sejenak, keringat menetes di pelipis, tubuhnya masih berusaha menyesuaikan diri dengan ritme tangga yang panjang. Ia menoleh ke belakang, melihat barisan pasukan yang mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

Langkah kaki terdengar berat, napas tersengal-sengal, rompi anti peluru menambah beban di pundak mereka. Beberapa wajah memerah, tangan menggenggam pegangan tangga dengan erat.

Rom menegur dengan nada bercanda agar semangat mereka tetap terjaga:

“Oi, yang paling belakang pacarnya Siti!”

Seketika, tawa kecil terdengar di antara pasukan, senyum tersungging di bibir mereka—tak ada yang mau menjadi yang terakhir. Beberapa menggeser langkah, mempercepat ritme, berharap bisa berada lebih maju.

Di depan, Prakai justru menambahkan bumbu humor tak terduga.

“Yang paling depan pacarnya artis bokep Jepang!”

Para tentara tersentak, napas mereka terdorong lebih cepat, hampir tersandung tapi segera menambah kecepatan lari. Suasana gelap di tangga darurat dipenuhi dentuman kaki, desah napas, dan gemericik keringat yang jatuh di beton.

Rom tersenyum tipis dalam hati, meski pikirannya ikut terganggu oleh kata-kata Prakai.

“Prakai ngaco…” batinnya, sambil menahan senyum. Tapi pikiran itu cepat melayang ke rahasia yang hanya ia simpan sendiri—bahwa istri Prakai adalah simpanannya. Hati Rom berdebar lebih cepat dari sekadar lari tangga, campuran ketegangan, rasa bersalah, dan kekhawatiran jika Prakai suatu saat tahu.

Sementara itu, Shadaq di sampingnya fokus menatap langkah ke depan, napasnya teratur tapi matanya tetap waspada pada lorong tangga yang gelap, siap menghadapi apapun yang menunggu di lantai atas.

Tangga yang panjang terasa seperti labirin, bayangan bergerak liar di dinding, cahaya senter menimbulkan siluet menyeramkan. Setiap langkah, setiap desah napas, bahkan tawa kecil pasukan yang bercanda di tengah ketegangan, semuanya paralel menciptakan atmosfer tegang tapi hidup—seakan malam dan gedung itu ikut bernapas bersama mereka.

Rom menelan ludah, mengatur napasnya, dan terus melangkah. Tangga darurat gelap itu bukan hanya menguji stamina fisik, tapi juga ketenangan pikiran. Setiap detik terasa lebih lama, setiap langkah membawa mereka semakin dekat dengan lantai 39, dan semakin dekat dengan risiko yang tak bisa diprediksi.

Akhirnya mereka sampai di lantai 39. Napas berat terdengar jelas di lorong gelap, keringat menetes di pelipis, tetapi langkah mereka tetap mantap. Beberapa pasukan memilih menetap, menahan diri, sementara sebagian besar melanjutkan lari ke lantai berikutnya, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin menunggu.

Suasana lantai 39 terasa tegang tapi anehnya tenang. Tidak ada suara peluru yang berdentum keras, hanya desah napas dan langkah kaki yang menggema di dinding beton. Lampu senter yang mereka bawa menebar cahaya kecil, menyingkap bayangan gelap di sudut-sudut lantai.

Tentara yang memilih menetap segera mencari posisi strategis. Mereka menempel di dinding, mengintai lorong, setiap pegangan dan gerakan dilakukan dengan hati-hati. Beberapa menunduk, tangan di senjata, mata menelusuri setiap bayangan, setiap sudut.

Di salah satu sudut, tampak seorang polisi tetap siaga, matanya menatap kosong ke lorong, tetapi aura kewaspadaan tetap terpancar. Juliar melangkah mendekati polisi itu, langkahnya mantap dan tenang, tubuh raksasa menimbulkan bayangan panjang di lantai beton.

“Apa yang terjadi?” suara Juliar berat, menembus keheningan lantai, membuat pasukan yang lain menahan napas sejenak.

Polisi itu menoleh perlahan, wajahnya tegang, mata berkedip cepat menyesuaikan cahaya senter.

“Tidak bisa dipastikan…” jawabnya singkat, suara sedikit gemetar tapi tegas.

Juliar menelan ludah, mata menelusuri lorong di sekelilingnya. Setiap bayangan terasa hidup, setiap sudut gelap mengundang rasa waspada. Pasukan di sekeliling mereka menyesuaikan posisi, senjata di tangan siap menembak jika ada ancaman muncul.

Angin dari jendela darurat sesekali membawa aroma logam dan debu, menambah nuansa tegang lantai yang sunyi tapi terasa berdenyut. Bayangan panjang bergerak mengikuti cahaya senter, menciptakan siluet menyeramkan, seakan lantai 39 itu sendiri mengawasi setiap gerakan mereka.

Rom menatap rekan-rekannya, napasnya masih terengah, tangan memegang pegangan senjata erat. Dalam hatinya, ketegangan bercampur dengan rasa penasaran—apa yang sebenarnya menunggu mereka di lantai ini, dan apakah langkah mereka berikutnya akan aman?

Suasana hidup tapi menakutkan—setiap detik bisa berubah menjadi ancaman. Lantai 39 adalah titik kritis, dan semua mata, semua telinga, semua indra tetap siaga, menunggu aba-aba selanjutnya.

Di tangga darurat nomor 2, bayangan 15 orang dari regu tentara kedua mulai terlihat. Mereka baru turun dari mobil ke-2, rompi anti peluru gelap mereka memantulkan sedikit cahaya senter, langkah kaki mereka terdengar bergema di dinding tangga beton. Napas terengah-engah karena tangga panjang, tapi gerakan mereka teratur, disiplin, siap menghadapi apapun di lantai atas.

Rom melangkah lebih dekat ke pasukan mobil kedua, matanya menelusuri setiap wajah yang tampak tegang tapi siap. Tangannya menunjuk arah, tubuhnya tegap, langkah mantap di tangga sempit.

“Lanjutkan ke lantai atas, kamu urus di sini,” suara Rom tegas, tapi tetap bisa terdengar di lorong tangga yang sempit. Nada itu membuat pasukan tersentak, kemudian mengangguk serempak, mata menatap ke depan, menahan napas, siap bergerak sesuai arahan.

Dari belakang, Juliar mendekat, langkahnya berat tapi mantap. Ia mengangguk singkat ke Rom, mata tajam menelusuri lorong tangga di atas. Suara gesekan sepatu dan armor terdengar jelas, menciptakan gema seram di tangga beton.

Angin malam dari jendela darurat sesekali menerobos masuk, membawa aroma logam, debu, dan sedikit embun dingin. Bayangan pasukan bergerak naik, siluet mereka menempel di dinding tangga, membuat suasana tegang tapi hidup.

Rom menoleh sesaat, menilai posisi pasukan di bawah dan atas, memastikan setiap langkah aman. Tangannya menyentuh senjata, mata tetap waspada, tapi hatinya tetap fokus pada strategi—agar pasukan mobil kedua bisa bergerak aman, dan mereka tetap memegang kendali di lantai yang semakin dekat dengan ancaman.

Juliar menepuk bahu Rom sebentar, memberi sinyal persetujuan. Tidak ada kata lain, hanya gerakan dan mata yang bicara—semua paralel, sejalan, menahan napas dalam suasana malam yang tegang dan hidup, siap menghadapi lantai berikutnya.

Rom, Juliar, dan lima orang tentara bergerak cepat, napas berat terdengar jelas di lorong gelap apartemen. Rom memimpin, langkahnya mantap di atas lantai beton, mata menelusuri setiap sudut lorong, senjatanya siap menembak kapan pun ancaman muncul.

Setibanya di lorong menuju kamar F33, suara peluru pecah terdengar dari dalam kamar, dentuman bergema di dinding beton. Rom menunduk seketika, tubuh menekuk agar tubuhnya menjadi target lebih sulit. Suara desingan peluru menembus udara malam, menimbulkan ketegangan yang hampir terasa menekan dada.

Dengan gerakan cepat, Rom menembak balik, matanya tetap fokus pada sumber suara. Gerakan senjatanya stabil, tubuhnya menyesuaikan ritme tembakan sambil menjaga jarak aman. Juliar di sampingnya mengangguk, mengarahkan pasukan agar tetap tenang, mengintai setiap sudut kamar F33.

Dari luar terdengar suara keras polisi melalui pengeras suara:

“15 orang tersangka di kamar tersebut!”

Setiap kata menggetarkan lorong, menambah tekanan bagi semua yang berada di sana. Pasukan menunduk, tubuh menempel di dinding, namun tidak kehilangan fokus. Lampu senter mereka memantul di senjata, menimbulkan bayangan menakutkan di dinding, menambah kesan seram di lorong yang gelap.

Rom menelan ludah, napasnya masih berat, tangan tetap mantap di senjata. Dalam hatinya, ketegangan bercampur rasa penasaran—apa sebenarnya yang menunggu mereka di dalam kamar F33, dan bagaimana cara mereka menaklukkan ancaman dengan aman.

Juliar memberi kode dengan tangan, lima tentara lain merespons dengan gerakan serempak, membentuk posisi strategis di lorong. Bayangan mereka bergerak selaras dengan cahaya senter, langkah kaki terdengar seirama, menciptakan paralel ketegangan antara fisik dan mental.

Pintu kamar F33 terbuka perlahan, memantulkan cahaya senter yang menari di dinding beton. Di barisan depan, Juliar, sebagai pemimpin tim, memegang perisai anti peluru besar, tubuhnya tegap, mata tajam menelusuri setiap sudut ruangan. Napasnya berat tapi terkontrol, setiap langkahnya mantap. Rom dan Shadaq berada tepat di belakang, siap menembak jika ada ancaman muncul.

Pasukan lain—gabungan tentara dan beberapa polisi—mengikuti, membentuk formasi phalanx. Perisai di depan, membentuk dinding logam tebal, sementara di belakangnya, senjata otomatis diarahkan ke titik-titik blind spot. Para tentara cadangan menempati posisi strategis di sudut ruangan, siap menahan tersangka yang mungkin mencoba menyerang atau melarikan diri.

Suasana di F33 terasa tegang, gelap, dan menekan. Lampu senter memantul di perisai, menciptakan bayangan panjang di lantai dan dinding. Desah napas pasukan, gesekan logam perisai, dan langkah kaki bergema di ruangan luas, paralel dengan ketegangan yang menyelimuti setiap sudut.

“Tetap pada posisi! Jangan bergerak sembarangan!” perintah Juliar terdengar berat, memotong keheningan yang menegangkan.

Langkah demi langkah, pasukan bergerak perlahan masuk. Beberapa tersangka mencoba melarikan diri ke arah tangga, tapi formasi frontliner menutup jalur itu, menahan dengan perisai. Senjata diarahkan ke lantai dan sisi-sisi lorong sebagai peringatan. Suara peluru menembus udara, dentuman keras menggema, namun setiap pasukan tetap fokus, tubuh menekuk sedikit, gerakan minimal agar tidak menjadi target.

Juliar memberi aba-aba dengan tangan, kode singkat yang dimengerti semua anggota tim. Rom menunduk, menembak peringatan ke arah salah satu tersangka yang mencoba meraih senjata. Dentuman keras membuat tersangka terhenti, tangan terangkat, pandangan liar tapi takut. Pasukan cadangan segera menutup jalur lain, membentuk perimeter aman.

Ketegangan semakin memuncak ketika dari sudut kamar terdengar suara tembakan. Juliar terkena lima peluru, tetapi rompi anti peluru menahan semua, sehingga tubuhnya tidak terluka. Hentakan tembakan membuatnya tersungkur ke lantai, debu beterbangan, bayangan pasukan lain menari di dinding. Rom dan Shadaq langsung menyesuaikan posisi, menembakkan tembakan peringatan, menutup jalur ke tangga.

Momen itu dimanfaatkan delapan orang mafia yang sebelumnya bersembunyi. Dengan cepat, mereka meloncat menuju tangga, napas terengah-engah terdengar di lorong beton. Langkah kaki mereka cepat, panik, namun gesit, dan mereka berhasil lolos ke lantai berikutnya.

Pasukan yang masih di F33 menahan napas, mengatur ulang formasi, memastikan jalur tersangka yang tertangkap tetap aman. Polisi yang berada di dalam memeriksa setiap sudut, menandai posisi tersangka yang tertangkap, sementara beberapa tentara menahan bayangan di sudut ruangan. Setiap gerakan, setiap gesekan perisai, setiap pantulan cahaya senter terasa paralel dengan ketegangan—hidup, menakutkan, dan profesional.

Rom menelan ludah, matanya menelusuri setiap sudut kamar, siap menghadapi kemungkinan serangan berikutnya. Juliar, meski tersungkur, tetap menggerakkan tangan memberi kode, memastikan pasukan tetap terkoordinasi. Suara langkah kaki delapan mafia yang lolos masih terngiang di telinga, menambah tekanan mental, sementara udara di kamar F33 terasa berat, penuh adrenalin dan ketegangan hidup.

Di lorong gelap dan di kamar luas itu, setiap detik terasa menentukan. Setiap desah napas, setiap gerakan pasukan, setiap bayangan yang bergerak, semuanya paralel dengan ketegangan yang hidup, menakutkan, dan menegaskan profesionalisme operasi militer mereka.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!