"Aku ini gila, tentu saja seleraku harus orang gila."
Ketika wanita gila mengalami Transmigrasi jiwa, bukan mengejar pangeran dia justru mengejar sesama orang gila.
Note : Berdasarkan imajinasi author, selamat membaca :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mellisa Gottardo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kelimpungan
Sejak hari itu Ruby membuat donat dengan gila-gilaan. Pesanan di bagi dalam satu Minggu, satu hari Ruby membuat 50 kotak pesanan yang akan di jemput.
Rui membantu dengan telaten dan tanpa mengeluh, mereka berdua bekerja sama dengan baik. Bahkan Ruby menyelipkan surat tanda terimakasih dengan hangat.
"Terimakasih sudah memesan, semoga harimu menyenangkan."
Untung saja pesanan di jemput setiap siang hari, jadi Ruby mulai memasak sejak pagi bukan malam hari. Pesanan hari pertama di jemput oleh 15 pelayan dari kediaman yang berbeda. Ruby sudah memberi nama setiap kotak, jangan sampai tertukar.
"Terimakasih banyak, ditunggu pesanan berikutnya." Ucap Ruby dengan ramah, saat memberikan kotak pesanan.
Para pelayan merasa tersanjung akan keramahan Ruby, sudah cantik, pintar membuat kue dan ramah. Mereka jadi ikut senang dan bahagia meksipun harus menunggu.
Sampai saat Xui sudah kembali dari akademi, masih ada satu pesanan yang belum di ambil. Ruby memeriksa lagi takutnya dia yang kelewat.
"Atas nama anak kedua belum ada yang datang." Ucap Ruby.
Deg.
Xui keringat dingin, itu milik Pangeran kedua. Dia sengaja mengubah namanya karena tau itu masih berhubungan dengan Ayahnya. Xui ingin menawarkan diri mengirim ke Istana, tapi kereta kuda mewah sudah sampai duluan saat Xui masih mandi.
Ruby dan Rui yang melihat ada yang menjemput pesanan pun bersiap memberikan, pesanan ada lima kotak. Jadi Ruby membawa dua kotak dan Rui membawa tiga kotak di belakangnya.
"Maaf terlambat, ada sedikit masalah saat perjalanan." Ucap Seorang pemuda gagah.
"Terimakasih sudah memesan, ditunggu pesanan berikutnya." Jawab Ruby dengan ramah.
"Tentu.. Eh? Kakak?." Pemuda itu menatap terkejut pada Rui yang baru saja keluar.
Deg.
Ternyata yang mengambil pesanan Pangeran kedua sendiri bukan pelayan. Rui bertatapan dengan terkejut, dia bahkan mematung tidak tau harus bagaimana.
"Ya? apa kau mengenal suamiku?." Ruby ikut Deg-degan.
"Kenapa kau ada disini Kakak pertama? apa yang terjadi." Ucapnya syok.
"Tenang saja. Aku tidak akan kembali." Ucap Rui lancar tanpa tersendat.
"Bukan itu masalahnya, sejak kapan Kakak disini? dan Xui? apa dia anakmu? bagaimana itu bisa terjadi padahal Kakak di asingkan 5 tahun yang lalu." Pangeran kedua terlihat menuntut jawaban.
"Mari masuk ke dalam, sepertinya ada banyak hal yang perlu di bahas." Ruby tetap tersenyum dalam situasi apapun.
Mereka pun masuk ke dalam dan duduk di ruang tamu dengan tegang, Ruby membuatkan teh hangat agar suasana mencari sedikit.
"Jawab pertanyaan ku Kak." Desak Pangeran kedua.
"Sebelum.. aku di bawa kembali.. ke istana. Aku sudah bertemu dengan.. istriku." Ucap Rui, dia sudah berusaha agar lancar bicara.
"Kenapa cara bicara Kakak jadi aneh." Heran Pangeran kedua.
"Suamiku mengalami kesulitan bicara karena trauma yang menumpuk, sekarang sudah membaik tapi masih perlu banyak belajar lagi." Ruby angkat bicara.
"Apa?!." Kaget Pangeran kedua, menatap Rui yang terlihat malu.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu Kak?." Pangeran kedua menatap dengan mata memerah.
"Jangan beritahu.. siapapun, biarkan anakku belajar.. dengan tenang." Ucap Rui, wajahnya datar.
Pangeran kedua menunduk, memijat pangkal hidungnya merasa pusing. Jika adik ketiganya alias Putra mahkota saat ini tau, pasti akan terjadi keributan besar lagi. Kenapa Kakak nya ini selalu se enaknya.
Memang diantara semua anak Kaisar, Hanya pangeran kedua yang dekat dengan Rui. Karena pangeran kedua lahir dari Selir yang dekat dengan mendiang Permaisuri.
"Tidak bisa Kak. Lebih baik Ayah tau lebih dulu dibanding adik ketiga, keributan bisa saja terjadi jika dia tau lebih dulu dibanding Ayah." Ucap Pangeran kedua.p
"Ini urusanku, pergilah." Ucap Rui.
"Umur kita memang sangat jauh, tapi bukan berarti aku tidak bisa membantumu." Ucap Pangeran kedua, terlihat marah.
"Kau.. akan terseret jika ikut campur urusanku Fang Lu. Biarkan anakku belajar dengan tenang, aku tidak akan kembali ke Istana." Ucap Rui, ucapannya tidak lagi tersendat.
"Tapi Xui tetap seorang Pangeran." Kukuh Fang Lu.
"Hentikan." Xui datang, ternyata dia terlambat.
"Maaf Pangeran, saya harap anda bersedia menganggap tidak ada kejadian apapun hari ini. Ayahku masih memerlukan banyak waktu untuk sembuh, jangan paksa lagi." Ucap Xui, menunduk penuh permohonan.
"Kau, bahkan setelah kau tau jika kau Pangeran. Kau tetap ingin hidup sebagai orang biasa?." Fang Ku tidak habis pikir.
"Pangeran atau orang biasa tidak bisa menjadi tolak ukur kebahagiaan seseorang. Biarkan Ayahku sembuh dengan tenang tanpa bayang-bayang masalalu yang menyakitinya. Saya mohon." Ucap Xui.
"Hah baiklah aku tidak akan mengungkitnya, tapi jangan lagi bersembunyi Kak." Ucap Fang Lu, bangkit berdiri membawa kotak pesanannya dan keluar dari Paviliun.
Xui mengantar ke depan, Ruby masih menenangkan Rui yang sepertinya membutuhkan waktu untuk berpikir. Ruby merasa kasihan karena mental Rui benar-benar sudah sekacau ini.
"Ruby... aku butuh waktu sendiri." Ucap Rui.
"Aku senang kau sudah lancar bicara, tapi jangan pernah memendam perasaanmu sendiri. Kau bisa bercerita padaku, ingatlah jika kau tidak lagi sendirian di dunia ini." Ucap Ruby.
"Terimakasih." Ucap Rui, berlalu pergi menuju ruang kerjanya.
Ruby beranjak, menuju halaman tengah dan merasa lelah sekali. Ternyata masalah orang gila jauh lebih pelik dibanding orang waras. Sebagai orang gila sejati, Ruby akan tetap santuy dan memikirkannya besok saja.
Ruby duduk dengan tenang, sambil minum teh hangat. Hari semakin sore dan dingin, tapi Ruby malas beranjak dari sana. Hubungan keluarganya masih kacau, Xui yang masih sulit beradaptasi sebagai sosok Anak. Rui yang masih kesulitan menjadi sosok Ayah, lalu dirinya yang masih kesulitan mengendalikan nafsu birahi saat melihat Rui.
Di sisi Rui, dia merasa kepalanya berdenyut sakit. Berbagai kenangan buruk menggerogoti nya, dia merasa kesulitan mengendalikan diri dan ingin berteriak karena frustasi. Rui berusaha mengendalikan amarah dan rasa stres dalam dirinya dengan diam, dia tidak ingin melampiaskan amarah pada Ruby atau Xui.
"Ayah, kau baik-baik saja?." Xui datang.
"Pergi, Xui." Usir Rui dengan tegas dan dingin.
"Apa Ayah takut membentak atau melukaiku?." Xui tetap masuk dan mendekat.
"Biarkan Ayah sendirian, pergilah." Rui terlihat menahan emosi.
Greb.
Xui tidak menjawab, dia memeluk Rui dengan erat. Rui tersentak kaget, merasa kebingungan dan emosinya bercampur aduk tak karuan. Dia ingin menangis, kapan terakhir kali dia menangis? bahkan dulu saat Ibunya tewas dia tidak menangis.
Rui gemetar, dia tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia merasa lelah, dia ingin hidup dengan nyaman dan tenang. Tapi kenapa bayang-bayang masalalu terus menghantuinya.
Xui terus memeluk Ayahnya, mencoba menjadi sandaran di saat Ayahnya terpuruk. Mungkin Ibunya sudah berusaha tapi Ayahnya tetap butuh waktu sendiri.
Lama-lama Xui merasa mengantuk, dia jadi memejamkan mata sambil berpegangan pada dinding, posisinya saat ini memeluk Ayahnya yang sedang duduk, kepalanya menempel ke tembok dan dia mengantuk.
Rui merasa pekikan Xui semakin berat, bukan dipeluk justru dia merasa sedang ketindihan. Rui mendongak, melihat Xui yang kepalanya menempel pada dinding dan memejamkan matanya.
"Xui?." Panggil Rui, tapi Xui tidak menyahut.
Rui berdiri dengan hati-hati, lalu menggendong Xui cukup kasar karena dia tidak terbiasa. Padahal kepala Xui sempat terpentok kursi, tapi dia tetap tidak bangun. Rui sendiri sudah meringis merasa bersalah tapi ternyata yang punya kepala tidak terganggu.
Rui merebahkan Xui di kamarnya, Rui melihat-lihat kamar itu sebentar. Terlihat rapih dan wangi, tersenyum tipis karena Xui sudah menemaninya meskipun ketiduran.
"Anak yang aneh, padahal dia bisa melepaskan pelukannya jika memang mengantuk." Batin Rui merasa lucu.
Rui berjalan menuju kamar utama, tapi dia melihat seorang wanita duduk di halaman samping. Padahal hari sudah malam meskipun langit terlihat putih menakutkan, siapa wanita itu? apa dia hantu? Rui mendekat untuk memastikan.
"Ruby?." Panggil Rui.
"Ah, apa kau baik-baik saja?." Ruby menyahut.
"Apa yang kau lakukan disini? hari sudah malam." Ucap Rui, dia benar-benar sudah bisa bicara lancar.
"Malam? hari belum gelap." Ujar Ruby.
"Itu karena kabut, ayo kembali ke kamar." Ajak Rui.
"Kau sudah sembuh Rui?." Tanya Ruby.
"Ya, terimakasih." Ucap Rui, mendekat dan duduk di samping Ruby.
"Kau terlihat jauh lebih baik, apa kau berhasil mengendalikan emosi?." Tanya Ruby.
"Xui membantuku." Ucap Rui.
"Apa? Xui?." Kaget Ruby.
"Loh aku kalah start ternyata ya." Batin Ruby.
"Ya, dia menemaniku di ruang kerja sampai ketiduran. Aku baru saja memindahkan ke kamarnya, ayo kita juga pergi." Ucap Rui.
"Buru-buru sekali, aku belum mengantuk. Pergilah lebih dulu." Ucap Ruby.
"Aku berpikir untuk menjadi orang gila." Ujar Rui.
"Bagus, orang gila yang seperti apa?." Ruby berbinar cerah.
"Aku ingin memiliki kekuatan dan menekan Pangeran ke tiga atau putra mahkota saat ini. Aku merasa kesal, lebih baik jadi orang gila saja." Ucap Rui.
"Benar, kita harus menjadi keluarga yang gila." Ucap Ruby, tersenyum puas.
"Aku membutuhkan bantuanmu, aku tidak memiliki apapun saat ini." Rui memalingkan wajahnya merasa malu.
"Hohoho tidak geratis." Ucap Ruby, tersenyum smirk.
"Aku akan menggantinya dua kali lipat." Ucap Rui.
"Tidak, aku tidak kekurangan harta. Jangan membayar dengan harta." Ucap Ruby.
"Lalu?." Bingung Rui.
"Bayar dengan kesetiaan mu sampai mati, aku dengar katanya pria boleh menikahi wanita lebih dari satu, aku tidak mau. Kau hanya boleh memiliki satu istri yaitu aku." Ucap Ruby.
"Tentu, ayo buat perjanjian darah." Ucap Rui.
"Apa maksudmu kontrak darah?." Ruby pernah membaca novel fantasi.
"Bukan, ini sebuah perjanjian pernikahan sekali bahkan sampai kita bereinkarnasi pun. Kita akan tetep menikah dengan orang yang sama." Ucap Rui.
"Caranya bagiamana?." Bingung Ruby.
"Dengan penyatuan diatas lambang sihir ikatan perjanjian darah." Jawab Rui.
"Wahh lezat itu, baiklah ayo lakukan." Ruby mesum.
Rui terkejut mendengar kata "Lezat" dari mulut Ruby. Tapi tanpa dipungkiri dia juga tertarik dengan tubuh Ruby yang menggoda, selama ini dia menahannya dengan susah payah.