Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Dia datang membawa luka atau menyembuhkan luka?
Reghan keluar dari ruang dokter dengan langkah gontai. Tangannya gemetar saat menutup pintu, dan napasnya terasa berat seolah udara tak cukup memenuhi paru-parunya. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan tatapan kosong. Setiap langkah terasa berat, bukan karena tubuhnya yang lemah, tapi karena kenyataan yang baru saja ia dengar.
Dia berhenti di depan jendela besar di ujung koridor. Dari sana, terlihat taman rumah sakit dengan beberapa anak kecil bermain, termasuk satu bocah yang memakai masker kecil dan dipegangi perawat, mengingatkannya pada Revano.
Anak itu tersenyum, meski tubuhnya rapuh. Reghan memejamkan mata, mencoba menahan perih yang tiba-tiba menyesakkan dadanya.
“Tuan Reghan.”
Suara itu datang dari belakang. Gavin baru keluar dari ruang dokter, ekspresinya masih sama seriusnya.
“Kenapa nggak langsung bilang aja ke Arum?” tanya Gavin pelan.
Reghan tidak menoleh. “Karena aku tahu dia akan menolakku. Bahkan kalau aku cuma datang buat bantu, dia tetap nggak akan mau lihat aku.”
“Dia itu ibunya Revan, Tuan Reghan. Dia berhak tahu siapa pendonor anaknya.”
Reghan berbalik menatap Gavin, matanya merah. “Aku nggak mau dia tambah terbebani. Selama ini dia sendiri yang ngurus Revan tanpa aku. Sekarang aku datang dengan kondisi begini, cuma bikin semuanya makin rumit.”
Gavin menarik napas panjang. Ia paham betul perasaan bersalah yang menyelimuti pria itu. “Kalau begitu apa rencanamu?”
Reghan menatap jauh ke taman di luar jendela. “Aku akan tetap bantu semampuku. Aku akan cari cara buat bantu anakku tanpa bikin Arum tahu dulu. Kalau memang harus ada adik kandungnya untuk donor, aku akan bicara langsung sama dia nanti ... tapi bukan sekarang.”
Nada suaranya tenang, tapi getirnya begitu dalam. Gavin terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Anda sadar kan, cara yang Anda maksud itu berarti membuka kembali semua luka kalian?”
Reghan tersenyum pahit. “Luka itu nggak pernah tertutup, Dokter Gavin. Aku cuma berpura-pura sembuh selama ini.”
Keduanya diam cukup lama. Hanya suara langkah kaki perawat yang lewat, dan aroma antiseptik tajam memenuhi udara.
Akhirnya Gavin berkata pelan, “Baiklah, tapi kalau Anda benar-benar ingin bantu mereka, biar aku yang atur supaya Arum nggak curiga dulu. Aku akan pastikan semua pemeriksaan berjalan tanpa gangguan. Tapi cepat atau lambat, dia harus tahu.”
Reghan mengangguk perlahan. “Aku tahu … tapi tolong, biarkan aku yang hadapi dia nanti. Aku nggak mau dia dengar dari orang lain.”
Saat Gavin melangkah pergi, Reghan kembali menatap keluar jendela. Matanya memanas.
Di taman bawah sana, seorang anak laki-laki yang mirip sekali dengan Revano tertawa kecil. Dalam hati, Reghan berbisik lirih seolah bicara pada dirinya sendiri.
“Papa janji, Revan … apa pun caranya, Papa bakal nolong kamu. Meski harus ngelawan semuanya, bahkan tubuh Papa sendiri.”
Dan di saat yang sama, di ruang rawat anak, Arum sedang memandangi Revano yang tertidur di pangkuannya, tak tahu bahwa pria yang dulu membuatnya hancur kini sedang berjuang diam-diam untuk menyelamatkan buah hati mereka.
Sore menjelang malam. Langit di luar rumah sakit mulai memudar menjadi jingga keemasan. Arum duduk di tepi ranjang Revano, memandangi wajah pucat kecil itu dengan pandangan kosong. Di sampingnya, infus kembali menetes pelan, mengalirkan cairan yang menjadi harapan bagi tubuh mungil anaknya yang semakin lemah.
Perawat keluar setelah mengganti selang infus, menyisakan keheningan yang menggantung di antara Arum dan anaknya.
Gavin berdiri di dekat jendela, menatap pemandangan senja tanpa suara. Ada sesuatu di wajahnya, semacam beban berat yang ia sembunyikan rapat-rapat.
“Dokter…” suara Arum pelan, hampir seperti bisikan. “Kenapa saya ngerasa ada yang disembunyiin?”
Gavin menoleh, wajahnya terkejut sesaat sebelum ia kembali menata ekspresi. “Maksud kamu?”
Arum menggeleng pelan, menatap anaknya. “Saya tahu kamu nggak mungkin sembunyiin kabar buruk tanpa alasan. Tapi saya udah terbiasa, Gav. Kadang … lebih baik tahu sekarang daripada nanti.”
Suara Arum begitu tenang, tapi matanya berkaca-kaca. Gavin mendekat, lalu duduk di kursi samping ranjang.
“Aku nggak bermaksud nyembunyiin sesuatu dari kamu, Arum. Aku cuma nggak mau kamu tambah stres. Hasil pemeriksaan Re...” Gavin terhenti, menelan kata itu sebelum sempat menyebut nama.
Namun Arum langsung peka. “Re?” bibirnya gemetar. “Reghan? Maksud kamu?”
Gavin terdiam, dan dalam diam itu, Arum menunduk, bahunya bergetar halus.
“Dia di sini ya? Dia sudah tahu?”
Gavin tidak menjawab, tapi tatapan matanya sudah cukup menjadi jawaban. Air mata Arum menetes, menimpa punggung tangan Revano. “Kenapa dia harus muncul lagi sekarang…” katanya lirih, lebih seperti bicara pada dirinya sendiri.
“Setelah semua yang udah terjadi, setelah semua luka itu.”
Gavin menatapnya iba. “Dia datang bukan buat nyakitin kamu lagi, Arum ... Tuan Reghan cuma pengin bantu Revan.”
“Bantu?” Arum tertawa kecil tapi getir. “Empat tahun lalu, bantuan dari dia hampir bikin aku mati, Gav. Sekarang aku harus percaya kalau dia datang dengan niat baik?”
Gavin tak bisa menjawab, dia tahu betapa dalam luka di masa lalu mereka. Luka yang bahkan waktu pun belum sempat menyembuhkan. Tapi di sisi lain, ia juga tahu di balik kerasnya Reghan, pria itu tulus mencintai anak yang bahkan belum sempat ia gendong dengan benar.
“Arum,” Gavin akhirnya bicara pelan, “aku tahu kamu nggak percaya sama dia ... tapi kamu percaya aku kan?”
Arum mengangkat wajahnya perlahan. “Tentu.”
“Kalau begitu, percayalah satu hal ... Reghan bukan lagi orang yang sama kayak dulu ... dia udah berubah.”
Arum menatap kosong ke arah jendela, tempat langit mulai gelap. “Kalau dia benar-benar berubah,” katanya dengan suara serak, “harusnya dia nggak datang bawa masa lalu yang udah aku kubur dalam-dalam.”
Suasana langsung hening, hanya suara detik jam di dinding dan dengung lembut mesin infus.
Gavin menatap keduanya, ibu yang rapuh tapi tegar, dan anak kecil yang berjuang antara hidup dan mati. Lalu ia menarik napas panjang.
“Kalau begitu, biar aku yang urus semuanya dulu. Kamu fokus jagain Revano, ya?”
Arum mengangguk perlahan. Tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai bergetar. Entah itu amarah yang belum padam, atau luka lama yang tiba-tiba terbuka kembali karena kemunculan Reghan kembali di hidupnya.
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,