Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Kunci Fisik dan Jaringan Bawah Tanah.
Zega memegang liontin itu, benda kecil dan berat yang terbuat dari campuran logam langka, di bawah cahaya bulan yang redup di Denpasar. Liontin itu memang dirancang menyerupai kepingan memori usang, tetapi Zega tahu itu bukan memori; itu adalah token kriptografi. Sebuah kunci fisik yang dirancang untuk membuka enkripsi digital yang paling kejam.
“Bara,” bisik Zega, sebuah campuran kekaguman dan frustrasi dalam suaranya. “Dia menyembunyikan kunci di tempat yang paling tidak terduga. Tepat di lehermu, Sasha. Di bawah hidung mereka selama ini.”
Sasha merasakan lonjakan emosi yang aneh—campuran rasa bersalah karena menganggapnya hanya perhiasan sentimental dan kelegaan yang luar biasa. Bara tidak hanya meninggalkan jejak digital; dia meninggalkan sebuah warisan yang terenkripsi, yang hanya bisa diakses oleh orang yang paling dia percayai.
“Tapi bagaimana kita menggunakannya?” tanya Sasha, suaranya sedikit pulih dari kepanikan sebelumnya. “Laptopnya sudah hilang. Kuncinya tidak berguna tanpa pintunya.”
Zega mengembalikan liontin itu ke leher Sasha. “Tidak sepenuhnya. Aku sempat melihat sinopsis file 'Final Code.' File itu sangat besar, lebih dari sekadar data. Itu adalah arsitektur sistem operasi bayangan, yang dirancang untuk membongkar sistem DigiRaya saat ini. Bara pasti sudah melakukan sinkronisasi otomatis ke cloud yang aman. Tapi, mengingat skala enkripsi ini, Express Teknologi tidak akan pernah bisa membukanya, bahkan setelah mereka mendapatkan laptopnya. Mereka hanya mendapatkan gembok, tapi kita punya kuncinya.”
Mereka harus bergerak. Fajar akan segera menyingsing, dan Denpasar sudah mulai sibuk. Berjalan di jalanan utama dengan pakaian berlumpur dan wajah lelah akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.
“Kita butuh Penyu,” kata Zega, merangkak menjauh dari perahu dan menuju deretan gudang kargo yang gelap.
Penyu, atau nama aslinya I Gede Artawan, adalah legenda di komunitas 'underground' teknologi Bali. Seorang mantan insinyur perangkat keras yang dipecat karena menolak skema korupsi, ia kini menjalankan bengkel rahasia yang melayani semua orang, mulai dari turis yang kehilangan data hingga operasi peretasan etis Zega di masa lalu. Penyu sangat membenci korporasi besar, dan Zega tahu, jika ada orang yang akan mempertaruhkan segalanya untuk misi anti-Express Teknologi ini, itu adalah Penyu.
Mereka menyusup ke lorong-lorong sempit di antara tumpukan kontainer pelabuhan. Zega mengeluarkan perangkat komunikasi yang terbuat dari komponen bekas—sebuah *walkie-talkie* yang dimodifikasi agar dapat mengirim sinyal terenkripsi pendek melalui frekuensi radio amatir.
“Penyu, ini Naga. Air pasang telah datang. Butuh tempat berlabuh.”
Keheningan selama beberapa detik yang tegang. Kemudian, suara yang pecah terdengar. “Naga, kau tidak pernah datang saat air pasang. Hanya saat badai. Kau yakin ini sepadan dengan risikonya?”
“Badai ini membawa kapal perang asing. Aku butuh gudangmu, ID, dan akses jaringan. Ini untuk DigiRaya.”
Terdengar helaan napas panjang di ujung sana. “Jalan tiga blok dari pelabuhan. Cari patung kura-kura yang terbalik. Kodenya: *Final Code*.”
Mereka berjalan kaki, menghindari kamera CCTV pelabuhan yang berkarat. Sasha merasa setiap mata memandang, meskipun sebagian besar orang di jalanan sibuk dengan aktivitas pagi mereka. Ketika mereka menemukan patung kura-kura terbalik, mereka masuk melalui pintu baja yang disamarkan sebagai kotak listrik. Di dalamnya, suasana berubah drastis.
Mereka berada di sebuah bengkel yang luar biasa, dingin, dan berbau solder. Dinding-dindingnya dipenuhi rak-rak komponen elektronik, dan di tengah ruangan, Penyu, seorang pria paruh baya dengan rambut gimbal yang diikat longgar, sedang mengerjakan papan sirkuit raksasa.
Penyu melirik mereka, mata sipitnya menilai pakaian mereka yang basah dan kotor. “Aku dengar kau membuat masalah besar di Jakarta. Sekarang seluruh jaringan keamanan swasta di Bali, termasuk yang dikelola oleh Express Teknologi, sedang mencari dua orang yang cocok dengan deskripsimu.”
“Kami buronan tanpa uang,” Sasha mengakui dengan jujur. “Kami butuh bantuan, Penyu. Mereka membunuh Bara.”
Ekspresi Penyu mengeras. Ia mengenal Bara dari beberapa proyek komunitas di masa lalu. “Mereka berhasil melakukannya. Aku tidak terkejut. Korporasi raksasa selalu ingin melahap yang kecil. Baiklah. Aku bisa memberimu dua hal: identitas sementara dan akses ke ruang server teraman di sini. Tapi kau harus bergerak cepat. Aku mencium bau pengkhianatan dari jarak jauh.”
Dalam waktu satu jam, mereka bertransformasi. Sasha berganti pakaian menjadi setelan bisnis sederhana yang rapi, yang disiapkan Penyu dari gudang kostum lamanya. Zega mengenakan kaos polos dan jaket hoodie, menyamar sebagai teknisi konferensi. Penyu juga memberikan mereka dua kartu ID akses sementara ke Konferensi Teknologi Global—ID yang dicuri dari dua staf logistik tingkat rendah.
“Ini hanya akan memberimu akses ke area belakang panggung dan jaringan WiFi umum,” jelas Penyu, menyerahkan kartu itu. “Untuk memasuki area VIP dan ruang server utama, kalian butuh lebih dari sekadar kartu ini.”
Zega menatap Penyu. “Express Teknologi pasti mendirikan pusat data lokal di dekat lokasi konferensi. Mereka akan memindahkan semua data yang mereka curi dari laptop Bara ke sana untuk dianalisis sebelum mereka menggunakannya di pengadilan atau di presentasi.”
“Tepat,” kata Penyu. “Lokasi mereka adalah Hotel Mandala, tiga kilometer dari pusat konferensi. Mereka menyewa seluruh lantai atas untuk keamanan dan penyimpanan data.”
“Itu terlalu jauh,” protes Sasha. “Aku harus berada di konferensi saat Paman Hadi berbicara. Aku tidak bisa menantangnya melalui video call.”
Zega mengangguk. “Kita harus membagi misi. Sasha, kau akan menjadi umpan. Kau akan mendapatkan perhatian. Tapi kau tidak boleh naik ke panggung sebelum aku berhasil mendapatkan data Final Code.”
“Bagaimana kau bisa masuk ke Hotel Mandala?” tanya Sasha. “Itu pasti dijaga oleh tim keamanan swasta dan agen asing yang mengejar kita.”
Zega mengeluarkan liontin itu dari leher Sasha, menyambungkannya ke adaptor kecil yang dibuat Penyu. “Ini kuncinya. Aku harus memasukkan kunci ini ke server utama mereka. Bara merancang file itu sebagai jebakan. Begitu kunci ini terdeteksi di jaringan yang berisi data Final Code, kodenya akan secara otomatis menduplikasi diri dan mengirimkan salinan terenkripsi ke alamat tujuan yang telah ditetapkan—alamat email lama Bara yang hanya diketahui olehku.”
“Artinya, begitu kau terhubung, kita mendapatkan data, dan Express Teknologi tidak akan tahu sampai terlambat,” Sasha menyimpulkan.
“Tepat. Tapi ada masalah. Untuk terhubung, aku harus masuk secara fisik ke dalam ruang server itu dan menghubungkan adaptor ini ke salah satu port mereka. Aku tidak bisa melakukannya secara nirkabel; enkripsi Bara terlalu kuat. Ini harus menjadi serangan fisik yang cepat.”
Penyu menyediakan peralatan untuk Zega—sebuah ransel yang tampak polos, di dalamnya terdapat alat retas portabel canggih dan alat pendobrak digital. “Aku akan memberimu waktu 15 menit. Setelah itu, Hotel Mandala akan tahu mereka diserang. Jaringan di sana terlalu sensitif.”
Sasha merasakan jantungnya berdebar. Mereka bertaruh segalanya pada 15 menit. Dia akan pergi ke konferensi, berpura-pura menjadi CEO yang berkuasa, sementara Zega mempertaruhkan nyawanya di markas musuh.
“Aku harus tahu di mana Bara menyembunyikan alamat email itu,” kata Sasha, menatap Zega. “Jika terjadi sesuatu padamu, aku harus bisa menyelesaikan ini.”
Zega ragu sejenak, lalu menuliskan serangkaian karakter kompleks di selembar kertas. Itu adalah alamat email yang panjang dan tidak masuk akal. “Hanya gunakan ini sebagai upaya terakhir. Ini adalah alamat ‘kotak mati’ Bara.”
Penyu kemudian menunjukkan monitor. “Konferensi dimulai dalam dua jam. Paman Hadi dijadwalkan berbicara pukul 10 pagi. Jika kau ingin menyabotase, kau harus melakukannya di tengah presentasinya.”
Sasha menoleh ke Zega. Di tengah semua strategi dan ancaman, ia tiba-tiba merasakan kehangatan familiar. Dia melangkah maju dan mencium Zega, sebuah sentuhan yang tergesa-gesa namun penuh arti.
“Jangan mati di dalam hotel itu, Zega,” bisik Sasha.
“Kau juga. Jangan sampai tertangkap sebelum aku memberikanmu amunisi,” balas Zega, senyum tipis terukir di wajahnya.
Mereka berpisah. Sasha menuju konferensi dengan kartu ID palsu dan tekad baja. Zega menyamar sebagai pengantar makanan, membawa ransel penuh peralatan menuju Hotel Mandala. Penyu memantau jaringan, bertindak sebagai mata dan telinga mereka.
Saat Zega mendekati pintu layanan Hotel Mandala, Penyu mengirimkan pesan terenkripsi ke arloji Zega:
[ALERT: Zega, mereka mengubah rencana. Paman Hadi baru saja memajukan jadwal presentasinya menjadi 9:30 pagi. Mereka sudah mengantisipasi penundaan. Sasha harus bergerak 30 menit lebih cepat. Kau punya waktu kurang dari satu jam!]
Adrenalin Zega melonjak. Waktu mereka telah berkurang separuhnya. Sementara itu, Sasha baru saja tiba di luar Bali International Convention Center (BICC). Memakai blazer yang kebesaran dan sepatu yang terasa aneh, ia mengambil napas dalam-dalam. Di luar, karpet merah terhampar, dan logo raksasa Express Teknologi terpampang di atas pintu masuk, menyambut para elit teknologi global.
Ia menunjukkan ID palsunya di meja pendaftaran. Petugas keamanan digital memindai kartu itu. Untuk sepersekian detik, lampu di layar petugas berkedip dari hijau menjadi merah, sebelum dengan cepat kembali ke hijau. Petugas itu tampak tidak menyadari anomali tersebut, tetapi Penyu, yang memantau dari jauh, pasti melihatnya.
Sasha berjalan masuk, berpura-pura tenang. Ia hanya punya satu jam untuk menemukan Paman Hadi, mengamankan tempat di panggung, dan menunggu sinyal Zega. Ia melihat layar besar di lobi, menghitung mundur: 58 menit menuju pidato Paman Hadi.
Di belakang panggung, Paman Hadi sedang menyesuaikan dasinya, wajahnya tampak percaya diri dan haus kekuasaan. Di sebelahnya, Ethan Cole, CEO Express Teknologi, menyeringai. Mereka tidak menyadari bahwa kunci fisik untuk membongkar seluruh skema mereka sudah berada dalam jarak tembak.
Sasha mencari celah. Ia harus menemukan direktur acara. Ia berbelok di koridor yang ditandai sebagai ‘Staf Pers’ ketika ia tiba-tiba bertabrakan dengan seseorang yang membawa nampan kopi. Kopi panas menyiram blazer barunya.
“Maaf! Maafkan saya, Nona!” Pria itu, seorang teknisi konferensi, panik.
Sasha mengabaikan kopi panas itu. Saat ia melihat wajah teknisi itu, matanya melebar. Di balik kacamatanya, ia melihat lencana resmi yang dipakainya: *Security Detail – Express Teknologi*. Orang ini bukan staf logistik. Dia adalah salah satu prajurit yang mengejar mereka di rawa-rawa, hanya saja tanpa seragam taktis. Dia telah menyamar, memantau pintu masuk.
Pria itu juga mengenali mata Sasha. Ekspresinya yang panik berubah menjadi tatapan dingin dan mematikan. Sebelum Sasha sempat bereaksi, tangan prajurit itu meraih pergelangan tangannya, cengkeramannya kuat dan terlatih.
“CEO Sasha,” desisnya. “Kami sudah menunggumu.”
Sasha membeku di tempatnya berdiri, jantungnya bagaikan sedang berpacu di arena balap internasional, mematikan....