NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:833
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sebuah Harapan Yang Berat Dan Pencarian Fara.

Sesampainya dirumah, Valeria menghela napas panjang saat mobil yang dikendarainya memasuki halaman rumah. Pintu mobil terbuka, dan ia melangkah keluar, langsung disambut oleh keheningan rumah besar itu. Begitu masuk, ia melihat mamanya, Diandra, sudah rapi dengan pakaian kerja dan bersiap untuk pergi.

"Kamu baru pulang?" tanya Diandra, menatap jam tangannya.

"Iya, Ma," jawab Valeria singkat.

"Yaudah, kamu cepat masuk ke kamar. Belajar," kata Diandra dengan nada tegas. "Minggu depan kamu sudah mulai mau ulangan, iya kan?"

"Iya, Ma," jawab Valeria lagi.

Diandra melangkah mendekat, tatapannya menjadi sangat serius. "Ingat, Valeria. Jangan buat Mama kecewa dan menyesal. Mama nggak mau tahu, nilai kamu harus sempurna. Tidak boleh ada yang kurang dari 100. Harus sempurna, mengerti?"

Valeria menunduk, ucapan itu sudah sering ia dengar. "Mengerti, Ma."

"Kamu jaga diri baik-baik. Mama ada meeting dengan klien. Mungkin malam baru pulang."

"Iya, Ma. Hati-hati," ucap Valeria.

"Kamu juga," balas Diandra, lalu ia memeluk Valeria dan mencium keningnya. Setelah itu, ia melangkah cepat menuju mobilnya, meninggalkan Valeria sendirian di dalam rumah.

Valeria masuk ke kamarnya, merasa tertekan oleh tuntutan sempurna dari ibunya. Beban itu semakin berat karena ia juga harus berhadapan dengan ancaman Damian terhadap Revan. Terjebak di antara dua masalah, Valeria menyadari ia tidak bisa berdiam diri. Ia harus menemukan cara untuk menyelesaikan masalah dengan Damian sendirian, demi melindungi Revan.

Valeria berusaha keras belajar demi memenuhi tuntutan ibunya agar mendapat nilai sempurna. Namun, pikirannya terus terganggu oleh ancaman Damian dan kekhawatirannya terhadap Revan. Ia tidak bisa fokus, karena bayangan masalah di sekolah terus menghantui, membuatnya sulit berkonsentrasi.

Saat Valeria sedang berusaha keras membaca buku fisika, ponselnya berdering nyaring di atas meja. Nama "Rina" muncul di layar. Valeria menghela napas, lalu mengangkatnya.

"Halo," ucap Valeria, suaranya terdengar lelah.

"Halo! Val, kenapa lo? Suara lo lemes banget," sapa Rina dari seberang telepon, terdengar ceria. "Udah di rumah, kan? Keluar yuk? Gue sama yang lain di kafe nih, nugas bareng. Daripada di rumah sendiri, suntuk!"

Valeria melihat buku-buku di depannya, lalu menoleh ke luar jendela. Langit sudah mulai berwarna jingga. Pikirannya kembali ke ancaman Damian, membuat konsentrasinya buyar total.

"Gue..." Valeria ragu sejenak. "Gue lagi banyak tugas, Rina."

"Alaaah, tugas mah nanti aja! Ke sini bentar, sekalian ngobrol. Lo nggak sendirian, kan ada kita-kita," bujuk Rina. "Bentar aja deh, biar lo nggak pusing."

Valeria menghela napas, kali ini lebih lega. Rina benar. Ia butuh jeda. "Oke," jawabnya. "Gue ke sana sekarang."

"Nah gitu dong! Gue tunggu ya! Jangan lama-lama!"

Valeria menutup telepon, senyum tipis terukir di wajahnya. Ia segera bangkit, melepaskan pakaian rumahan, dan menggantinya dengan kaus dan jeans. Setelah memastikan penampilannya rapi, ia meraih kunci mobil dan melangkah keluar kamar, meninggalkan buku-buku yang ia yakini.

Sesampainya di kafe, Valeria membuka pintu kaca kafe, disambut oleh aroma kopi yang pekat dan suara musik yang menenangkan. Pandangannya segera menangkap Rina dan beberapa teman lainnya yang sudah duduk di sebuah meja di sudut ruangan. Mereka melambaikan tangan dengan senyum lebar.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Val, sini!" seru Rina.

Valeria berjalan menghampiri mereka, mencoba membalas senyum ceria itu. Ia duduk, lalu seorang pelayan datang dan ia memesan segelas teh hangat.

"Gue kira lo nggak jadi datang," kata Rina. "Tadi suara lo lemes banget, kayak abis dikejar-kejar."

Valeria tertawa kecil, tawa yang terdengar hampa. "Hampir. Lumayan pusing di rumah."

"Pasti karena ulangan ya?" tanya teman yang lain.

"Bukan cuma itu," celetuk Rina, menatap Valeria dengan tatapan serius. "Ada yang aneh sama lo. Di sekolah tadi, gue lihat lo jalan sama Damian. Ada apa? Kalian... deket?"

Valeria terdiam, teh hangat yang baru saja datang di hadapannya seolah tiba-tiba kehilangan daya tariknya. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, tetapi semuanya terasa sulit diucapkan.

"Nggak, gue nggak dekat sama Damian," jawab Valeria cepat, bahkan terlalu cepat, membuat Rina menatapnya curiga.

"Masa sih? Kalian kelihatan kayak lagi serius banget tadi," balas Rina, tidak yakin.

Tepat saat itu, pintu kafe terbuka lagi dan masuklah Keira dan Naila, dua sahabat terdekat Valeria dan teman sekelas mereka. Mereka melambaikan tangan, wajahnya cerah.

"Hai, kalian! Udah lama?" sapa Keira sambil menghampiri meja.

"Baru aja," jawab Rina. "Eh, kalian juga lihat Valeria sama Damian tadi, kan?"

Naila dan Keira saling pandang. Wajah ceria mereka langsung berubah serius. "Kenapa, Val? Kalian ada masalah ya?" tanya Naila, menatap Valeria dengan cemas.

Valeria menghela napas. Ia tahu ia tidak bisa mengelak lagi. Tatapan khawatir dari Rina, Naila, dan Keira terlalu nyata untuk ia abaikan.

"Nggak ada," jawab Valeria cepat, mencoba terdengar tegas. "Kalian kalau mau membahas Damian, mending gue pulang. Gue malas bahas dia."

Valeria menghindari tatapan mata mereka. Melihat ketidaknyamanan yang begitu jelas di wajah Valeria, Keira dengan cepat mengambil alih.

"Oke, oke, maaf," kata Keira lembut. "Kita bahas yang lain aja, deh. Idola, musik, atau film terbaru, apa pun itu, yang penting bukan dia."

Naila dan Rina mengangguk setuju. Mereka pun mulai bercerita tentang film horor yang baru mereka tonton, disusul dengan perdebatan kecil tentang boyband Korea mana yang paling tampan. Valeria ikut tertawa, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Di antara obrolan riang teman-temannya, bayangan wajah Damian, ancamannya, dan wajah khawatir Revan terus melintas.

Valeria tahu, ia hanya menunda masalah. Tapi untuk saat ini, ia bersyukur bisa sejenak melarikan diri dari semua itu. Ia memaksakan senyum, menikmati momen singkat di mana ia bisa menjadi Valeria yang biasa, bukan Valeria yang sedang terperangkap dalam masalah rumit.

Tak terasa, malam pun tiba. Setelah berjam-jam mengobrol, Rina melirik jam di ponselnya. "Wah, udah mau malam, nih. Gue balik duluan, ya?"

Naila mengangguk. "Gue juga. Besok ada les tambahan."

Keira menatap Valeria dengan tatapan penuh perhatian. "Val, lo gimana? Udah mendingan, kan?"

Valeria mengangguk dan tersenyum, meski senyumnya terasa sedikit dipaksakan. "Iya, udah kok. Makasih banyak ya, kalian udah ngajak gue keluar. Lumayan pusing di rumah."

"Santai aja kali," kata Rina. "Kita kan teman. Kalau ada apa-apa, cerita aja ya, jangan dipendam sendiri."

"Iya, Val," tambah Naila. "Tadi kita udah tahu kok lo kenapa. Besok kita bahas lagi ya, di sekolah," katanya sambil tersenyum.

"Gue juga nungguin lo mau cerita apa," celetuk Keira.

"Iya, iya, kalian tenang aja," jawab Valeria, merasa sedikit terharu. "Makasih, ya."

Mereka pun berpelukan singkat. "Hati-hati di jalan ya, Val," ucap Rina.

"Kalian juga. Sampai ketemu besok," balas Valeria sambil melambaikan tangan, melihat teman-temannya pergi satu per satu.

Lalu masuk ke dalam mobil. Ia meninggalkan kafe dengan perasaan yang campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena bisa sejenak melupakan masalahnya. Di sisi lain, ia tahu bahwa kedamaian itu hanya sementara.

Perkataan Rina, "kalau ada apa-apa, cerita aja," terngiang di benaknya. Namun, ia juga teringat ancaman Damian, dan ia tidak bisa mengambil risiko. Ia memutuskan bahwa ia harus mengambil tindakan sendiri. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Nus.

"Nus, lo tahu banyak tentang Damian, kan?" tanya Valeria, suaranya terdengar serius. "Gue butuh bantuan lo, gue mau cari tahu tentang mantan pacar lamanya."

Nus, yang terkenal sebagai "ratu gosip" di sekolah, langsung antusias. "Wah, ini seru nih. Mantan pacar yang mana? Dia kan banyak."

"Gue nggak tahu namanya," jawab Valeria. "Tapi pokoknya yang punya masalah sama Revan."

"Oke, gue ngerti," kata Nus, nadanya penuh semangat. "Gue akan coba cari informasinya. Lo tenang aja, serahin ke gue. Besok pagi gue kabarin."

Valeria menutup telepon, rasa cemasnya sedikit berkurang. Ia kini duduk di dalam mobil, menatap jalanan yang mulai sepi. Ia tahu, ia telah mengambil langkah pertama. Ia tidak lagi pasrah dengan keadaan, melainkan mulai bergerak maju untuk mencari kebenaran.

Valeria sampai di rumah. Mobil mamanya terparkir rapi di halaman, namun rumah itu tampak gelap dan sunyi. Ia menaiki anak tangga teras dan melihat ke dalam dari balik jendela, tidak ada cahaya. Perlahan, ia membuka pintu dan masuk. Saat ia menutup pintu, lampu ruang tamu tiba-tiba menyala terang.

"Valeria!"

Suara itu menggema di seluruh ruangan, membuat Valeria terperanjat kaget. Ia menoleh dan melihat mamanya, Diandra, berdiri di ujung ruangan dengan tatapan tajam.

"Ma... Mama," ucap Valeria terbata-bata.

"Kamu habis dari mana? Jawab pertanyaan Mama, Valeria!" bentak Diandra, suaranya dipenuhi amarah.

"Ka... Kafe, Ma," jawab Valeria, menunduk.

"Kafe? Sama siapa?" tanya Diandra, melangkah mendekat.

"Sa... sama teman-teman," kata Valeria, suaranya hampir tidak terdengar.

"Iya, siapa? Valeria, siapa saja?" tanya Diandra lagi.

"Rina, Keira, Naila," jawab Valeria.

"Anak siapa, dan apa pekerjaan orang tuanya?" tanya Diandra, nadanya dingin dan menusuk.

Valeria terkejut, mengangkat kepalanya. Ia tidak pernah membayangkan mamanya akan menanyakan hal itu. "Valeria nggak tahu, Ma."

"Cari tahu!" perintah Diandra.

"I... Iya," jawab Valeria, bingung.

Diandra menghela napas, kekecewaannya begitu nyata. "Tadi sebelum Mama berangkat, Mama bilang apa, Valeria? Belajar. Mama suruh kamu belajar, bukan ke kafe sama teman-teman kamu yang nggak jelas itu! Mulai saat ini, detik ini juga, kamu kurangi bergaul dengan mereka! Fokuskan diri kamu ke belajar buat nanti. Stop memikirkan tentang main atau apalah! Yang harus kamu pikirkan itu cuma sekolah, belajar yang benar, dapat nilai sempurna. Itu yang harus kamu lakukan! Jangan pernah kamu bantah omongan Mama!"

Valeria hanya menunduk, mendengarkan setiap kata-kata pedas yang keluar dari mulut ibunya. Setelah selesai bicara, Diandra berbalik, dan tanpa menoleh lagi, ia mengatakan, "Cari tahu mereka dari keturunan mana," lalu pergi menuju kamarnya, meninggalkan Valeria sendirian dalam keheningan yang menyesakkan.

Valeria masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan merosot ke lantai, punggungnya bersandar di pintu. Ia memeluk lututnya, dan perlahan, air matanya tak bisa lagi ia tahan. Tangisannya pecah, isakannya memecah keheningan kamar yang tadinya terasa damai.

...Hanya ilustrasi gambar....

Air mata itu bukan hanya karena perkataan mamanya, tetapi juga karena semua yang terjadi hari ini. Ancaman Damian, kebohongan yang ia ucapkan pada Revan, dan sekarang, tuntutan sempurna dari mamanya yang berpadu dengan perintah yang tidak masuk akal. Ia merasa tertekan dari segala arah, seolah tidak ada satu pun tempat di dunia ini yang benar-benar bisa memberinya ketenangan.

"Jangan buat Mama kecewa," suara Diandra kembali terngiang di kepalanya, disusul bisikan Damian, "gue akan membuat Revan babak belur."

Valeria menyeka air matanya dengan punggung tangan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia adalah anak yang patuh, tapi bagaimana ia bisa menuruti perintah mamanya untuk mencari tahu latar belakang teman-temannya? Itu terasa salah, dan kejam. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Revan dalam bahaya. Ia kini berada di persimpangan jalan yang penuh dengan pilihan sulit, dan tidak ada satu pun jalan yang terlihat mudah.

Setelah beberapa saat, isakan Valeria mereda. Ia menyeka sisa air mata di pipinya, menarik napas dalam-dalam, dan mengeluarkannya perlahan. Ia tahu, berlarut-larut dalam kesedihan tidak akan menyelesaikan apa pun. Ia harus bertindak.

Pikirannya beralih pada ancaman Damian. Ia butuh informasi, dan satu-satunya orang yang bisa membantunya saat ini adalah Nus. Valeria mengambil ponselnya, mengetik pesan singkat, lalu mengirimkannya.

"Nus, ada kabar?"

Hanya beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah balasan masuk.

"Belum semuanya, tapi gue kayaknya nemuin sesuatu yang penting. Besok kita ketemu di tempat biasa, gue ceritain," balas Nus.

Membaca pesan itu, ada sedikit rasa lega di hati Valeria. Ia tidak sendirian dalam menghadapi masalah ini. Ia kini memiliki secercah harapan, bahwa ia bisa menemukan celah untuk melawan Damian. Ia membaringkan tubuhnya, berusaha tidur, dengan harapan esok hari akan membawa jawaban yang ia butuhkan.

Keesokan harinya, Valeria bangun dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia masih merasa lelah dan tertekan, tetapi di sisi lain, ada secercah harapan dari pesan Nus. Ia menyelesaikan rutinitas paginya dengan cepat, mengenakan seragam, dan sarapan dalam diam. Perkataan mamanya masih terngiang, tetapi ia mencoba mengabaikannya.

Sesampainya di sekolah, ia segera mengirim pesan kepada Nus.

"Gue udah di sekolah. Lo di mana?"

Tak lama kemudian, sebuah balasan masuk. "Gue di belakang lab IPA, di sana sepi."

Valeria mengangguk, lalu berjalan cepat menuju tempat yang disepakati. Di sana, Nus sudah menunggunya, memegang ponselnya dengan wajah serius.

"Lo bener-bener nyuruh gue investigasi, ya," sapa Nus. "Ini gue udah dapet sedikit info. Tapi lo jangan kaget, ya."

"Ada apa?" tanya Valeria, jantungnya berdebar kencang.

"Mantan pacar Damian itu namanya Fara," bisik Nus, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Dan kabarnya, Damian putus sama mantannya ini gara-gara Revan. Ada yang bilang juga, Revan ngerebut Fara dari Damian dan menjalin hubungan di belakang. Makanya Damian marah besar karena ceweknya minta putus, dan Revan yang sudah menyuruhnya."

Valeria terdiam, memproses informasi yang baru saja ia dengar. Matanya membelalak, dadanya terasa sesak. "Hah... jadi... Damian deketin gue cuma buat manfaatin gue doang?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Kenyataan itu menghantamnya telak. Semua ancaman dan paksaan itu bukan karena ia, tetapi karena dendam masa lalu Damian terhadap Revan. Valeria mengepalkan tangannya di bawah meja. Sebuah api baru menyala di dalam dirinya, bukan lagi api ketakutan, melainkan amarah yang dingin.

"Lihat saja, Damian," batinnya dengan tekad baja. "Gue akan ikutin permainan lo."

Nus yang melihat perubahan ekspresi Valeria, dari terkejut menjadi penuh amarah, menepuk pundaknya. "Val, lo kenapa? Kok tiba-tiba diem gitu? Nggak usah dipikirin, itu kan cuma gosip."

Valeria menatap Nus dengan mata yang menyala. "Nus, lo punya foto Fara?" tanyanya, suaranya kini terdengar tenang, namun dingin. "Dan lo tahu, dia sekarang dimana?"

"Di SMA mulia." kata Nus.

"SMA Mulia?" ulang Valeria, terkejut.

Nus mengangguk, lalu menunjukkan sebuah foto di ponselnya. Itu adalah foto seorang gadis dengan rambut panjang bergelombang dan senyum manis. "Ini Fara," katanya. "Dan kabarnya, dia akan pindah ke sekolah kita dalam minggu-minggu ini."

Valeria menatap foto itu, pikirannya berputar cepat. Jadi, Fara akan kembali. Ini bukan hanya masalah masa lalu lagi. Ini akan menjadi masalah yang nyata, yang akan terjadi di depan matanya.

"Ini kesempatan gue," batin Valeria. Ia tidak lagi merasa takut. Api amarah dan tekadnya semakin besar. "Kalau Fara pindah ke sini, gue bisa ketemu dia. Gue bisa dengar langsung ceritanya."

Valeria menoleh ke arah Nus, tatapan matanya penuh dengan tekad. "Nus, makasih banyak. Lo udah banyak bantu gue," katanya. "Sekarang, gue punya rencana."

Valeria berjalan ke kelas dengan langkah mantap. Saat melihat Damian sudah duduk di bangkunya, ia tidak lagi menunduk. Ia menatap Damian dengan tatapan yang sama tajamnya, menunjukkan bahwa ia tidak lagi takut. Damian terkejut melihat perubahan sikap Valeria, dan ketegangan baru pun tercipta di antara mereka.

Pak guru masuk, dan pelajaran pun dimulai. Situasi belajar terpantau tenang, namun di bangku Valeria dan Damian, ketegangan terasa tebal, tak terlihat oleh siapa pun. Selama dua jam pelajaran berlangsung, mereka berdua duduk dalam diam, sesekali saling mencuri pandang yang penuh arti. Damian tampak terkejut dengan perubahan sikap Valeria, dan Valeria menahan diri, menunggu saat yang tepat untuk melancarkan rencananya.

Dua jam berlalu, dan bel pun berbunyi nyaring, mengakhiri pelajaran.

...Kring...! Krrriing.....! Krrringng....!...

Keira dan Naila, dengan wajah ceria, menghampiri meja Valeria.

"Val, ke kantin, yuk? Laper banget," ajak Keira.

Naila mengangguk. "Tumben, kok masih duduk aja? Ayo buruan, nanti kehabisan tempat."

Valeria menoleh ke arah mereka, lalu melirik ke Damian yang masih duduk santai di sampingnya, dengan senyum tipis yang penuh makna. Ia tahu, ia tidak bisa pergi sekarang.

"Kalian duluan aja," jawab Valeria, suaranya tenang. "Gue ada yang harus diomongin sebentar."

Keira dan Naila saling pandang, raut wajah mereka berubah bingung. "Sama Damian?" tanya Naila, tak percaya.

Valeria mengangguk. "Nanti gue nyusul."

Melihat keseriusan di wajah Valeria, Keira dan Naila akhirnya mengangguk pasrah. "Yaudah, jangan lama-lama, ya," pesan Keira. Mereka pun pergi, meninggalkan Valeria dan Damian berdua di kelas yang mulai sepi.

Valeria menunggu sampai Keira dan Naila menghilang dari pandangan. Ia lalu menoleh ke arah Damian, yang kini menatapnya dengan senyum sinis.

"Jadi ada yang mau lo tanyain? Langsung aja, gue soalnya udah laper ini, seperti mau nerkam orang," kata Damian, nadanya penuh kesombongan.

Valeria tidak gentar. Ia menatap Damian dengan mata yang tajam, penuh tekad.

"Kenapa lo masih dendam sama Revan karena Fara?" tanya Valeria, langsung pada intinya.

Senyum sinis Damian seketika memudar, digantikan oleh ekspresi terkejut dan marah. Matanya membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Fara?" desisnya. "Dari mana lo tahu nama itu?"

Damian terdiam, tatapan kagetnya berubah menjadi penuh kecurigaan. "Siapa yang kasih tahu lo?" tanyanya, suaranya kembali dingin.

Valeria membalas tatapannya tanpa gentar. "Lo nggak perlu tahu gue tahu dari mana," jawabnya dengan nada tenang. "Jawab saja pertanyaan gue."

Damian mendengus, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. "Gue nggak tahu apa yang lo omongin."

"Oh, ya?" potong Valeria, menyeringai tipis. "Apa benar Revan merebut Fara dari kamu? Sampai-sampai kalian putus dan kamu marah besar?"

Pertanyaan itu tepat sasaran. Wajah Damian seketika memerah, ia mengepalkan tangannya di bawah meja. "Siapa yang bilang Revan merebut Fara?!" bentaknya. "Revan yang meracuni pikiran Fara! Revan yang menyuruh Fara untuk pergi dari gue! Dia bilang gue nggak pantas buat Fara!"

Valeria menatap Damian, sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. "Lo yakin apa yang dikatakan Fara? Gimana kalau sebaliknya?" tanyanya, suaranya tenang tapi menusuk. "Gimana kalau Revan enggak mengatakan itu, tapi dia sendiri yang mengarang?"

Damian terdiam, kata-kata itu memukul telak dirinya. Wajahnya yang tadinya merah karena amarah kini membeku. Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu.

"Enggak mungkin," desis Damian, lebih ke dirinya sendiri. "Fara enggak mungkin berbohong."

"Mungkin aja, kan?" timpal Valeria. "Lo sudah bertemu Fara lagi? Lo sudah dengar cerita yang sebenarnya dari dia?"

Damian menunduk, otaknya berputar keras. Selama ini ia hanya percaya pada kata-kata Fara. Ia memendam kebencian pada Revan tanpa pernah mencoba mengklarifikasi kebenaran. Mata Damian menatap kosong ke depan, keraguan mulai menyusup ke dalam hatinya.

Valeria melanjutkan, nadanya tetap tenang dan penuh perhitungan. "Ada dua kemungkinan yang terjadi, Damian. Pertama, Fara memang mau putus sama lo karena dia suka sama Revan. Tapi lo nggak terima, makanya dia deketin Revan. Tapi revan nggak mau, karena dia tahu fara masih milik lo. Hingga akhirnya fara mengatakan kata-kata itu ke lo sebagai alibi dia."

Damian tidak menyela. Ia hanya menatap Valeria, bingung.

"Kedua," lanjut Valeria, "dia kecewa sama lo, sampai-sampai dia sengaja mendekati Revan cuma buat bikin lo cemburu, manas-manasin lo, dan bikin lo marah. Niatnya dia nggak mau putus, dia cuma lagi 'ngetes' lo."

Valeria mencondongkan tubuhnya ke depan. "Intinya, terlepas dari yang mana pun yang benar, itu masalah kalian. Bukan masalah gue, dan bukan alasan buat lo ngancam Revan."

Wajah Damian tampak kosong. Pikirannya berputar, mencoba mencerna dua kemungkinan yang bahkan tak pernah terlintas di benaknya. Selama ini, ia hanya melihat Revan sebagai penyebab masalahnya. Tetapi, kata-kata Valeria membuka sudut pandang baru yang membuat seluruh keyakinannya runtuh.

Setelah Valeria mengatakan itu, ia pun bangkit dan meninggalkan Damian yang masih terdiam, membeku di kursinya. Semua narasi yang selama ini ia yakini telah hancur dalam hitungan detik.

...Hanya ilustrasi gambar....

Valeria memasuki kantin yang riuh. Pandangannya segera menemukan Keira dan Naila yang sudah duduk di sebuah meja, di samping piring-piring makanan mereka. Keduanya menoleh, raut wajah mereka dipenuhi rasa penasaran dan cemas.

"Val, akhirnya," sapa Keira, lega. "Gimana? Lo nggak apa-apa?"

Valeria mengangguk, lalu duduk. Ia mengambil napas dalam-dalam, senyum tipis terukir di wajahnya. "Gue nggak apa-apa. Malah, gue sudah jauh lebih baik."

Naila dan Keira saling pandang, bingung. "Maksud lo?" tanya Naila.

"Dia sudah berhenti mengganggu gue," kata Valeria, suaranya tenang dan penuh keyakinan. "Gue sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Valeria kemudian menceritakan semua yang ia ketahui, mulai dari informasi yang ia dapat dari Nus hingga percakapannya dengan Damian di kelas. Keira dan Naila mendengarkan dengan saksama, raut wajah mereka berubah dari cemas menjadi kaget, lalu terkejut.

"Jadi... selama ini dia cuma manfaatin lo?" tanya Keira, tidak percaya.

Valeria mengangguk. "Dan dia yakin Revan yang jadi penyebabnya. Tapi gue udah kasih tahu dia, bahwa itu semua hanya karangan dari Fara saja."

"Berarti dia nggak jadi ngancam lo lagi, kan?" tanya Naila.

"Entahlah," jawab Valeria. "Tapi yang jelas, sekarang dia yang bingung, bukan gue."

Keira dan Naila saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi keheranan. "Jadi, lo berani ngomong begitu ke Damian?" tanya Naila, takjub.

"Gue nggak mau lagi takut," jawab Valeria. "Dia yang mulai permainan ini, jadi gue harus ikutin permainannya."

"Gue nggak nyangka, Val," kata Keira, menggelengkan kepala. "Tapi, itu berarti Fara beneran bakal pindah ke sini?"

Valeria mengangguk. "Itu kesempatan kita. Kita bisa ketemu dia langsung dan tanya kebenarannya."

"Kalau gitu, kita harus lebih waspada," ujar Naila, nadanya kini penuh semangat. "Pokoknya, kita harus cari tahu kalau ada murid baru. Kita harus ketemu Fara duluan sebelum Damian."

Ketiganya saling bertukar pandang. Mereka tahu, ini adalah sebuah misi, dan Valeria tidak sendirian lagi.

Bersambung.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!