NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3. Bidadari Karina

Sudah tiga hari ini Karin mengurung diri dikamar, meringkuk di atas Kasur, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Tiga hari juga ia tak peduli dengan bujuk rayu ibu dan sahabatnya Nia yang memohon agar Kari mau untuk makan, bahkan sekedar bangun dari tempat tidurnya atau berbincang. Sementara Putri yang setia menemani Karin di kamarnya, hanya menatap gadis itu dengan senyuman khas dibibir Putri yang seakan tak pernah pudar. Bagi Putri, apapun keputusan Karin tentang waktu 40 hari yang Karin miliki, adalah sepenuhnya hak Karin untuk menentukan mau ia apakan waktu itu. Bahkan jika waktu itu Karin sia-siakan begitu saja, Putri tak berhak mengatur Karin. Sedangkan bagi Karin, seberapapun banyaknya waktu yang ia miliki, tidak lagi berarti baginya yang tetap akan menghadapi sebuah kematian tragis setelahnya.

Mau hari ini atau besok, ia tetap akan segera mati, jadi biarkanlah waktu itu datang sendiri, lebih cepat lebih baik, batin Karina.

Siang itu, Karin membuka matanya yang mulai cekung dan menghitam, saat mendengar suara berisik dari arah ruang tengah. Suara Dimas, ia mengenali betul suara itu meski tak melihat si pemilik suara. Dimas terdengar berteriak memanggil nama ibunya, lalu terdengar ia menghubungi seseorang lewat telephone. Sesaat kemudian dimas terdengar memanggil tetangga, dan mereka seperti beraba-aba mengangkat sesuatu keatas sofa, diikuti suara tangis Dimas yang terisak.

Karin mendengarkan suara-suara itu dengan seksama, menerka nerka apa yang terjadi. Hingga ia mendengar suara dokter Joko, dokter keluarga mereka. Dalam tiga hari ini memang dokter Joko selalu datang memeriksa kondisi Karin, bahkan kemarin sore dokter Joko berpesan agar Karin segera dilarikan ke RS jika ia tak juga mau makan untuk mendapatkan perawatan, mengingat sudah tiga hari ini tidak ada makanan yang masuk ketubuhnya, hanya sesekali minum jika bu Nurma memaksanya. Namun ini masih siang untuk jadwal kunjungannya, dan Karin tak juga mendapati dokter Joko memasuki kamarnya. Lalu apa yang ia lakukan di rumah ini? Siapa yang ia periksa?

Rasa penasaran Karin mendorong tubuhnya untuk bangkit dari Kasur dan keluar dari kamarnya menuju ruang tengah, tempat yang tadi menjadi pusat suara riuh. Terlihat di sana, berbaring di atas sofa ruang tengah, mamanya. Tampak lemah dan menyedihkan. Sementara suara isak tangis Dimas masih belum berhenti.

Melihat kakaknya yang berjalan gontai menuju mereka, justru membuat Dimas naik pitam. Ia berdiri menatap Karin yang masih mencari tahu apa yang terjadi dirumah itu.

“Ngapain lu keluar?! Lu mau mati kan?! Lu pengen mati kan?! Mati aja lu sendiri, jangan bawa-bawa mama! Jangan bikin mama gue jadi sakit gara-gara khawatir sama lu!” jerit Dimas tak terbendung. Tangisnya pecah.

Baru kali ini Karin melihat adiknya menangis seperti ini, namun mata Karin tak lepas dari tubuh lemah ibunya yang terbaring disofa. Sementara tangan ibunya meraih tangan Dimas, berusaha meredam emosi adiknya dengan membara. Menggeleng lemah seolah melarang Dimas melanjutkan amukannya.

Karin berjalan terhuyung-huyung mendekati ibunya, disambut dengan senyuman bu Nurma yang beberapa hari ini menguap terbang bersama dengan hilangnya semangat hidup anak gadisnya itu.

“Mama….”

Karin terduduk dilantai, menyenderkan kepalanya keperut samping ibunya yang masih terbaring disofa. Ia menangis, menangis dengan sangat pelan. Sudah tak ada tenaga baginya untuk terisak apalagi menangis histeris. Bu Nurma membelai lembut kepala Karin. Tanpa suara.

“Mama sakit?”

“Tidak sayang.”

“Mama sakit.”

“Tidak.”

Mendengar percakapan itu, Dimas berlalu jengah. Masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu keras. Karin dan bu Nurma bahkan tak memperhatikan itu, mereka larut dalam keharuan dan kerinduan.

“Maafkan Karin, mama.”

Bu Nurma tersenyum lega, setidaknya hari ini Karin mau keluar kamar, mau berbicara dengannya.

“Maafkan mama, mama gagal mendampingimu nak.”

Karin menggelengkan kepalanya, air mata deras mengalir. Kepalanya berdenyut, ada banyak hal yang berputar disana, sampai sesak dan tidak tahu harus bagaimana melerainya.

“Bolehkan mama tahu, apa yang terjadi padamu Karin?”

Karin terdiam, haruskah ia mengatakan bahwa ia sedang menunggu kematian? Harusnya ia ceritakan bahwa ia akan segera pergi meninggalkan ibunya? Ah, rasanya tidak mungkin. Dirinya saja tidak tahu bagaimana cara mempercayai hal itu, bagaimana mungkin mamanya akan mengerti? Jika karin sendiri merasa konyol dengan apa yang sedang ia hadapi, mungkin justru ibunya akan menganggap Karin sudah tak waras jika mengatakanya.

“Karin, boleh mama minta tolong?” Karin mendongak menatap ibunya, mengangguk.

“Temani mama makan ya?” Karin terbengong, ia baru saja sadar wajah mama semakin tirus, apakah mama juga tidak makan karena dirinya yang tak mau makan? Jadi ini yang membuat mama sakit? Rasa bersalah membuatnya mengangguk dan menurut saat ibunya bangkit dan menuntun perlahan langkah mereka ke meja makan.

“Kita makan ya, mama suapi pakai tangan. Seperti waktu kamu kecil dulu.”

Bu Nurma menyuapkan nasi uduk kemulut Karin yang mengering dan mulai pecah. Sedikit demi sedikit nasi uduk mereka santap, membangkitkan semangat dan harapan bu Nurma akan kembalinya putri satu-satunya itu. Sesekali bu Nurma menyeka air matanya sendiri dan air mata Karin yang juga luluh bersamaan dengan mulutnya yang bergoyang perlahan berusaha mengunyah makanan.

“Tadi pagi Dimas ke pasar, beli nasi uduk di dekat toko buah langganan kamu itu.” Cerita Bu Nurma dengan suara yang masih sangat lemah.

“Ternyata sudah lama sekali mama tidak menyuapimu ya?” mereka tersenyum bersamaan.

“Anak mama sudah besar rupanya. Maaf ya, mama selalu sibuk dengan pekerjaan mama.”

Karin menatap mata bu Nurma, menggali memory masa kecilnya disana. Betapa bu Nurma sebagai seorang ibu, sudah sangat bekerja keras untuk bisa menjadi sosok seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya, namun juga berusaha hadir sebagai sosok seorang ayah bagi mereka. Bukan hal yang mudah tentunya. Bu Nurma pasti sudah melalui begitu banyak kesulitan dalam hidupnya.

“Nak, mama tidak pernah menuntutmu untuk menjadi anak yang sempurna. Apapun kesalahan yang kamu lakukan mama akan berusaha untuk memahami dan memaafkan.” Hening sesaat.

“Mama hanya meminta padamu dan adikmu, jadilah apa yang kalian inginkan. Hiduplah berbahagia. Isi hidupmu dengan sesuatu yang membuatmu menjadi bermakna dan bermanfaat.”

“Walaupun seandainya hidup kita tidak lama?”

“Tuhan lebih mengerti umur yang paling tepat untuk umatnya. Dan tugas kita sebagai umatnya adalah mengisi waktu hidup kita dengan kebaikan dan kebahagiaan, seberapapun singkatnya hidup kita.”

Karin menatap lekat wajah bu Nurma, menyadari betapa cantik bidadari di hadapannya itu. Tak hanya cantik wajahnya, namun juga hati dan cara berfikirnya. betapa beruntungnya ia terlahir dari Rahim wanita hebat ini. Juga betapa tiga hari ini ia sudah melakukan hal yang sangat bodoh, menyia-nyiakan sisa hidupnya alih-alih untuk membuat orang yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya itu bahagia sebelum ia tinggalkan selama-lamanya.

Karin tersenyum, kini ia tahu apa yang harus ia lakukan selama 37 hari ke depan, sambil menunggu apakah benar kematian itu sedang berjalan kearahnya. Atau itu hanya omong kosong si hantu kecil yang saat itu diam-diam sedang mengawasi adegan ibu dan anak ini, dari atas kulkas dipojok ruang keluarga sambil tersenyum, tentu saja.

“Mama, terimakasih udah jadi mama Karin. Karin janji akan hidup sebaik mungkin, buat mama.”

Janji Karin pada ibunya, membuat segala keresahan dan duka yang merundung bu Nurma beberapa hari itu sirna seperti embun yang menguap oleh sinar matahari. Bu Nurma tersenyum lega, mengangguk mantap dan mencium kening putrinya.

“Sekarang, makan sendiri ya, mama sakit perut.” Bu Nurma berlari kearah toilet, entah mendapat kekuatan dari mana, ia yang awalnya lemah tak berdaya mendadak memiliki kekutan untuk berlari dan meledek kea rah putrinya.

“Mama ih…..” Tawa terkikik Putri dari atas kulkas mengiringi gerutu Karin melihat ibunya ngacir ke kamar mandi sambil memegangi perutnya.

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!