Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.
Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.
"Suka lo itu bikin capek ya."
"Gue nggak pernah minta lo suka gue."
Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.
"Kamu adalah kesialan yang lahir!"
Itulah yang sering Jihan dengar.
Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa
__________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbedaan
"Makasih ya, Abi, udah mau nganterin aku pulang." Jihan turun dari motor Abintang, senyum di wajahnya masih terlihat. Hari ini dia sedang berbunga-bunga. Kapan lagi Abintang bisa mengantarkan dia pulang.
"Gue pergi dulu," pamit Abintang.
Jihan mengangguk. Melambaikan tangannya senang. "Bye bye, Abi sayang! Hati-hati di jalan, ya. Aku nggak mau denger kamu jatuh dari motor, terus luka-luka, pokoknya harus selamat sampai rumah!"
Abintang meliriknya dari balik helem. "Lo doain gue jatuh dari motor?"
Jihan menggeleng panik. "ENGGAK!! MANA MUNGKIN AKU DOAIN KAMU JELEK-JELEK!
"Paling aku doain kamu supaya jadi calon suamiku di masa depan, hehe." Dia tersenyum malu dengan pipi memerah.
"Sinting!"
Jihan melotot, "IHHH ABINTANG KOK TEGA!!"
Abintang menghela napas lalu menjalankan motornya pergi meninggalkan area rumah Jihan.
"HATI-HATI SAYANG!!" Teriaknya, namun Abintang sudah tidak terlihat. Jihan tertawa kecil, cuma Abintang yang bisa membuatnya menjadi seperti ini. Gila.
Gimana gue nggak sayang sama lo, kalo lo aja sumber bahagia gue, Bin.
Semoga aja, suatu hari nanti lo lihat gue, dan mau buka hati lo buat gue. Batin Jihan.
Tiba-tiba suara renyah terdengar dari perut Jihan. Jihan menunduk, dia sama sekali belum makan sedari pagi, karena jatah makannya sudah ia ambil untuk membuatkan bekal makanan tadi pagi. Sepertinya hari ini Jihan tidak makan, jika dia nekat mengambil makanan di meja makan, pasti ibunya marah.
"Sakit banget perut gue, kayaknya magh gue kambuh deh!" Jihan memegang perutnya yang nyeri.
"Tahan jihan, kamu pasti kuat! Iya! Jihan nggak boleh lemah!" Dia menarik napas dalam-dalam, berharap rasa nyerinya cepat mereda.
"Mending gue tidur aja, deh!" Ujarnya lalu memasuki rumah. Dia ingin cepat-cepat tidur untuk menghilangkan rasa sakit di perutnya.
Namun, baru saja melangkah masuk, dia sudah di semprot oleh omelan panjang. "Kenapa baru pulang sekolah? Ngapain aja kamu setelah pulang? Apa jangan-jangan kamu pacaran dulu?"
"Mau jadi apa kamu kalo pacaran terus? Cowok mulu yang ada di otak kamu. Jihan Jihan, kamu itu sudah bodoh, tapi nggak pernah mau belajar. Contoh abangmu, dia bahkan, bisa dapet beasiswa di universitas berkualitas. Nggak membebani orang tua. Kamu kapan Jihan?" Ucap Mira membandingkan.
Jihan sudah tidak mood meladeni perkataan wanita tua itu, yang sudah pasti adalah ibunya. Dia benar-benar lelah hari ini. "Iya, Mah. Maafin Jihan. Udah ya, Jihan capek, mau istirahat," Balasnya lembut.
"Capek? Ngapain aja kamu sampe capek? Kamu ini cuma sekolah aja ngeluh capek. Nilai aja anjlok semua, nggak ada yang bagus, kamu sebenarnya sekolah ngapain aja, sih!" Teriak Mira.
"Aku belajar kok, mah. Tapi apa mamah lihat perjuangan aku? Enggak, kan? Tapi emang Jihan nggak bisa sepinter abang, kepintaran orang beda-beda, Mah! Nggak bisa disamain." Jihan lelah, dia ingin segera tidur.
"Halah! Belajar apanya? Mamah lihat kamar kamu isinya cuma kanvas sama cat lukis doang, itu yang kamu bilang belajar?"
Jantung Jihan berdebar kencang. Kenapa Mira bisa masuk kedalam kamarnya? Bukannya sudah ia kunci. Tidak, bukan itu masalah, tetapi... "Mamah nggak nyentuh alat lukis aku, kan?!"
Mira mengedikkan bahunya acuh. "Mamah bakar kanvas kamu. Lagian alat itu nggak berguna, nggak bisa bikin kamu pinter," jawabnya santai membuat hati Jihan terasa ditusuk seribu jarum.
Kenapa?
Mata Jihan sudah berkabut, "Kenapa dibakar, Mah? Itu Jihan belinya nabung susah payah...," Lirihnya.
"Apa bergunanya alat kayak gitu? Mending sekarang kamu belajar! Biar pinter!
Tangan Jihan mengepal, ia memandang Mira marah. "KENAPA MAMAH TEGA!!? MAMAH NGGAK PUNYA HAK BUAT ATUR APA YANG AKU SUKA!?"
Plak!
"Kurang ajar! BERANI KAMU MEMBENTAK MAMAH?! MAU JADI ANAK DURHAKA KAMU?!" Hardik Mira menatap putrinya geram.
Jihan menunduk, sudah biasa dengan tamparan yang ia terima. "Maafin Jihan karena udah bentak mamah." Dia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah.
Mira menatapnya malas. "Sana pergi!" Usirnya, mendorong bahu jihan kasar.
"Jihan pamit ke kamar dulu, Maafin Jihan." Dia beranjak pergi meninggalkan Mira yang masih kesal.
Dengan lesu Jihan menaiki tangga, menuju kamarnya. Setelah sampai, ia cepat-cepat melihat alat lukisnya. Apakah masih ada yang tersisa. "Untung aja gue sembunyiin kuas sama cat warna yang masih bagus, kalo nggak udah pasti di bakar ini mah." Jihan mengusap dadanya lega, setelah melihat beberapa koleksi cat warna yang masih baru.
Yang di bakar oleh Mira mungkin kanvasnya yang terpajang di tembok, dan beberapa alat lukisnya di meja. Jihan membuka lacinya, mengambil sketchbook hitam dan membukanya. Terdapat sketsa wajah Abintang di sana. "Kapan, ya gue bisa dapetin hati lo? Apa gue sejauh itu dari selera lo." Jari-jarinya mengusap kertas bergambar wajah itu.
Jihan tidak mengerti kenapa dia bisa menyukai Abintang. Awal perasaannya tumbuh adalah saat dia baru pertamakali masuk SMA, waktu itu nama Abintang dipanggil ke depan lapangan dan mendapatkan penghargaan lomba olimpiade, juga berhasil mendapatkan medali emas. Jihan sangat kagum akan sosoknya yang begitu wibawa.
Setiap melihat sosok Abintang jantungnya serasa berdebar kencang, dia tidak mengerti kenapa. Hingga saat ia sadar ternyata dia sedang jatuh cinta, bodohnya Jihan malah langsung mengungkapkan perasaannya di depan umum. Dan, yah, Abintang menolaknya mentah-mentah.
"Jihan bego!" Umpatnya pada diri sendiri.
"Lagian salah siapa jadi cowok kok sempurna banget. Kayaknya gue nggak pantes deh sama dia, kita aja jauh. Dia pinter, gue bego. HUHHHH!!! JIHAN NGGAK BOLEH MINDERI!"
"Tapi dia emang sempurna. Ganteng lagi, hehe." Dia cekikikan sendiri. Memang sudah gila.
Jihan membuka ponselnya untuk melihat, apakah pesannya sudah di balas Abintang? Ternyata belum, hanya di baca saja. Itu membuat Jihan uring-uringan.
"IIHHH KENAPA DI READ DOANG, SIH! TUH COWOK BENER-BENER, YAA! NYEBELIN!!" Wajahnya cemberut.
Meski begitu, di tetap mengirimkan pesan lagi pada Abintang.
Jihan Alessa: Abintang udah sampe rumah?
Jihan Alessa: Abintang nggak kenapa-kenapa, kan?
Jihan Alessa: Abintanggggg Jihan kangennn🥺
Jihan Alessa: Abintang udah tidur belum? Kalo udah tidur, jangan lupa mimpiin aku yaaa, hehehe
Jihan Alessa: Good night Abiisayang❤️
Jihan membuang napas panjang ketika tidak mendapatkan balasan. "Alay juga ya gue?" Dia tertawa sendiri membaca pesannya.
"Udah lah, mending bobo biar besok cepet-cepet ketemu ayang."
🌼🌼🌼
Di sisi lain, Abintang tengah selesai mandi, dia mengecek ponselnya yang sedari tadi berbunyi. Puluhan pesan ia terima dari banyak kontak perempuan, tapi yang paling atas adalah milik gadis gila, siapa lagi kalo bukan Jihan. Dia hanya membacanya sekilas, lalu menutupnya. Ratusan kontak perempuan pun ia hapus karena memenuhi Line-nya.
Abintang melemparkan ponselnya ke kasur, kemudian melangkah keluar kamar, menuruni tangga, dan sampai di dapur. Abintang juga melihat ada dua sejoli yang sedang bermesraan. Jika kalian mengira itu adalah orang tua Abintang, jelas salah.
"Tan, ada roti nggak? Bintang nggak terlalu laper, jadi pengen roti aja," Ujar Abintang membuat Rossa menjauhkan wajah suaminya yang masih memeluknya.
"Roti? Yahh, Tante belum stock, kemarin habis karena di makan Om kamu ini!" Dia melirik sinis Arkan.
"Loh kenapa jadi aku? Kan aku nggak tahu kalo roti di kulkas buat stock, jadi kuhabisin aja," Balas pria dewasa itu santai.
"Rakus itu namanya, orang aku kemarin beli lima, terus besoknya aku lihat kok cuma sisa bungkusnya doang!" Omel Rossa pada pria itu.
"Iya maap, lagian kamu kan bisa buat roti sendiri kan? Malahan lebih enak roti buatan kamu," Sahut Arkan mencoba merayu istri nya, dan berhasil. Rossa pun menoleh ada Abintang yang kini sudah duduk di depan meja makan.
"Sayang, kamu mau cheese cake nggak? Tante buatin," Tawarnya pada lelaki tampan itu.
"Boleh deh," balas Abintang singkat.
Rossa tersenyum mendengarnya, dia mulai membuatkan cake. Sedangkan Arkan kini memilih duduk di sebelah Abintang. "Om dengar-dengar, kamu ikut tim basket di sekolah ya?" Tanyanya pada keponakannya tersebut.
Abintang mengangguk. "Iya, mau nyari sensasi baru aja."
Arkan terkekeh kecil. "Lahh, nggak papa lah ikut. Dari pada tiap sore main basket sama temen-temen om? Apa kamu nggak bosen, kumpul sama bapak-bapak komplek?" Dia tersenyum geli mengingat Abintang sering dimarahi teman-temannya karena permainan lelaki itu yang egois, tapi sekarang Abintang sudah mulai ahli memainkan olahraga tersebut.
Bahkan, Abintang sudah bisa mengungguli teman-temannya yang notabenya adalah pelatih basket. "Minggu depan juga katanya bakal ada pertandingan lawan sekolah lain, sebenarnya itu buat seleksi, sih. Tapi lumayan kalo menang bisa wakilin provinsi. Kamu ikutlah," Ujar Arkan menyakinkan Abintang.
"Aku nggak tahu, Om. Lagian aku juga masih jadi anggota baru, mana mungkin bakal kepilih langsung jadi tim inti," Jawabnya santai.
Benar juga, Arkan tidak kepikiran sampai situ. "Sebenarnya, Om bisa aja bikin kamu ikut lombanya, tapi Om nggak mau kamu jadi keenakan. Lebih baik usaha dari awal dulu, baru jika sudah layak tanding, pasti kamu akan di pilih. Om yakin itu!" Katanya sembari menepuk pundak Abintang, menyemangati.
"Iya om," Jawab Abintang lembut. Arkan sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri, jadi dia merasa nyaman jika mengobrol dengan pria ini.
"Cake sudah jadi!!" Seru Rossa senang, lalu menaruhnya di meja. Setelah beberapa jam yang lalu akhirnya cake nya jadi.
Arkan mengambilnya satu, Abintang pun turut ikut serta. "Gimana? Rasanya aneh nggak?" Tanya Rossa .
"Enak kok, Tan. Kue tante nggak ada yang gagal," Puji Abintang seadanya.
Rossa bersemu mendengarnya, percayalah, wanita suka jika masakannya dipuji. "Ahh kamu bisa aja!"
Arkan tertawa kecil, menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Dih, giliran Abintang yang muji aja seneng. Coba aja aku yang muji, pasti mukanya judes!"
"Ya karena kamu pemakan segalanya! Aku kasih batu sama kayu juga kamu tetep bilang enak!" Hardik Rossa menistakan suaminya sendiri.
Abintang tersenyum sombong menatap Arkan, hingga pria itu berdecak malas. Tiba-tiba Rossa menepuk keningnya, "Ehh, kita udah seminggu full nggak ke makam mbak Dewi! Besok kita kesana gimana?" Tanyanya pada Abintang.
Abintang hanya terdiam sejenak, berhenti mengunyah kuenya membuat Rossa merasa bersalah. "Abintang... Kamu nggak kangen mamah, hmm?" Tanyanya lembut.
"Kangen. Abintang kangen mamah. Tapi besok Abintang mau kesana sendiri, boleh?"
Rossa dan Arkan saling pandang kemudian menatap Abintang bersamaan. "Boleh sayang," Balas Rossa mengerti.
Arkan mengusap kepala Abintang. "Jangan berlarut-larut, suatu saat kamu juga akan butuh dia. Ingat. Jangan pernah terbutakan oleh dendam." Titahnya menasehati.
Tangan Abintang mengepalkan di bawah meja.
Nggak bisa. Pria itu udah bikin mamah pergi. Sampai kapanpun, Abintang akan membencinya.
🌼🌼🌼
Makanan apa yang bikin sedih. Makan sambil liat karya gak ada yang baca🥺 Sedihhh prennn!
Tapi gapapa. Gak berharap lebih juga kalo bakal ada pembaca. Cukup cerita ini saja yang tamat, aku sudah jingkrak-jingkrak hehhe!
Dadahh prenn!