Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 29
"SAHIRA MAHESWARI PANGESTU! BUKA MATAMU!!” Usapan lembut tadi, mulai terasa kuat kala si empunya tetap memejamkan mata.
“Kau tak boleh pingsan! Bangunlah, Sahira!” tetesan air mata mengalir disudut matanya, jemarinya bergetar hebat, rasa takut menyergap.
“Berisik, Adisty Pangestu!” Sahira berkata lirih, perlahan membuka kelopak matanya, menatap lemah.
Adisty Pangestu mengusap kasar air matanya, ia bersimpuh memeluk lembut tubuh lemah Sahira. “Kau membuatku takut!”
“Bantu aku duduk, Adisty!” Diusapnya lembut punggung wanita yang masih memeluknya.
Adisty membantu Sahira duduk, bersandar pada dinding. “Minumlah obat pereda nyeri, agar kau tak begitu kesakitan.”
Wanita yang tadi tak berkedip saat meninju, menendang Sahira, kini wajahnya dipenuhi air mata, jemarinya masih bergetar mencoba membuka resleting tasnya.
Sahira mencegahnya. “Apa ada korban membawa obat saat dia diculik, disiksa? Tindakan gegabah mu ini akan menjadi bumerang untuk kita.”
Helaan napas panjang nan berat terdengar nyaring, Adisty terduduk di atas lantai berdebu, ia memejamkan mata mencoba mencari ketenangan kala hatinya kalut luar biasa.
“Lakukanlah sisa tugasmu! Tak lama lagi Thariq pasti tiba di sini!” titahnya, menarik betis agar lututnya menekuk. Kemudian menyingsing ujung celana, terlihatlah kalung pernikahan yang dililitkan pada pergelangan kaki. Sengaja melakukan hal ini, demi menyembunyikan benda yang tak sekadar perhiasan.
“Kau tahu, hal yang paling membuatku muak … lagi dan lagi melihatmu kesakitan, tapi aku tak berdaya untuk menolong.” Adisty berdiri, melangkah ke pojokan, mengeluarkan sarung tangan nilon, pengaman yang tidak akan meninggalkan sidik jari.
Kedua tangan Adisty kini sudah mengenakan sarung tangan, lalu ia mengeluarkan botol berisi larutan asam kuat yang pekat (air keras), gunting, pisau cutter, semua benda itu terbungkus dalam plastik.
Wanita yang tadi menunjukkan raut sedih, kini kembali berekspresi datar. Dalam senyap ia menyelesaikan pekerjaan akhir skenario yang jauh-jauh hari telah dirancang secara matang, mendetail.
Sahira menggantung kalungnya menggunakan jari telunjuk, sorot matanya terlihat mengejek, sudut bibir robeknya tertarik menyuguhkan senyum culas.
“Kau kira aku tak mengetahui kalau kalung ini bukan sekadar emas biasa, tetapi dilengkapi dengan pelacak GPS mini.”
Ya, Thariq Alamsyah memesan kalung khusus yang dilengkapi alat pelacak di salah satu toko perhiasan ternama. Tujuannya cuma satu, sewaktu-waktu berguna semisal kehilangan kontak dengan sang istri.
Maka dari itu, Sahira tidak mengenakannya di leher, khawatir benda itu dirampas juga seperti tas nya, oleh para preman yang tadi menculiknya.
Ponsel Adisty bergetar, tanpa merespon panggilan itu dia tahu sudah waktunya angkat kaki.
“Pergilah! Jangan khawatirkan apapun! Aku baik-baik saja, ini hanya luka luar.” Sahira menatap sayang sosok yang diam-diam selalu memantau dari kejauhan, memastikan dirinya aman dan tak pernah sendirian.
Benda -benda yang terdapat sidik jarinya, sudah ia masukkan ke dalam tas. Tersisa hanya barang dipenuhi sidik jari Arimbi Wiguna, dan Jenny Mandala.
“Jaga dirimu baik-baik! Aku tak dapat menjamin bisa menahan diri bila kau sampai benar-benar sekarat, Sahira Maheswari Pangestu!”
Sosok tenang itu melangkah dalam senyap, menuruni anak tangga. Apa dia langsung tancap gas meninggalkan lokasi dimana Sahira tergeletak? tentu saja tidak.
Adisty Pangestu, bersembunyi dibalik dinding tembok seberang bangunan yang sama-sama tak lagi digunakan. Menggunakan teropong mini, ia mengintai. Ingin memastikan kalau Sahira aman, mendapatkan pertolongan tepat waktu.
Satu hal yang Arimbi dan Jenny tidak ketahui, Adisty tak benar-benar meninju pipi Sahira, melainkan melakukan trik licik. Saat tangannya terayun, Adisty bergeser menutupi penglihatan dua wanita durjana.
Yang Arimbi dan Jenny lihat, Sahira habis dibantai oleh orang kepercayaan mereka. Sesungguhnya, memang itulah rencana Sahira. Adisty mengambil peran menjadi eksekutor, layaknya Algojo menendang Sahira tanpa ampun hingga tubuh kurus itu rubuh.
Kenyataannya, Adisty sengaja maju, supaya luka yang dialami Sahira hanya memar dan mudah sembuh, bukannya cacat permanen.
Andaikan saja Adisty membiarkan Arimbi dan Jenny terus menyiksa Sahira, dapat dipastikan istri kedua Thariq Alamsyah itu mengalami luka tusuk, robek, tulang rusuk patah, lebih mengerikan lagi wajahnya cacat disiram air keras.
.
.
Sahira menunggu dalam diam, mensugesti dirinya agar rasa sakit fisik yang dirasakan bukanlah hal yang patut dikeluhkan. Sebab, luka hatinya jauh lebih dalam, besar, tak ada obatnya sebelum dalang pemberi penderitaan itu merasakan berkali-kali lipat pembalasannya.
Kalung emas tak lagi berbentuk sempurna, sudah Sahira putus dan kini ia genggam, seolah dirinya rela babak belur demi mempertahankan harta karun.
Wajahnya pun lebih kotor dari sebelumnya, telapak tangan penuh goresan mengusap kasar semen kasar berdebu, lalu menepuk-nepuk kuat kedua pipi yang terasa berdenyut.
***
‘Ya Tuhan, tolong lindungi dia. Tolong selamatkan nyawanya. Cukup satu kali saya kehilangan sosok yang begitu berarti, kali ini saya mohon, jangan!’
Selama perjalanan yang terasa sangat panjang, Thariq Alamsyah terus merapalkan doa.
Setelah memutuskan panggilan dengan sang adik, ia membuka aplikasi ponsel yang terhubung dengan GPS mini di kalung sang istri. Begitu mendapatkan titik lokasi, hatinya bertambah cemas.
Langsung saja, dua kendaraan beroda empat menuju kawasan pinggiran kota, bangunan terbengkalai.
Hari beranjak sore, sinar sang surya mulai meredup, warna jingga terlihat indah di cakrawala.
Begitu tiba di lokasi berhalaman semak, Thariq langsung membuka pintu, tidak peduli pada keselamatan nya sendiri. Sosoknya berlari mencari pujaan hati.
Empat orang yang menguasai ilmu bela diri termasuk Damar, terlihat waspada. Mereka mengikuti langkah terburu-buru sang tuan.
Deg deg deg
Detak jantung Thariq Alamsyah bertalu, hatinya bagaikan ditikam sembilu, rasa takut menguasai, mematikan logika dan melemaskan tulang persendian.
“SAHIRA!” teriakan itu menggema pada dinding tak berjendela.
“Tuan!” Damar menahan bobot boss nya yang nyaris limbung.
“Saya tak apa-apa!” Thariq menggelengkan kepala yang terasa begitu berat, pandangannya mulai berkunang-kunang. ‘Tolong jangan sekarang!’
Rasa trauma atas kehilangan sang ayah, potongan kejadian mengerikan kecelakaan yang nyaris juga merenggut nyawanya, bagaikan tayangan tumpang tindih berputar di kepalanya.
“Nyonya ada di atas, Tuan!”
Seruan salah satu sang pengawal, berhasil membuat Thariq kembali ke dunia nyata. Langkahnya nyaris tersandung saat menaiki sekaligus dua anak tangga.
“SAHIRA!” Thariq berlari lalu berlutut, menatap nelangsa pada sosok tergeletak tidak berdaya, wajah berdebu lengket, sudut bibir berdarah, leher penuh luka cakaran, sebelah bahu terbuka dikarenakan tali tanktop robek, lalu lengan terdapat banyak goresan.
“Sayang bangun! Sahira, tolong buka matamu!” Ia pangku kepala yang terkulai lemas, mata terpejam.
Meskipun tak ada penerangan, tetapi mereka masih dapat melihat jelas, dikarenakan lebih dari separuh dinding terbuka tanpa jendela. Salah satu pengawal menemukan sesuatu, memberikannya kepada Damar, ketua mereka.
Mata terpejam itu mulai mengerjap lemah, netranya sayu menatap pilu.
“Sayang ….” Thariq langsung memeluk istrinya, dalam hati mengucapkan puji syukur.
“Thariq_ kalung_nya.” Bibirnya bergetar saat mengucapkan kalimat terbata-bata.
Thariq melihat pada jari yang menusuk lemah pahanya. “Mengapa kau ceroboh sekali? Biarkan saja benda itu rusak, hilang sekalipun tak apa. Asal kau tak terluka, Sayang.”
Persis seperti dugaan Sahira, Thariq mengira sang istri rela terluka demi mempertahankan kalung simbol pernikahan mereka.
Saat Thariq hendak membopong Sahira, Damar mengulurkan sesuatu, seuntai kalung yang sangat dikenali oleh boss nya.
“ARIMBI!” Ia menggeram, meremas benda berharga pemberiannya.
“CARI DIA SAMPAI DAPAT! BAWA KEHADAPAN SAYA!!”
.
.
Bersambung.
Siapa lavibtuh tikus yang datang. Arimbi kah...
mksh KK othor upnya
mantap banget penjabaran nya