DILARANG KERAS PLAGIARISME!
Aruni adalah seorang mahasiswi di sebuah universitas ternama. Dia berencana untuk berlibur bersama kawan-kawan baik ke kampung halamannya di sebuah desa yang bahkan dirinya sendiri tak pernah tau. Karena ada rahasia besar yang dijaga rapat-rapat oleh ke dua orang tua Aruni. Akankah rahasia besar itu terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENI TINT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 TUMBAL ANJANI
Di suatu sore, di sebuah desa yang lain, ada seorang pemuda yang sedang berjalan pulang dari ladang milik majikannya. Dia ditugaskan sebagai penggarap ladang dan diberikan bayaran yang cukup. Tugas yang diberikan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Karena ia tak ingin kepercayaan yang diberikan kepada dirinya tersia-siakan. Sang majikan awalnya memberikan tugas di ladang itu kepada Ayah si pemuda. Namun karena sang Ayah sedang melaksanakan sebuah pertapaan dan jaraknya jauh dari desa, akhirnya diberikanlah tugas tersebut kepada sang anak.
Sesampainya dia di pasar sebelum menuju rumahnya, ia berhenti di pedagang makanan langganannya. "Mbok, saya beli nasi dan pecelnya ya." Ucap pemuda itu.
"Eh, nak Kirman, sudah pulang dari ladang ya? Tumben sampai sore begini..." Ucap si mbok penjual sambil mulai menyiapkan pesanannya.
"Iya mbok, lagi banyak pekerjaan di ladang, soalnya garapan saya sudah mulai berbunga, jadi harus saya rawat lebih baik supaya hasilnya banyak nanti." Jawabnya.
"Oh begitu ya nak Kirman, ya sudah, mbok doakan supaya tahun ini hasil garapanmu banyak, jadi nanti majikanmu bisa kasih uang lebih banyak ya nak." Tutur si mbok penjual dengan senyum ramah. "Terima kasih ya mbok atas doanya..." Jawab si pemuda dengan sopan.
"Iya nak Kirman, sama-sama. Sebenarnya mbok kangen sama mendiang ibumu. Dia selalu jadi teman mengobrol mbok ketika di pasar. Sekarang mbok jadi tak ada teman mengobrol nak..." Ucapan si mbok membuat pemuda itu sedikit terdiam dan menunduk. Kemudian menengok ke arah samping lapak si mbok. Karena selama mendiang ibunya masih hidup, di sanalah tempat mendiang ibunya juga berjualan. "Saya juga kangen mendiang ibu, saya merasa belum banyak berbakti kepada beliau mbok. Doakan saja semoga mendiang ibu tenang di alam sana ya mbok." Jawab pemuda itu supaya si mbok pun tak larut dalam kesedihan.
"Ini nak Kirman nasi dan pecelnya." Si mbok memberikan pesanan pemuda itu dengan dibungkus daun pisang. Disusul oleh si pemuda dengan memberikan uang dan mengucapkan terima kasih.
"Eh, nak Kirman, tunggu dulu..." Si mbok penjual membuat langkah pemuda itu terhenti.
"Ada apa mbok? Uangnya kurang?"
"Bukan itu nak Kirman, mbok hanya mengingatkan, malam ini jangan keluar rumah, dan tutup rapat semua pintu sama jendela rumahmu ya!" Tegas si mbok. "Kamu itu kalau tidak diingatkan suka sembrono nak..." Tambahnya.
"Oh, iya mbok, aku paham. Nanti semuanya aku tutup rapat, sampai nyamuk saja tak bisa masuk kok... Hehehe..." Jawab si pemuda dengan tawa halusnya yang khas. Dan ia melanjutkan perjalannya menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah pemuda itu merapikan alat berladang di sudut dapur miliknya. Ketika ia sedang duduk beristirahat sejenak, ia teringat kembali akan keberadaan sosok mendiang Ibunya. Sang Ibu memang telah lama meninggalkan dirinya, namun semua kenangan indah itu tak pernah ia lupakan. Tak terasa air matanya mengalir lembut di pipi kanannya. Terbayang saat sang Ibu memasak di tungku perapian kayu untuknya, masakan yang sangat ia suka, nasi pecel.
"Ibu..." Ucapnya lirih dengan rasa rindu yang mendalam di hatinya.
"Seandainya ibu masih ada, aku tak akan merasa kesepian. Dan tak perlu membuat orang lain di desa sibuk memperhatikan keseharianku Bu." Tambahnya dengan suara sedikit terisak.
Waktu tak terasa sudah mulai malam. Tak ingin berlarut dalam kesedihan, ia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang kotor setelah berladang. Setelah ia mandi, ia memakai pakaian dan segera menyantap makanan yang dibelinya saat melewati pasar ketika pulang tadi sore. Rasa nasi pecel si mbok benar-benar mirip dengan buatan mendiang ibunya. Membuatnya sedikit tersenyum ketika melahap makanannya.
Selesai makan ia merasakan kantuk mulai datang. Ia membereskan makannya, lalu bergegas menuju kamar untuk beristirahat. Tak ingin terlambat karena esok dia harus bangun pagi sebelum matahari terbit, ia harus membuka saluran air, mengalirkan air ke ladang yang ia garap. Tak lupa sebelum mata terpejam, ia mendoakan mendiang Ibunya, dan juga ia mendoakan sang Ayah yang sedang dalam pertapaan.
*****
Malam ini adalah waktunya gerhana bulan merah. Sebuah waktu yang sangat sakral bagi orang-orang yang menguasai ilmu ghaib. Pada waktu gerhana bulan merah inilah masing-masing dari mereka akan memperkuat keilmuannya. Dengan berbagai cara yang dilakukan, mulai dari ritual pertapaan, melakukan ritual persembahan sesajen, hingga memperkuat ilmu dengan mencari tumbal darah manusia.
Tepat saat tengah malam, desa sudah sangat sepi. Tak ada aktifitas apapun dari warga. Hanya suara hembusan angin, suara hewan malam, dan juga suara-suara hewan dari dalam hutan sekitar desa. Sang pemuda sudah terlelap dan terbang ke dalam mimpinya. Suasana malam ini sangat memanjakan dirinya untuk terlelap pulas dengan cepat.
Di luar rumah, tiba-tiba angin berhenti berhembus, dengan hawa lebih dingin, dan seketika itu juga suara-suara hewan malam menghilang. Hening, sangat hening. Beberapa warga yang masih terjaga dalam rumah mereka, mulai menyadari sesuatu yang aneh akan terjadi malam ini. Dan mereka pun tak berani berucap sepatah katapun. Mereka memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar dan menjaga keluarga masing-masing.
Di luar rumah sang pemuda, ada bayangan hitam berdiri. Seolah bayangan hitam itu sedang memperhatikan dari kejauhan. Memperhatikan sang pemuda yang sedang tidur di dalamnya.
"Grrr... Grrr... Grrr..." Bayangan itu berjalan perlahan dengan suara menggeram yang mengerikan. Dan sampailah ia di sisi luar kamar pemuda tersebut. Sang pemuda tetap dalam tidurnya yang pulas, tak merasakan apapun dari kehadiran bayangan itu.
Krieeet....
Terbukalah jendela kamar sang pemuda perlahan. Dan bayangan itu berubah bentuk. menjadi sosok menyeramkan dengan dua bola mata merah menyala, melotot memperhatikan pemuda itu di atas dipannya. Giginya yang bertaring panjang keluar dari mulutnya. Lidahnya menjulur merah. Dua tangannya dengan kuku panjang dan tajam mulai memegang dinding kamar.
Seketika itu juga sang pemuda terkaget dan matanya langsung terbuka lebar. Namun tubuhnya tak mampu digerakkan. Mulutnya seperti terkunci. Hanya bergetar dalam kekakuan yang mencekam.
Sosok menyeramkan itu menembus dinding kamar. Dan kini sudah berdiri di samping dipan sang pemuda. Ia melihat sosok itu tengah menatapnya. Namun sekali lagi, sekuat apapun dia mencoba bergerak dan berteriak, tak mampu ia lakukan. Sosok itu menatap dirinya dengan aura haus darah yang sangat kuat.
Sosok itu mulai menggerakkan kedua tangannya, menyentuh tubuh sang pemuda yang bergetar ketakutan. Sampai ketika tangan sosok itu tepat berada di atas perut sang pemuda, pemuda itu merasakan sakit yang tak terkira. Dia melihat dengan jelas sosok itu mulai membelah perutnya. Lalu dengan perlahan memakan seluruh isi perutnya.
Sang pemuda yang bersimbah darah itu tak lagi mampu bernafas, tak mampu lagi bergerak, matanya mulai memutih, dan dipenghujung nyawanya di tangan sosok itu ia berkata dalam hati...
"Ayah... Tolong..."