Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN DI RUANGAN
Gelap itu tidak datang sekaligus. Mula-mula hanya seperti kabut hitam tipis di sudut-sudut ruangan, tak lebih dari bayangan biasa yang terlalu tebal. Namun perlahan, kegelapan itu menumpuk, menebal seperti cairan pekat yang merembes keluar dari celah rak dan kolong meja.
Bayangan rak buku menjuntai lebih panjang dari seharusnya, menjalar ke lantai seperti tinta tumpah. Bayangan kursi seolah meregang, menyeret kaki-kakinya, merayap mendekat ke meja. Bahkan bayangan tubuh mereka sendiri ikut bergoyang, bergeser meski mereka tidak bergerak.
Sara memukul punggungnya ke pintu, napasnya memburu. “Aku tahu ini ide buruk! Aku tahu!” Suaranya pecah, matanya liar mengikuti gerakan gelap itu.
Ethan berdiri kaku di samping meja, wajahnya pucat namun matanya berkilat penuh keterpesonaan. “Lihat! Mereka… mereka merespons simbolnya!” katanya, suaranya bergetar antara kagum dan takut.
Lisa hampir tak bisa bernapas. Ada tekanan aneh di dadanya, seperti udara di ruangan dihisap keluar. Simbol di telapak tangannya menyala makin terang, berdenyut liar, seirama dengan detak jantungnya yang kacau. Setiap denyut menarik sesuatu dari dalam tubuhnya, seakan benang tak kasatmata sedang ditarik keluar menuju bayangan.
Dari lantai, sesuatu mulai terbentuk. Bayangan menggumpal, menebal menjadi lengan panjang kurus. Jemarinya seperti ranting kering, hitam pekat, meraba-raba udara. Gerakannya lambat tapi pasti, meraih ke arah Lisa.
Panas menusuk tangannya, rasa terbakar.
"A-Aakh..." Lisa menjerit tertahan. Tubuhnya terasa ringan, seperti ditarik dari dalam.
“Jangan lawan,” suara Bu Redfield tiba-tiba menggema. Tenang, tapi keras, seperti perintah yang tak bisa dibantah. Wanita tua itu bergerak cepat ke rak samping, tangannya meraih sebuah wadah tanah liat.
Ethan menoleh, panik. “Apa yang—”
Bu Redfield meraih segenggam garam kasar dari dalam wadah, lalu menaburkannya ke lantai di depan meja.
Bayangan itu bergetar, mengeluarkan suara mendesis panjang. Ssshhhhhh! Bunyi itu menusuk telinga, seperti air mendidih yang dituang ke atas besi panas. Jemari hitam itu terlipat, menciut, lalu pecah menjadi serpihan asap tipis yang lenyap ke udara.
Getaran berhenti. Tekanan di dada Lisa mereda.
Hening menggantung, begitu tebal hingga detak jam tua di lorong pun terdengar keras.
Lisa terhuyung ke belakang, kursinya hampir terbalik. Ia terengah-engah, memegangi pergelangan tangannya. “Apa itu… barusan?” suaranya serak, hampir tak keluar.
Bu Redfield menatapnya tajam. Mata birunya bersinar dingin di cahaya lilin yang berkedip. “Itu hanya salam,” katanya pelan. “Rumah ini ingin tahu siapa kau sebenarnya.”
..........
Sara masih gemetar, punggungnya menempel ke dinding. Ia memegangi mulutnya dengan tangan, menahan muntah. “Salam? Itu—itu bukan salam. Itu… itu monster, Bu Redfield!”
Ethan tidak menggubris. Ia sudah menunduk, pena di tangannya menari cepat di atas buku catatan, menyalin setiap detail yang baru saja terjadi. “Respon langsung… simbol sebagai pemicu… bayangan sebagai entitas…” gumamnya tak jelas, lebih seperti ilmuwan yang mencatat eksperimen daripada seseorang yang baru hampir diseret bayangan hidup.
Lisa menatap telapak tangannya. Simbol itu tidak lagi hanya bercahaya, tapi kini berdenyut lembut, ritmenya sama persis dengan detak jantungnya. Ia bisa merasakannya—denyut kedua, seolah tubuhnya kini memiliki irama lain yang bukan miliknya.
Bu Redfield bersandar ke kursinya, tangannya terlipat di pangkuan. Senyumnya samar, tapi matanya menajam. “Kalau kau bertahan di rumah ini malam ini,” suaranya pelan tapi menusuk, “mungkin kau akan mulai mengerti.”
Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Tapi ingat ini, Lisa Hartman—kau bukan tamu di sini. Kau bagian dari rumah ini sekarang.”
Cahaya lilin bergoyang, bayangan di dinding bergerak seperti hidup. Mereka tidak hanya bergetar, tapi condong ke depan, seolah mengangguk, menyetujui kata-kata Bu Redfield.
Lisa menggigil. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa rumah itu bernafas bersama mereka.