INGRID: Crisantemo Blu💙
Di balik nama Constanzo, Ingrid menyimpan luka dan rahasia yang bahkan dirinya tak sepenuhnya pahami. Dikhianati, dibenci, dan hampir dilenyapkan, ia datang ke jantung kegelapan-bukan untuk bertahan, tapi untuk menghancurkan. Namun, di dunia yang penuh bayangan, siapa yang benar-benar kawan, dan siapa yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari bayang-bayang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I. D. R. Wardan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Velato
Ingrid hanya berdiam diri saat Frenzzio menciumnya. Ia tak tergerak sedikit pun untuk membalas ciuman itu. Tentu saja ia berdebar, tapi ia tidak merasakan apapun di hatinya, selain kebingungan.
Ia tidak mencintai Frenzzio, dan mungkin tidak akan. Ia mencintai orang lain, sahabatnya, Dario. Satu-satunya yang ada di hatinya. Ia tidak berniat mencintai siapapun selain dirinya. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini, dan kembali ke San Lumeo, lalu menyatakan perasaannya, dan hidup bersama Dario selama sisa hidupnya.
Sempurna.
Apa ia harus jujur saja?
Atau berpikir pintar dengan berbohong dan memanfaatkan Frenzzio?
Tapi itu sangat kejam, bukan?
Frenzzio menyudahi ciumannya. Dari jarak yang begitu rapat netra keduanya bersitatap dengan intens, layaknya saling bertukar surat yang tak terucap lisan.
"Jadi kau masih menyukai dia ... "
Sepersekian detik berikutnya, raut wajahnya Ingrid menjadi tegang dan terkejut. Bagaimana Frenzzio tahu tentang hal ini?
"Ak ... Aku, bagaimana?" Perkataannya terputus-putus.
Frenzzio mendorong Ingrid, punggung gadis itu menyentuh permukaan kasur dengan sempurna.
"Perjanjian. Tidak menyentuh sampai semuanya selesai." Ingrid menatap berani pada Frenzzio yang kini berada di atasnya.
"Tadi bukan sentuhan, Amore. Ini sentuhan." Tangan Frenzzio bergerak dengan perlahan menyusuri tulang selangka Ingrid, terus hingga leher. Seluruh tubuh Ingrid merinding. Dia dapat merasakan sepersekian waktu darah mendingan sekaligus mendidih. Degup jantungnya memburu. Pendengarannya menuli.
Ingrid mencengkeram pergelangan tangan Frenzzio. "Lanjutkan, dan aku akan melakukan pembunuhan pertamaku malam ini."
Frenzzio menyeringai. "Sudah berani bicara tentang pembunuhan. Kemajuan bagus."
Ingrid mendorong paksa tubuh Frenzzio. Laki-laki itu pun terjatuh terlentang di sebelahnya seraya terkekeh lucu menggunakan suara beratnya yang begitu menggoda—
Ingrid memutar bola matanya muak. Sial! hampir saja ia tergoda.
"Jika kau melakukan hal semacam itu lagi, akan kupastikan kau kehilangan kedua tanganmu, brengsek!"
"Aku tidak akan menyesalinya."
"Diam, Frenzzio!"
"Kau yang memancingku."
"Apa!? Aku tidak."
"Ingin reka ulang?"
"Percuma berdebat dengan laki-laki gila sepertimu! Keluar dari kamarku sekarang juga! Aku sudah kehilangan minat berbicara denganmu." Ingrid bangkit, menunjuk tegas ke arah pintu.
Alih-alih mengikuti dengan patuh perintah Ingrid, Frenzzio justru malah menutup matanya. "Aku sangat lelah, biarkan aku istirahat di sini."
"Oh, Jadi kau sungguh-sungguh gila sekarang?"
"Dapat dikatakan begitu."
"Bagaimana jika ada yang memergokimu berada di kamarku, hah? Kau lupa? Kau tengah bermain peran menjadi saudaraku, kembaranku lebih rincinya."
"Argh, aku benci kata itu," keluhnya.
"Percayalah, begitu pun denganku. Dua saudara sudah cukup, tidak ada tempat lagi, terutama untuk laki-laki gila sepertimu. Cepat keluar!"
"Apa mengusir orang merupakan kebiasaanmu?"
"Apa berada di kamar seorang gadis saat malam hari adalah kebiasaanmu?" balas Ingrid sengit.
"Jadi kita akan berdebat sekarang?"
"Oh, tidak menjawab. Berarti benar!"
Frenzzio membuka sebelah matanya. "Kau cemburu?"
"Tentu saja tidak! Aku mengasihani korbanmu itu."
"Jadi kau mengasihani dirimu sendiri?" Frenzzio tertawa kecil.
"Maaf?"
"Mimpi indah, Amore."
Frenzzio bangun dari posisinya, melangkahkan kedua kaki jenjangnya melewati pintu kamar Ingrid.
"Kita belum selesai bicara! Ada yang ingin kutanyakan ..." lirih Ingrid pelan sebelum akhirnya pintu kamarnya benar-benar tertutup.
Ingrid mengela napas panjang, kembali menjatuhkan dirinya di kasur yang empuk. Dia tersenyum. "Harus kuakui hanya kau yang dapat menghiburku." Jari-jari Ingrid menyentuh bibirnya sendiri, tempat Frenzzio menciumnya tadi. "Seharusnya aku menamparnya, setidaknya sekali. Ah, lupakan saja, lebih baik aku membersihkan diri." Ingrid mengucek matanya kemudian pergi ke kamar mandi.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Apa sebaiknya aku memotong rambutku?" tanya Ingrid yang tengah mengeringkan rambutnya di depan cermin.
Suara ketukan pintu terdengar.
Ingrid menghentikan aktivitasnya, mendekati pintu, lalu membukanya.
"Nona, tuan Constanzo memanggil Anda untuk makan malam bersamanya," ucap pelayan wanita yang sempat membantunya saat akan menuruni tangga kemarin.
"Hanya berdua?" Kerutan tercetak di dahi Ingrid yang tidak tertutup poni.
"Benar, Nona. Saya akan mengantar Anda."
'Ada apa ini?' pikir Ingrid yang penuh prasangka acak.
"Baiklah, aku akan bersiap-siap sebentar." Pelayan itu mengangguk.
Ingrid menutup pintu kamarnya kembali.
"Ini kesempatan bagiku untuk mendapatkan kepercayaaan pria itu. Tapi ingat Ingrid, jangan berlebihan atau dia akan curiga," monolognya sembari melanjutkan mengeringkan rambutnya.
Beberapa saat kemudian, Ingrid keluar dari kamar dengan penampilan yang lebih pantas. Pelayan itu tersenyum tipis namun hangat melihat Ingrid. "Mari, Nona." Ingrid menganguk sekali kemudian mengikuti langkah pelayan itu dari belakang.
Pelayan wanita itu membawa Ingrid ke halaman belakang, tepatnya ke sebuah gazebo yang telah diisi meja yang berisi makanan, minuman, dan pelengkapnya. Dilengkapi dengan dua buah kursi yang di mana salah satunya sudah di tempati oleh tuan Giorgio Constanzo.
"Buonasera, Bella."
"Buonasera," balas Ingrid, begitu menduduki kursinya.
"Maaf, aku baru dapat makan satu meja bersamamu. Pekerjaan tidak memberiku pilihan," ucap Giorgino dengan sangat meyakinkan. Ingrid hampir tidak dapat membedakan itu tulus atau tidak.
"Tidak masalah, aku mengerti. Hal ini juga bukan suatu kewajiban."
Giorgio tersenyum mengangguk, kemudian memberi isyarat dengan tangannya agar semua orang meninggalkan kami berdua.
"Kurasa makanan akan mencairkan suasana, nikmati makananmu, kau pasti sudah lapar. Buon appetito."
Ingrid memberikan senyum samar. "Buon appetito."
"Ayah."
"Maaf?"
"Aku ayahmu, Nona Constanzo."
"Aku akan mencoba, Ayah." Pita suara Ingrid terasa begitu berat.
Giorgio menyuapkan makan malamnya ke dalam mulutnya. Ingrid melakukan hal yang sama, hingga beberapa suap. Keheningan melingkupi keduanya yang sibuk dengan makanan masing-masing. Ingrid menyantap makanannya dengan keadaan pikiran yang terus berputar bagai angin. Ia terus bertanya-tanya dan menunggu Giorgio mengungkap niat sebenarnya di balik makan malam ini.
"Bagaimana kabar saudaramu?" tanyanya.
Genggaman Ingrid pada alat makan di kedua tangannya mengencang. Bisa-bisanya dia menanyakannya dengan nada santai? seolah tidak peduli dan tidak merasa bersalah karena menyebabkan putranya sendiri hampir tiada?
Ingrid dapat mengendalikan dirinya. "Kondisinya lebih baik."
Giorgio kembali mengangguk tanpa menatap Ingrid. "Kau tidak perlu khawatir, aku tidak mungkin melenyapkan pewarisku sendiri. Itu hanyalah hukuman ringan," Giorgio mengangkat dagunya, melihat Ingrid, "jika ada yang berusaha membangkang."
Mata ayah dan anak itu bertemu. Satu memancarkan kewaspadaan, sementara di sisi lain memberikan ancaman yang kental.
"Aku mengerti."
"Gadis pintar. Kita Mafia, kehidupan kita sangat keras. Aku sangat berharap kau mulai membiasakan diri. Pasti banyak yang membuatmu bertanya-tanya di sini, bukan? Jujurlah, aku akan menjelaskan seperlunya. Aku yakin Ibumu tidak membantumu sama sekali, aku dengar hubungan kalian tidak terlalu baik?"
"Ya, seperti yang terdengar. Dan tentu saja, banyak yang membuatku bertanya-tanya. Pertama, Frenzzio." Suaranya memelan ketika menyebut nama Frenzzio.
Giorgio meneguk winenya dengan cara berkelas. "Dia baru saja kutugaskan keluar, itu tidak perlu di khawatirkan. Ya, dia bukan saudara kandungmu, terlebih lagi kembaranmu. Butakan matamu, bisukan suaramu, tulikan telingamu, tentangnya. Dia saudaramu. Anggap saja pengganti saudarimu," jawab Giorgio yang sarat akan ancaman. "Selanjutnya."
Memang ada yang tidak beres, jelas ada yang disembunyikan. Jadi apa yang Frenzzio ungkapkan ... Semua itu memang nyata adanya.
Ingrid membuang napas berat dengan kata-kata yang akan ia ajukan selanjutnya. Tidak tau bagaimana ini akan berakhi. Tapi yang pasti ia akan mencoba, meskipun berkemungkinan merusak rencananya.
"Ayah Ric."
Suara dentingan alat makan Giorgio berhenti bersenandung. "Dia adik kembarku, sudah sangat jelas. Kami sangat mirip, bukan?" ujar Giorgio, terkekeh halus.
Ingrid menggelang pelan sebelum berkata, "Tidak juga, ada detail yang membedakan kalian. Ayah Ric memiliki lesung pipi di pipi kirinya, sementara Anda tidak, dan warna mata biru ayah cenderung lebih terang dan lembut, sementara Anda lebih gelap sama seperti ... ku." Ingrid baru menyadarinya.
"Kau memperhatikannya?"
"Aku lebih suka detail kecil yang bermakna dibanding keseluruhan yang tidak memiliki nilai berarti."
Giorgio tersenyum tipis. "Cukup pintar."
"Turut berduka atas kepergiannya, tapi pantas dia dapatkan." Sambung Giorgio sambil menyesap winenya.
Seketika kemarahan Ingrid tersulut tidak tertahankan. Dia membanting keras alat makan di tangannya ke meja. "Terima kasih atas makanannya." Ingrid mendorong kursinya dengan kasar dan pergi menjauh dari meja itu tanpa melihat kembali.
"Sepertinya dia anak favoritku." Giorgio tertawa seraya memandang kepergian Ingrid.
Kemudian, kembali menyantap makan malamnya.
...•┈┈┈••✦ ♡ ✦••┈┈┈•...
"Antar aku ke rumah sakit," mintanya pada sopir.
"Baik, Nona."
Mobil mereka melaju dari kediaman Constanzo menuju rumah sakit tempat Marcello dirawat. Rasanya sangat menyesakkan berada di rumah itu. Itu bahkan bukan rumah. Biasanya ia membenci meninggalkan rumah, kini justru sebaliknya. Jari-jari Ingrid bergerak gelisah, mencoba mengendalikan amarahnya.
Lama berkendara, akhirnya Ingrid sampai di rumah sakit. Di lobi, Ingrid melihat seseorang yang ia kenal. Elsa berjalan menuju dirinya dari arah sebaliknya sambil menelpon. Dia tidak menyadari kehadiran Ingrid. Saat jarak mereka semakin dekat akhirnya Elsa menyadari keberadaan Ingrid. Dia mematikan telponnya dan tersenyum pada Ingrid.
"Hai, sedang apa kau di sini?" tanya Elsa ramah seperti biasanya.
"Aku kemari untuk menjenguk seorang kenalan. Bagaimana denganmu?"
"Begitu juga aku. Bagaimana keadaanmu? Apa kau akan masuk sekolah besok?"
"Ya, tentu saja. Aku sudah sepenuhnya pulih." Ingrid mencoba tersenyum walau akhirnya terlihat kaku.
"Syukurlah jika begitu. Aku hanya mengingatkan besok adalah kelas Profesor Mario, jangan sampai kau terlambat jika tidak ingin terkena masalah," pesan Elsa diselingi nada bercanda yang membuat keduanya terkekeh kecil.
"Baiklah. Aku pulang lebih dulu, sudah ada yang menungguku di depan."
"Ya, baiklah, sampai jumpa. Hati-hati di perjalanan."
"Kau juga, sampai jumpa." Elsa memberi pelukan singkat sebelum pergi.
Ingrid kembali melanjutkan tujuannya untuk pergi ke kamar Marcello. Sesampainya ia di sana, Marcello tengah tertidur dan Vilia duduk di sofa tidak jauh darinya seraya membolak-balik kertas majalah mode.
Vilia melirik kedatangan Ingrid. "Dia baru saja tidur, jangan mengganggunya," ucapnya dengan ketus.
"Tidak akan."
Ingrid duduk di samping ranjang Marcello. Ia Menumpukan kedua lengannya dan berbaring di sana. Ia hanya Ingin mencari ketenangan dengan berada di dekat orang yang disayanginya. Hanya Marcello keluarga paling dekatnya saat ini. Meskipun Ia memiliki keluarga yang lengkap tapi rasanya bukan keluarga, hanya seperti orang-orang asing yang mengaku sebagai keluarga dan tinggal dalam satu rumah. katakanlah dirinya jahat, tidak masalah.
Keluarga Navarro tentu saja juga keluarganya. Tetapi, meskipun mereka telah baik pada dirinya dan mereka telah tinggal bersama selama beberapa waktu, tetap saja rasanya berbeda. Terlebih karena dikatakan Frenzzio terakhir kali masih terus terbayang di kepalanya.
"Bagaimana kabar Ric?" tanya Vilia tanpa melepas pandangannya dari majalah.
Ingrid menegakkan kepalanya dan menatap tajam Vilia. "Anda mencoba mengejekku, Nyonya Constanzo?"
"Jawab saja!"
Ingrid tersenyum sinis. "Entah Anda berpura-pura tidak tahu atau atau memang tidak tahu, entahlah. Yang jelas aku tidak Ingin membahasnya dengan Anda."
"Bagus sekali, Begini tata krama bicara pada Ibumu yang dididik oleh Ayah pecundangmu itu?"
"Ibu?" Ingrid mendengus muak. "Ibu mana yang Anda maksud? Diri Anda? Lelucon bagus. Anda bisa menghinaku sesuka hatimu, tapi tidak ayahku. Sepertinya Anda sangat Ingin putrimu ini untuk mengucapkannya, baiklah. Dia sudah tiada. "
"Apa?" Vilia menatap Ingrid dengan sorot mata dan gestur terkejut, tapi Ingrid tidak peduli, Ia kembali menumpukan kepalanya di atas lipatan tangan mencoba menahan isak tangisnya. Ia benci jika harus berhadapan dengan kenyataan ayahnya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Kedua tangan Ingrid mengepal kuat, kedua matanya mulai digenangi air mata dan memerah. Ingrid tidak dapat menahan tangisnya, pada akhirnya dia memillih keluar menjauh dari ruangan tersebut.
'Maafkan, Ibu ...'