Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01. Takdir macam apa ini?
Rumah keluarga Malik berdiri angkuh di tengah kota, bak istana megah yang selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Pilar-pilar tinggi berlapis marmer, halaman luas dengan air mancur, dan pagar besi berukir lambang keluarga yang berkilau setiap kali tertimpa cahaya matahari sore. Dari luar, semua tampak sempurna, kemewahan, kekuasaan, dan kehormatan menyatu di sana.
Namun, di balik dinding megah itu, ada kekosongan yang tak bisa disembunyikan. Lima tahun pernikahan Hansel Malik dan Laudya Prameswari, tak pernah terdengar tangis bayi, tawa anak kecil, atau suara riuh keluarga kecil yang semestinya mengisi setiap sudut rumah.
Hansel duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan wajah tegas dan dingin. Jas abu-abu membungkus tubuh tegapnya, rambutnya tersisir rapi, dan kacamata tipis bertengger di hidung mancung. Di balik ketampanan itu, banyak yang menganggapnya terlalu kaku, terlalu dingin, hingga dijuluki beruang kutub di dunia bisnis.
Sementara itu, Laudya istrinya sedang bersiap pergi. Dengan gaun elegan berwarna merah marun, rambut panjang bergelombang yang ditata sempurna, serta riasan wajah yang nyaris tanpa cela, ia bagai bintang yang baru turun dari langit. Sejak awal pernikahan, ia sudah menegaskan satu hal, karier dan tubuh indahnya adalah prioritas utama. Anak bukan bagian dari mimpinya.
“Masih dengan rapat-rapatmu?” tanya Laudya sambil mengenakan perhiasan berlian di tangannya.
Hansel mengangkat wajah, menatap istrinya singkat, lalu kembali ke layar.
“Ada presentasi penting besok. Aku harus siap.”
Laudya tersenyum tipis, senyum yang lebih banyak ditujukan untuk dirinya sendiri saat melihat pantulan wajah cantiknya di cermin besar ruang tamu.
“Aku ada acara fashion show malam ini. Jangan tunggu aku pulang.”
Hansel tak menjawab. Kebisuan itu sudah menjadi bahasa mereka sehari-hari. Pernikahan yang dulu diharapkan penuh cinta kini berubah menjadi kontrak tanpa gairah. Hansel masih mencintai Laudya, setidaknya itulah yang ia yakini, tapi keinginan kuat Laudya untuk tak memiliki anak selalu menorehkan luka di hatinya.
Sore itu, suara langkah sepatu berderap memasuki ruang tamu. Rohana Malik, ibu mertua Laudya, muncul dengan wajah tegas. Wanita itu anggun meski usianya sudah melewati lima puluh tahun. Dengan setelan kebaya modern berwarna hijau zamrud, ia terlihat berwibawa. Ahmad Malik, suaminya, tak ikut serta, namun semua orang tahu, suara Rohana adalah suara keluarga.
“Laudya,” panggilnya lantang.
Laudya menoleh dengan malas, lalu menghampiri.
“Ada apa, Ma?”
Rohana menatapnya tajam, mata yang menyimpan kegelisahan bercampur amarah. “Aku sudah cukup bersabar lima tahun ini. Kau tahu persis apa yang diinginkan keluarga ini, yaitu cucu. Pewaris nama Malik. Tapi sampai sekarang, kau bahkan tak pernah berniat memberikan itu.”
Laudya menghela napas panjang. Ia sudah menduga pembicaraan ini akan muncul lagi. “Ma, sudah berkali-kali aku jelaskan. Aku tidak mau punya anak. Aku sibuk, tubuh aku adalah aset. Aku tidak akan merusaknya dengan kehamilan.”
Kata-kata itu membuat wajah Rohana menegang.
“Kalau begitu, untuk apa kau menikah dengan Hansel? Kau pikir keluarga ini hanya butuh boneka cantik di rumah? Kami butuh darah daging! Kalau kau tak bisa, lebih baik kau lepaskan Hansel.”
Hansel yang sedari tadi diam, bangkit dari kursinya. “Ma, cukup! Aku mencintai Laudya. Jangan bicara soal cerai lagi.”
Namun Rohana tak bergeming. “Cinta saja tidak cukup, Hansel. Keluarga ini harus punya penerus. Kalau tidak darinya, maka dari perempuan lain.”
Kata-kata itu membuat Hansel terdiam. Dadanya sesak, seolah kata-kata ibunya adalah belati.
Laudya mendekat, senyum sinis menghiasi wajahnya.
“Kalau mama memang memaksa, aku punya solusi.”
Rohana mengangkat alis. “Apa?”
“Biar Hansel cari wanita lain. Cari perempuan yang mau mengandung anaknya. Setelah lahir, anak itu jadi pewaris keluarga Malik. Aku tetap istri sahnya, tak ada yang perlu diganggu.”
Hansel menatap istrinya dengan kaget dan marah. “Laudya, kau sadar apa yang kau katakan? Aku tidak butuh wanita lain!”
“Tapi aku tidak akan mau hamil, Hansel,” jawab Laudya dengan tenang, seakan keputusannya sudah bulat.
“Kalau kau mencintaiku, kau harus terima. Kau tetap milikku, tapi biar ada perempuan lain yang menanggung beban itu.”
Hansel mengepalkan tangan, menahan gejolak emosi. Dia tak pernah membayangkan istrinya akan merendahkan makna pernikahan seperti itu. Baginya, pernikahan adalah kesetiaan, bukan kontrak berbagi.
Rohana, di sisi lain, justru melihat celah. Ia tahu putranya tak akan setuju, tapi ia juga tahu cara untuk menekan keadaan. Senyumnya samar, seolah rencana mulai tersusun dalam benaknya.
Malamnya, Hansel duduk di balkon kamarnya. Lampu kota berkelap-kelip dari kejauhan, namun hatinya gelap. Ia terjebak antara cintanya pada Laudya dan kewajiban pada keluarga.
Dia ingin anak, ia ingin rumah yang dipenuhi tawa kecil, namun istrinya menolak mentah-mentah. Cintanya pada Laudya membuatnya bertahan, meski hatinya teriris sedikit demi sedikit.
“Kenapa semua jadi serumit ini…” bisiknya pada langit malam.
Dia meneguk gelas wine di tangannya, berusaha menenggelamkan resah yang kian menyesakkan dada.
Sementara itu, di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, Hana baru saja pulang dari pondok pesantren. Gadis berusia dua puluh tahun itu membantu ibunya, Jamilah, menyiapkan makan malam. Wajahnya lembut, matanya teduh, dan senyum tulus selalu terukir di bibirnya.
“Ibu, besok aku kembali ke pesantren. Banyak anak-anak yang menungguku mengajar ngaji,” ujarnya riang.
Jamilah tersenyum, meski dalam hatinya ada kegelisahan. Ia tahu apa yang baru saja disampaikan Nyonya Rohana sore tadi. Sebuah permintaan yang tak pernah ia bayangkan, menjodohkan Hana dengan anaknya, Hansel Malik.
Tangannya bergetar saat menyendokkan sayur.
“Nak … kalau suatu hari takdirmu berubah, kamu siap, kan?”
Hana menatap ibunya dengan bingung. “Apa maksud Ibu?”
Jamilah hanya menggeleng, menahan kata-kata yang ingin keluar. “Tak ada. Makanlah, besok kita harus kuat.”
Di luar sana, bulan bulat sempurna menggantung di langit. Seakan menjadi saksi bahwa sebentar lagi, takdir Hana akan ditarik paksa ke dalam dunia keluarga Malik dan dunia yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi bagian dari hidupnya.
'Jika Hana menikah dengan Tuan muda, maka Nyonya besar akan memberikan kebahagian kepada Hana, yang tak pernah Hana dapatkan sebelumnya, di rumah ini.' gumam Jamilah dalam hatinya sembari menatap putrinya yang tengah makan malam di meja sederhana itu.
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏
Hana buka boneka yang sesuka hati kalian permainkan... laudya disini aku tidak membenarkan kelakuan mu yang katanya sakit keras rahim mu hilang harusnya kamu jujur dan katakan sejujurnya kamu mempermainkan kehidupan Hana laudya... masih banyak cara untuk mendapatkan anak tinggal adopsi anak kan bisa ini malah keperawatan Hana jadi korban 😭 laudya hamil itu tidak gampang penuh pengorbanan dan perasaan dimana hati nurani mu yg sama" wanita dan untuk ibunya Hana anda kejam menjual mada depan anakmu demi balas budi kenapa endak samean aja yg ngandung tu anak Hansel biar puas astaghfirullah ya Allah berikanlah aku kesabaran tiap baca selalu aja bikin emosi 😠👊