KASTA CINTA (Mencintaimu Dalam Doa)

"Terus kalian percaya, gitu?" Kalia membuka tutup toplesnya dan hal itu disambut dengan cukup antusias dari para sahabatnya.

"Kalau aku sih gak percaya, ya. Bukannya karena kamu sahabatku, tapi kalau kamu salah tetap aku salahkan, dan kalau benar ya tetap aku bemarkan. Hanya saja, dari beberapa video yang aku tonton, aku ada dengar kalau si ibu itu nyebut nama puteranya agar kamu jangan dekatin," Ahyana memberikan pendapatnya.

"Ya, aku juga dengarnya dia melarang kamu untuk tidak mendekati puterinya," Wina membenarkan ucapan sahabatnya.

Wisell terlihat memperhatikan kedua rekannya dan mulai menyimaknya. "Kamu punya cowok ya, Kal?" tanya gadis itu dengan nada penuh selidik. Tetapi selama ini mereka belum pernah melihat gadis itu jalan bersama dengan seorang pria.

Kalia terdiam. Ia tampak bingung untuk menjawabnya. Jika dikatakan pacar, sedangkan Damar juga tidak pernah terlihat selama ini. Bahkan seolah menghilang beberapa saat, dan ia juga tidak tau pasti tentang hubungan mereka. Sedangkan sang mama sudah menegaskan untuk tidak mendekati puteranya, lalu apakah lagi yang harus diharapkannya dari hubungan yang tidak jelas.

"Aku tidak memiliki pacar. Mamanya hanya salah faham, karena kami kebetulan bertemu tanpa sengaja, lalu men-judge dengan kalimat yang seperti mirip tudingan." raut wajahnya tampak sendu. Ia sedang mengingat bagaimana rasa sakit saat dipermalukan didepan umum dan dituding hanya menginginkan uang dari pria tersebut.

"Apakah dia sangat tampan?" celetuk Wina, sembari mengunyah gorengannya.

Kalia terlihat sangat gugup. Jika dikatakan tampan, maka memang tampan, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana hubungan mereka, sebab belum ada kepastian yang jelas.

Sesaat obrolan mereka terjeda saat bel berbunyi, dan pertanda jika mereka akan memulai pembelajarannya sebentar lagi.

Saat bersamaan, Wisell melihat sepatu Kalia sudah berganti baru, dan ia melirik ke arah Wina yang masih asyik mengunyah.

Gadis mengangkat kedua alisnya, dengan isyarat bertanya ads apa.

Wisell mengarahkankan ekor matanya tertuju pada sepatu Kalia, dan hal itu membuat Wina ikut melirik kearah yang dimaksud. Gadis itu tercengang, lalu kembali menoleh ke arah Wisel dan mengangkat dagunya dengan satu gerakan cepat.

Wisel memberikan isyarat kepada Ahyana, dan ketiganya tampak saling berfikir.

Tak berselang lama, Ahyana menghampiri Kalia, lalu duduk disamping kirinya. "Kal, kamu sudah beli sepatu baru, ya." tanyanya dengan sangat hati-hati.

Kalia melirik ke arah sepatinya. "Bukan aku yang membelinya," jawab gadis itu.

"Jadi siapa? Cowok itu,"

Kalia menggelengkan kepalanya. "Bukan, ini pemberian Bu Kinoy," jawabnya dengan jujur.

"Masya Allah, Bu Kinoy baik banget ya," gadis merasa haru.

"Ya, beliau sangat baik," Kalia mengakui hal itu, dan jujur saja, sang Kepala Sekolah yang selama ini selalu banyak memberikan support padanya.

Wina dan Wisel akhirnya merapat padanya, lalu mereka seolah ingin memberikan sesuati padanya.

"Kal, sebenarnya hari ink kami ingin beri kejutan padamu, kami ingin berikan hadiah sepatu untukmu, sebab hari ini ulang tahunmu," Wina memberikan sepatu itu pada Kalia. Sontak saja hal itu membuat Kalia merasakan jika hidupnya begitu dihargai saat berada ditempat orang-orang yang tepat.

"Masya Allah. Aku sampai tidak ingat jika hari ini adalah hari ulang tahunku," ucapnya dengan berkaca-kaca. Ia begitu sibuk dengan hari-harinya, sehingga lupa hari istimewanya, tetapi tidak untuk rekan-rekannya.

"Andai aku lupa hari ulang tahun kalian, tolong dimaafin--ya, soalnya hari lahir sendiri saja tidak ingat," ucapnya dengan rasa ingin pengertian dari ketiga sahabatnya.

"Udah, kita maklum, kok." Wisell mengulas senyum tipis.ia merasa betapa beratnya kehidupan yang harua ditanggung oleh Kalia, bahkan hari kelahirannya saja ia tidak mengingat.

"Tidak ada cake," ucap Ahyana. Lalu membuka toples donat bertoping glazer pink motif bunga, dab mengambilnya, lalu meletakkannya diatas tutup toples dan ia mengambil lima buah donat dan mulai bernyanyi happy birthday dengan suara yang nyaring, lalu diikuti rekan-rekan lainnya.

Tanpa sengaja, Jena melihat hal tersebut, dan ia merasa sangat iri ketika Kalia begitu diistimewakan.

"Cuuuih, ulang tahun begitu doank, malu-maluin saja," gumamnya dengan nada penuh kebencian, serta tatapan yang sinis.

*****

Damar dan dua rekannya sedang menghubungi pemerintahan pusat. Saat ini, nyawa mereka dalam komdisi terancam. Penggagalan dalam penyeludupan barang haram kokain dan shabu yang dalam jumlah ton itu, tentu saja membuat ia bukan hanya diburu oleh para mafia, tetapi juga para pihak kepolisian.

Pesan yang dikirim sudah tersampai pada presiden, dan sedang dikirimkan bantuan, dalam sebuah operasi senyap. Tetapi hingga saat ini, bantuan sepertinya tidak juga sampai, dan entah kendal apa yang terjadi.

"Sebagai seorang berpangkat Letnan Kolonel, maka ia harua dapat mengambil keputusan yang tepat saat ini.

Sebab, apapun yang terjadi, mereka harua tetap selamat, dan jika saja keberadaan mereka diketahui, maka ancaman kematian sangat begitu dekat. Kepala mereka adalah harga yang dibayar sebagai

"Kita harus keluar dari tempat ini, sebab bagaimanapun, ini akan terlacak, dan kita harus siap untuk menghadapi resiko yang datang," Damar mengingatkan kedua rekannya yang mana pangkatnya setingkat lebih tinggi dari keduanya.

"Iya, aku merasa jika keberadaan kita sudah terendus, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini," pria berkulit coklat itu mengamini perkataan sang Letnan.

"Kita bersiap, dan saling jaga satu sama lainnya," Damar juga mengingatkan kepada keduanya

Mereka menyusun sebuah rancana tentang bagaimana selanjutnya.

Sementara itu, Mariana tampak gelisah ia sedang menekan tombol hijau pada layar ponselnya untuk menghubungi puteranya, tetapi tetap tidak tersambung, dan jawaban operator sedang dalam menyambutnya dengan kalimat yang terprogram mengatakan jika nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan.

"Damar kemana, sih?!" ucapnya, dengan nada gelisah

"Ada apa, Ma?" tanya pria yang tak lain adah adalah ppanya Damar

"Kalau mama tahu, gak akan sepanik ini, Pa" jawab wanita itu dengan rasa kesal. "Bagaimana ini, Pa? Damar kenapa nggak ada kabarnya, udah tiga hari," rasa khawatir menjalar direlung hatinya.

"Mungkin ada tugas yang sangat penting," sahut Fernando dengan santai, ia tak ingin membuat hati wanita itu cemas.

Mariana menatap pada suaminya yang terlihat sangat biasa saja.

"Tapi ini tidak ada kabar, dan tentu saja buat mama cemas. Apa salahnya memberikan kabar," wanita tampak semakin kesal.

"Terkadang ada suatu hal atau tugas yang mana keluarga tidak boleh tahu tentang pekerjaan yang sedang dilakukannya," Fernando kembali menimpali ucapannya.

"Papa memang sama saja, tidak dapat diandalkan.!" jawabnya dengan kalimat yang sangat merendahkan

Fernando tak menggubris ucapan dari sang istri, ia memilih untuk pergi meninggalkan kamar, sebab ia tahu jika meladeni sang istri sama saja mencari masalah.

****